PADA awal tahun 2022 lalu, masyarakat dikejutkan dengan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Kelangkaan minyak goreng pun terjadi dimana-mana.
"Ini tentu mengundang pertanyaan selama ini apa peran pemerintah dan bagaimana perusahaan kelapa sawit menjalankan bisnisnya," tanya Larshen Yunus, Ketua DPD I KNPI Riau dalam bincang bincangnya ngopi bersama di bilangan komplek Damai Langgeng, Kamis.
Larshen Yunus kembali menyebutkan kelapa sawit bersumber minyak nabati berasal dari Afrika Barat yang mulanya tanaman itu lebih diperlakukan sebagai tanaman hias, kini orang-orang Eropa mulai membudidayakan tanaman itu di wilayah jajahan untuk mengambil potensi minyak nabati yang dikandungnya.
Menurutnya, Indonesia sendiri baru serius mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada era 1980an melalui skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
"Skema yang terintegrasi dengan kebijakan transmigrasi itu mengatur proporsi lahan konsesi yang dapat dikelola perusahaan adalah 30 persen. Sedangkan sisanya harus dikembangkan untuk para transmigran," kata dia.
"Program ini dapat dikatakan cukup berhasil seperti yang dijalankan PT Musim Mas di Pelalawan, Riau karena banyak masyarakatnya mulai mau menjadi petani sawit dan mereka mampu mengelola perkebunan secara produktif," sebutnya.
Larshen mengakui, tidak sedikit warga yang gagal menjadi petani sawit karena penghasilan yang diperoleh dari berkebun sangat tidak mencukupi, khususnya pada masa-masa awal tanam.
"Beberapa kemudian memutuskan untuk menjual kebun sawitnya kepada orang lain yang tertarik."
Menurutnya, tahun 2001, luas perkebunan kepala sawit di Indonesia telah mencapai 4,7 juta hektar (sepertiga luas Pulau Jawa). Dari jumlah ini 55 persen dimiliki perusahaan swasta, 32 persen dikelola petani dan sisanya dimiliki perusahaan plat merah.
"Dengan proporsi yang seperti ini perkebunan kelapa sawit telah menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat Indonesia."
"Jka melihat potret pekerja di perkebunan sawit di PT Musim Mas, misalnya, akan dapat kita kenali karakternya."
"Jumlah pekerja buruh atau pekerja yang mencari penghasilan di perkebunan sawit itu diperkirakan mencapai 2000 orang."
"Mereka yang terhitung sebagai petani sawit atau pekerja sawit diasumsikan sebagai kepala keluarga. Jadi, apabila setiap keluarga memiliki 4 anggota keluarga maka industri sawit telah menghidupi ribuan keluarga di Pelalawan," sebutnya.
"Tetapi angka-angka tersebut mungkin tampak abstrak sehingga kurang bisa mencerminkan realitas sesungguhnya di lapangan."
"Yang jelas dengan angka tersebut kita dapat memperkirakan bahwa setiap 10 hektar lahan perkebunan sawit bisa menyerap 2 sampai 3 tenaga kerja," terangnya.
"Kita mengakui bahwa ada perbedaan besar antara perkebunan yang dikelola oleh petani dengan yang dikelola oleh perusahaan besar, terutama dalam hal mekanisme kerja," tambahnya.
Menurutnya, di perkebunan sawit milik petani, mungkin kebutuhan tenaga kerja cukup dengan mengandalkan warga sekitar. Mereka dipekerjakan secara informal dan mendapatkan bayaran setelah hasil panen dijual ke pabrik.
Tetapi bagi perusahaan besar yang mengelola ratusan bahkan ribuan hektar perkebunan sawit, menurutnya, kebutuhan tenaga kerja bisa tercukupi yang juga bisa dengan mendatangkan buruh migran dari luar daerah.
"Mereka akan diperlakukan sebagai pekerja kontrak harian."
"Beberapa perusahaan bahkan menerapkan sistem performa panen, dimana pekerja diupah menurut bobot kelapa sawit yang diangkut ke pabrik. Dengan mekanisme seperti ini maka tidak salah kalau perusahaan-perusahaan besar memiliki keuntungan yang besar karena ongkos produksinya sangat rendah," kata dia.
Industri kelapa sawit sebutnya, awalnya didisain untuk memberantas kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat pedesaan telah berubah menjadi ladang bisnis basah.
"Jadi bisnis kelapa sawit sekarang malah menimbulkan ketimpangan sosial. Tetapi perusahaan seperti Musim Mas tetap serius memperhatikan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan mereka."
"Hal ini tercermin dari infrastruktur jalan di pedesaan yang sudah terbangun. Akses layanan kesehatan yang mudah dijangkau dan tingkat pendidikan warga pun berangsur membaik," jelas Larshen.
Dalam satu dekade terakhir, sebagian pekerja perkebunan kelapa sawit dilingkungan perusahaan itu menunjukkan wajah yang gembira.
"Mereka adalah warga lokal yang bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit."
"Konflik lahan berangsur pulih. Warga lokal merasa diikutsertakan oleh kehadiran perusahaan kelapa sawit di kampung halaman mereka. Sudah puluhan tahun perusahaan itu cenderung lebih tertarik untuk memberdayakan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan telah menyisihkan paling tidak memberikan 20 persen bakti sosial berupa Corporate Social Responsibility (CSR) nya untuk warga lokal," kata Larshen.
Jadi perusahan itu, sebut Larshen terus berkembang dan dapat dikatakan terkonsentrasi lebih mendahulukan kepentingan menjalankan pola-pola bisnis yang berkelanjutan. Mereka mempedulikan fungsi ekologis lahan bagi masyarakat lokal dan mengutamakan hak-hak pekerja yang layak. (*)
Tags : industri, perkebunan, pekerja sawit, perusahaan perkebunan sawit, pt musim mas, pelalawan, riau,