KESEHATAN - Varian virus corona Omicron kini telah dideteksi di 57 negara, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Varian yang pertama kali dilaporkan oleh Afrika Selatan ini menjadi tambahan terbaru dalam daftar "variant of concern" WHO setelah Alfa, yang pertama kali dideteksi di Inggris, Beta di Afrika Selatan, Gamma di Brasil, dan Delta di India.
Mungkinkah muncul varian baru dari Indonesia?
Mungkin, dan bahkan itu sudah terjadi.
Ada tiga varian lokal yang pernah tersebar di Indonesia - B.1.470, B.1.459, dan B.1.466.2. Varian terakhir sempat masuk daftar yang dipantau WHO pada April lalu namun dikeluarkan dari daftar tersebut pada November lalu karena tidak menunjukkan dampak epidemiologi yang jelas.
Sugiyono Saputra, peneliti mikrobiologi dari pusat penelitian Biologi BRIN, menjelaskan bahwa varian B.1.466.2 mendominasi penularan di Indonesia sebelum kedatangan varian Delta.
"Jadi memang kenaikannya terlihat cukup jelas sekitar Januari 2021, hingga mencapai sekitar 73% dari total varian yang ada di Indonesia sekitar Maret 2021.
"Namun seiring dengan masuknya varian Delta ke Indonesia, ia cukup mendominasi sehingga varian lokal ini menurun bahkan mungkin sekarang di bawah satu persen dari jumlah total varian," paparnya kepada BBC News Indonesia.
Suatu varian baru diklasifikasikan sebagai "variant of concern" (VOC) oleh WHO jika terbukti memberikan dampak yang cukup besar pada kesehatan publik global dalam hal peningkatan transmisi (lebih mudah menular); atau peningkatan virulensi; atau pengurangan efektivitas langkah-langkah pencegahan atau diagnostik, vaksin, dan obat.
Dalam kasus Omicron, varian ini memiliki jumlah mutasi yang sangat banyak dibandingkan galur orisinal serta varian lainnya. Bukti-bukti awal mengindikasikan risiko infeksi ulang yang lebih besar dengan varian ini, serta perubahan pada epidemiologi Covid-19. Karena itulah, WHO segera mengklasifikasikannya sebagai VOC.
Bagaimanapun, data penelitian awal dari rumah sakit di Afrika Selatan menunjukkan bahwa Omicron - kendati lebih mudah menyebar, dan berada di balik lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah negara - cenderung mengakibatkan gejala yang lebih ringan, dengan kebanyakan pasien tidak membutuhkan oksigen tambahan.
Bagaimana bisa muncul varian baru?
Varian virus corona muncul melalui proses mutasi. Hal itu terjadi ketika ada kesalahan pembacaan pada gen virus saat proses replikasi.
Karena virus tidak memiliki mekanisme perbaikan selayaknya sel, semakin sering virus bereplikasi maka semakin besar kemungkinannya untuk bermutasi.
Suatu varian virus corona memiliki beberapa mutasi pada gennya.
"Ibarat sebuah mobil, spionnya ganti itu mutasi, lampunya ganti juga itu mutasi, kemudian velg-nya ganti, ada banyak yang berubah, maka ia berubah menjadi varian baru," kata Prof. Tjandra Yoga Aditama, dosen pascasarjana di Universitas YARSI dan mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara.
Varian alfa, misalnya, yang pertama kali dideteksi di Inggris dan telah menyebar ke lebih dari 50 negara, memiliki mutasi yang disebut E484K - berarti asam glutamat (E) digantikan oleh lysine (K) pada posisi 484. Mutasi ini disebut meningkatkan kemampuan virus untuk lolos dari sistem imun, mengurangi efektivitas pengobatan tertentu.
Varian lokal B.1.466.2 disebut memiliki tujuh mutasi, di antaranya N439K dan D614G.
Adapun Omicron memiliki lebih dari 30 mutasi di protein spike (S) - sedemikian banyaknya, gen S jadi tidak terdeteksi dalam tes PCR (disebut S gene target failure atau SGTF) sehingga itu digunakan untuk mendeteksi varian tersebut.
Namun semakin banyak mutasi tidak berarti suatu virus lebih berbahaya, kata Prof. Tjandra.
"Mutasi bisa menghasilkan lebih baik, lebih buruk, bisa juga tidak ada dampaknya. Jadi belum berarti kalau mutasi pasti terjadi kejadian yang buruk," ia menjelaskan.
Apakah cakupan vaksinasi berpengaruh pada kemunculan varian baru?
Lonjakan kasus Covid di Afrika Selatan yang dikaitkan dengan varian Omicron telah mendorong banyak warga untuk divaksinasi.
Laju vaksinasi di Afrika bagian selatan masih jauh dari rata-rata dunia, yaitu lebih dari 100 dosis per 100 orang.
Di Afrika Selatan, hanya 42 dosis yang telah diberikan per 100 orang. Sedangkan di negara-negara lain di wilayah itu, tingkatnya lebih rendah lagi - Lesotho, misalnya, baru 30 dosis per 100 orang, dan Namibia baru 25.
Sementara di Indonesia, tingkat vaksinasi lebih baik namun "masih jauh dari aman" menurut penasihat senior Dirjen WHO Diah Saminarsih. Menurut data pemerintah, 67 dari 100 warga Indonesia sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama.
Bagaimanapun, hubungan tingkat vaksinasi dengan kemunculan varian baru "tidak sesederhana itu", kata Prof Tjandra.
Vaksinasi menekan angka penularan dan mengurangi kemungkinan sakit parah sehingga lebih kecil kemungkinan virus untuk bereplikasi.
Karena kemungkinan terjadi mutasi akan semakin besar seiring virus bereplikasi, maka di tempat penyebaran virus tinggi, kemungkinan munculnya varian baru akan semakin tinggi.
"Sehubungan dengan hal itu, Indonesia saat ini - tidak ada hubungannya dengan vaksin - tingkat penularan kecil sekali, kasus melandai, angka reproduksi, positivity rate rendah, jadi kemungkinan virus memperbanyak diri lebih kecil.
"Dan karena kemungkinan virus memperbanyak diri lebih kecil, sekarang ini tentu kemungkinan mutasi lebih kecil. Dan ini saya selalu mengatakan dua kata: kemungkinan dan lebih. Jadi tidak ada yang pasti," Prof. Tjandra menjelaskan.
Oleh karena itu, ia menambahkan, level penularan harus terus ditekan untuk mengurangi kemungkinan munculnya varian baru yang berbahaya.
Ada dugaan bahwa vaksinasi dapat menciptakan "tekanan selektif" pada virus untuk berevolusi menjadi varian yang lebih resisten. Namun menurut Prof. Tjandra, dugaan ini belum didukung oleh bukti ilmiah yang kuat.
Bagaimana mendeteksi varian baru?
Para ilmuwan mendeteksi varian dengan mengurutkan gen virus corona, melalui proses yang dinamakan whole genome sequencing (WGS), kemudian membandingkannya dengan galur virus corona asli.
Sampai hari ini, baru sekitar 0,2% dari total kasus Covid di Indonesia yang telah di-sekuensing dan dilaporkan ke basis data GISAID. Sebagai perbandingan, negara tetangga Filipina baru sekitar 0,4%, Vietnam 0,1%, dan Thailand 0,3%.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kemampuan Indonesia untuk melakukan sekuensing sudah lebih baik dari masa-masa awal pandemi.
Saat ini terdapat 17 laboratorium yang berjejaring dengan Kementerian Kesehatan untuk pemeriksaan WGS.
"Para Maret 2020 itu per bulan hanya 36-40 [sekuens]... pada Desember pun hanya sampai 500 untuk pemeriksaan genome sequencing. Tapi sejak Januari 2021 sudah lebih dari 5000-an genome sequencing yang kita lakukan," kata Nadia.
Menurut Nadia, kira-kira 10-20% sampel dari rumah sakit dan seluruh sampel dari pelaku perjalanan diperiksa dengan WGS.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan akan menambah 11 unit mesin pengurutan genom untuk didistribusikan di laboratorium di luar Pulau Jawa.
Budi berharap penambahan mesin dapat mempersingkat waktu pengurutan genom di Indonesia.
"Sekarang kita pastikan bahwa genom sekuensing di 12 laboratorium ini kita percepat waktu prosesnya, yang tadi dua pekan, kita akan tekan ke lima hari, kalau bisa tiga hari," katanya seperti dikutip kantor berita Antara.
Tags : Virus Corona, Indonesia, Vaksin, Kesehatan,