BANDUNG - Wacana penonaktifan kereta api cepat Argo Parahyangan terlanjur menyebar ke publik buat banyak penumpang yang kecewa.
Harga tiket mahal di tengah wacana penonaktifan demi kereta cepat Jakarta-Bandung - Nasib kereta Argo Parahyangan dan penumpangnya
Wacana penonaktifan kereta api Argo Parahyangan rute Jakarta-Bandung yang terlanjur menyebar ke publik membuat para konsumen kereta mempertanyakan nasib transportasi andalan mereka.
Beberapa pelanggan mengaku kecewa, bahkan marah, jika wacana itu benar-benar direalisasikan demi menghidupkan kereta cepat.
Pemandangan dari jendela kereta api Argo Parahyangan, yang berangkat dari Stasiun Gambir menuju Bandung, mulai terlihat menghijau ketika meninggalkan kawasan permukiman padat penduduk.
Area persawahan yang terlihat di kanan-kiri seolah memberikan isyarat akan ada pemandangan yang lebih indah lagi di depan sana.
Hari itu, Rabu pekan kedua Januari, hampir semua tempat duduk di tiap gerbong Argo Parahyangan terisi penuh.
Kepadatan yang sama juga terlihat di kereta makan. Beberapa orang terlihat menyantap makanan sambil membuka laptop.
Ada pula yang sambil menikmati pemandangan dan mengobrol.
Mereka tampak menikmati perjalanan yang bakal berlangsung selama dua jam 20 menit.
Saya mencoba menghampiri beberapa di antara mereka dan menanyakan pendapat mereka tentang wacana penonaktifan kereta yang sedang mereka tumpangi.
Tyas sedang dalam perjalanan pulang ke rumah ketika saya menghampirinya di salah satu meja di kereta makan Argo Parahyangan.
Dia sering bolak-balik Jakarta-Bandung maupun sebaliknya karena mendapatkan kesempatan untuk bekerja dari rumah.
Sebagai pelanggan setia dia "menyayangkan" wacana penonaktifkan kereta Argo Parahyangan agar para konsumennya beralih ke kereta cepat.
Sebab menurut dia, kereta ini lebih ekonomis dan tepat waktu dibanding angkutan lainnya sehingga dijadikan "primadona" bagi pekerja seperti dia.
"Ya sudahlah, biarkan konsumen yang memilih saja apakah dia mau naik kereta ini atau kereta cepat. Saya rasa keretanya akan punya pelanggan masing-masing," kata Tyas.
Di meja lainnya, seorang perempuan tampak sedang memandang ke luar, menikmati pemandangan dari balik jendela yang mulai dipenuhi rintik air hujan, sambil memesan makanan hangat.
Perempuan itu bernama Silvi. Dia baru saja mengunjungi bibinya di Jakarta sambil berlibur.
Mahasiswa 22 tahun itu bisa dibilang merupakan pelanggan baru kereta Argo Parahyangan. Dia baru menjajal naik kereta ini pada tahun lalu, setelah sebelumnya selalu menggunakan mobil travel.
Kata dia, perjalanan menggunakan kereta api lebih cepat dan lebih dekat dengan tempat tujuan.
Oleh sebab itu, dia "tidak setuju" jika Argo Parahyangan dinonaktifkan.
"Saya lebih milih Argo Parahyangan karena tinggal sekali naik saja. Dari Stasiun Gambir dekat ke tempat tujuan saya. Kalau kereta cepat kan, aksesnya lebih ribet lagi dari tujuan saya, jadi saya harus naik apa nantinya? Jadi harus nambah biaya lagi," ujar Silvi.
Salah satu tujuan pemerintah membangun kereta cepat adalah mengembangkan industri, perdagangan, dan pariwisata. Kereta cepat diyakini bakal memudahkan perjalanan, salah satunya, para pebisnis.
Namun, mungkin tidak semua pebisnis.
Ibnu Haykal, seorang direktur agensi pemasaran di Jakarta, termasuk orang-orang yang "tidak terima" kereta Argo Parahyangan dinonaktifkan, apalagi "bila motifnya hanya untuk menghidupkan trayek kereta cepat".
Ibnu rutin pulang-pergi Jakarta-Bandung untuk bertemu dengan klien-kliennya, dua kali dalam sebulan.
Kenyamanan dan keamanan adalah pertimbangan utama Ibnu dalam memilih transportasi.
Menurut dia, selama ini, kereta yang dia tumpangi sudah cukup nyaman dan aman, dengan titik keberangkatan dan kedatangan di pusat kota dan tidak harus berpindah-pindah moda transportasi.
"Bila saya naik kereta cepat, saya perlu ke Halim dulu, yang mana lebih jauh dari Stasiun Gambir. Walau waktu tempuh kereta 40 menit, keretanya tidak langsung berhenti di Kota Bandung, tapi di Tegal Luar atau Padalarang, lalu sambung kereta feeder atau bus.
"Saya keberatan karena ini tidak praktis. Apalagi untuk bisnis, saya sering bawa koper besar. Jadi kalau harus ganti moda transportasi ini menyulitkan saya," tuturnya.
Selain soal keamanan dan kenyamanan, Ibnu juga khawatir dengan harga tiket, jika nantinya hanya ada kereta cepat.
Dia mematok harga tiket maksimal Rp200.000 sekali jalan, "kalau lebih dari itu bakal berat dan ganggu neraca," ujarnya.
Masih di kereta makan, saya menemui tiga orang laki-laki yang sedang membuka laptopnya. Mereka mengaku sedang dalam perjalanan bisnis.
Berbeda dengan Ibnu yang memandang perpindahan moda transportasi sebagai masalah besar karena "tidak nyaman dan tidak aman", Rafi - yang meminta namanya disamarkan - mengaku tidak masalah asalkan ada feeder dan tidak naik mobil lagi karena "macet".
Yang menjadi masalah utama bagi dia adalah harga tiket. Katanya, jika harga tiket sampai tiga kali lipat dari harga tiket Argo Parahyangan, Rafi lebih memilih naik travel.
Dalam perjalanan kali ini, Rafi membeli tiket kereta eksekutif.
"Kalau kereta cepat masih dua kali lipat harganya, menurut saya itu masih masuk akal karena beli waktu, kan. Tapi, kalau harganya tiga sampai empat kali lipat enggak masuk akal sih.
"Kalau tiga sampai empat kali lipat mendingan saya naik pesawat ke Surabaya, berbisnis di Surabaya, ngapain ke Bandung. Harganya sama, pasarnya lebih besar di Surabaya, mungkin," kata laki-laki yang berbisnis di bidang teknologi itu.
Harga tiket semakin mahal, benarkah untuk kereta cepat?
Dalam perjalanan saya ke Bandung menggunakan Argo Parahyangan ini, saya membeli tiket eksekutif seharga Rp200.000. Sementara untuk tiket ekonomi harganya Rp150.000.
Para penumpang mengatakan harga ini baru saja naik. Sebelumnya, pada awal Desember harga tiket termurahnya Rp130.000. Bahkan Silvi mengatakan, pada Oktober 2022 lalu, harganya masih sekitar Rp85.000.
Namun, kenaikan harga tiket kereta api tidak hanya terjadi untuk rute Jakarta-Bandung. Harga tiket kereta api jarak jauh lainnya juga mengalami kenaikan.
Sejumlah masyarakat mengatakan kenaikan harga tiket kereta api terjadi untuk memberi modal kereta cepat karena PT KAI merupakan salah satu perusahaan konsorsium kereta cepat, bersama dengan PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara.
Vice President Public Relation PT KAI Joni Martinus, mengatakan kenaikan harga tiket kereta Argo Parahyangan– dan kereta-kereta lainnya– tidak ada kaitannya dengan proyek kereta cepat.
Kenaikan harga tiket terjadi karena perhitungan biaya operasional dan permintaan pelanggan yang naik "sangat signifikan" sejak pandemi Covid-19.
"Ketika masa pandemi itu penumpang KA Argo Parahyangan hanya di bawah angka 30% keterisian tempat duduknya, tetapi ketika pandemi sudah mulai membaik, mobilitas masyarakat sudah mulai sangat aktif, maka tentu permintaan masyarakat terkait dengan KA Argo Parahyangan itu sangat tinggi, okupansinya bisa mencapai 80-100%," kata Joni Martinus seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (31/01).
"Penyesuaian harga tiket" dikatakan Joni dilakukan sesuai penentuan tarif batas atas (TBA) dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2018.
Sejauh mana kepastian wacana nonaktif Argo Parahyangan?
Pada November 2022 lalu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Luhut Binsar Panjaitan, sempat menyampaikan wacana menghentikan operasional kereta api Argo Parahyangan demi kereta cepat.
Meski kemudian, juru bicara Kemenkomarves dan juru bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatakan "masih dalam pembahasan dengan pemangku kepentingan".
Setelah pernyataan itu, Menteri BUMN Erick Thohir juga sempat mengusulkan kereta Argo Parahyangan menjadi "angkutan barang saja" dan "penumpangnya bisa juga dengan kereta cepat".
Joni Martinus, mengatakan "sampai saat ini Argo Parahyangan masih beroperasi secara normal".
Namun, Joni mengatakan memang ada pembahasan terkait hal itu.
"Kalau komunikasi, terus ada, dilakukan, tapi baru sebatas kajian-kajian karena tentu perlu pertimbangan yang matang, perlu melihat dari semua sisi. Maka dari itu, apa yang dikatakan oleh juru bicara pak Menhub bahwa itu sedang pembahasan dengan stakeholder, ya saat ini sedang dalam pembahasan," kata Joni.
Sebagai operator kereta Argo Parahyangan sekaligus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT KAI, sebut dia, "akan mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah".
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal mengatakan belum ada rencana penutupan Argo Parahyangan sampai saat ini dan "sepertinya pangsa pasarnya beda, jalurnya juga beda".
Sementara Deputi Koordinator Transportasi dan Infrastruktur Kemenkomarves Rachmat Kaimmudin belum bisa memberikan komentar.
Namun, pihaknya mengatakan wawancara untuk "saat ini dan beberapa waktu ke depan belum memungkinkan" dan tidak juga memberikan pernyataan tertulis.
Ke mana penumpang beralih jika Argo Parahyangan benar-benar disuntik mati?
Jika operasional kereta api Argo Parahyangan benar-benar dihentikan dan perbedaan harga tiket kereta cepat terlalu besar, Tyas, Silvi, dan Ibnu berencana beralih ke travel.
"Saya rasa orang-orang akan beralih ke travel, apalagi nanti ada Cikampek 2 yang akan lebih cepat untuk ke Bandung. Perbedaan Rp100.000 saja kan cukup berat ya," ujar Tyas.
"Saya lebih memilih beralih ke travel mobil untuk menuju Bandung daripada harus pakai kereta cepat karena lebih praktis, pilihan travel-nya ada banyak di sekitar rumah saya dan langsung menuju Kota Bandung," kata Ibnu.
Sementara Silvi mengatakan dia pasti akan mencoba kereta cepat sekali saja "untuk melihat kinerjanya". Jika dirasa tidak cocok, dia akan menggunakan "bus atau travel".
"Travel lebih enak dibanding kereta karena dijemput dan diantar langsung ke tempat tujuan," tutur dia.
Pekan lalu, Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga membocorkan harga termurah kereta cepat sebesar Rp125.000 untuk rute terdekat.
Sementara untuk rute jarah jauh dijual mulai Rp250.000 pada tiga tahun pertama operasi karena akan ada subsidi.
Harga itu, kata dia, masih belum berubah dari rencana semula.
Travel menjadi solusi
Perpindahan moda transportasi dari kereta ke travel jika kereta Argo Parahyangan benar-benar ‘disuntik mati’, sudah diperkirakan oleh pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo.
Sony mengatakan orang-orang dari atau yang menuju Jakarta utara, Jakarta Pusat "akan kembali ke travel atau bawa mobil".
"Kita sudah punya JORR 2 yang bisa mengkoneksikan lebih cepat lagi. Kita punya elevated, sebenarnya lebih lancar. Ada kemungkinan akan bergeser seperti itu," kata Sony.
Meskipun, lanjut dia, kemungkinan akan banyak juga bisnis travel yang terdampak, terutama mereka yang mencakup area Jakarta Timur dan Jakarta Selatan karena kemungkinan masyarakat akan beralih ke kereta cepat.
"Tinggal kereta cepatnya compare dengan tarif travel, dengan waktunya travel. Secara total waktu, ya. Jangan hanya dilihat waktu antara Padalarang-Halim, tapi yang kita lihat total waktu dari ke origin sampai ke destinasi," tambah Sony.
Dosen teknik sipil itu menilai, penonaktifan kereta Argo Parahyangan "bukan solusi" jika tujuannya untuk mendukung kinerja kereta cepat.
Apalagi kota-kota di sekitar stasiun-stasiun kereta cepat belum dibangun. Dia malah memperkirakan "sampai lima tahun ke depan, sampai menunggu kota-kota itu tumbuh, kereta cepat akan terus-terusan merugi".
Kata Sony, jika kereta cepat ingin berhasil, pengelolanya harus membuat "analisis yang spesifik" terkait profil-profil penumpang.
Ada tiga hal yang diperhatikan masyarakat ketika memilih transportasi, selain waktu, kata Sony menjelaskan. Pertama soal kemudahan, kedua soal kenyamanan, dan ketiga soal biaya.
Kemudahan itu terkait dengan pergantian moda. Jika sering berganti moda, itu berarti "kemudahannya jelek".
"Kalau kenyamanan jelas. Dan biaya, untuk jarak yang relatif pendek, termasuk regional lah Bandung-Jakarta itu, biaya cukup signifikan. Begitu beda sedikit, apalagi buat orang-orang yang tidak mengejar waktu, dia akan mencari biaya yang relatif lebih murah, misalnya kunjungan sosial, bisnis yang sifatnya perdagangan," kata Sony menjelaskan.
Sebaliknya, orang-orang yang mementingkan waktu, biasanya tidak terpengaruh biaya dan itulah yang menurut Sony harus dipahami oleh pengelola kereta cepat.
‘Biar konsumen yang menentukan’
Arief menilai penonaktifan kereta Argo Parahyangan "tidak bijak" dan "terburu-buru".
Jika Argo Parahyangan ditutup dan kenyataannya kereta cepat "tidak lebih baik", Arief menilai pemerintah melakukan "tindakan semena-mena dan menyalahi prinsip" karena seharusnya pemerintah melindungi konsumen dari monopoli, bukan malah "mementingkan pemilik modal saja".
Menghapus kereta Argo Parahyangan, menurut Arief, sama saja menghilangkan hak konsumen untuk memilih opsi yang terbaik bagi mereka.
"Apa salahnya membuka membuka pilihan juga kepada konsumen untuk tetap menggunakan kereta Argo Parahyangan? Saya kira enggak ada salahnya," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran ini.
Lebih jauh lagi, dia khawatir penonaktifan kereta cepat akan menimbulkan de-development, dengan perkiraan orang-orang akan kembali menggunakan jalur darat—menggunakan mobil melalui jalan tol.
Padahal, menurut Arief, seharusnya pembangunan infrastruktur "membuat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik".
"Itu menurut saya de-development, kebalikan dari pembangunan, karena kan tol itu lebih berbahaya, lebih berisiko...
"Niatnya mau jadi negara maju yang menggunakan kereta cepat, karena berbagai faktor yang tidak mendukung akhirnya malah menjadi balik lagi ke yang lebih tradisional," tuturnya. (*)
Tags : Kereta Api Cepat, Wacana Penonaktifan Kereta Api Argo Parahyangan, Penumpang Kecewa Kereta Api Cepat Dinonaktifkan, Transportasi kereta Api,