"Proyek food estate atau lumbung pangan di hutan lindung akan mengancam kebakaran lahan, bahkan bisa menimbulkan bencana konflik masyarakat adat"
rgansasi lingkungan, Walhi, menyebut proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah (Kalteng) seluas 165.000 hektar mengancam lahan gambut sehingga berpotensi menimbulkan kebakaran lahan.
Tetapi pemerintah mengklaim ancaman kebakaran justru bisa diminimalisir lantaran lahan tersebut tak lagi ditelantarkan dan nantinya akan dikelola dengan teknologi pertanian yang tanpa membakar.
Sementara itu warga Desa Bentuk Jaya, di Kabupaten Kapuas, meminta pemerintah membenahi saluran air terlebih dahulu untuk membereskan banjir tahunan yang menenggelamkan pemukiman dan lahan mereka.
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono, menyebut proyek food estate atau lumbung pangan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas berpotensi merusak lahan gambut yang sedang direhabilitasi.
Pasalnya lahan gambut yang kini digunakan untuk lumbung pangan merupakan lahan eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang terlantar akibat proyek serupa di masa pemerintahan Soeharto tahun 1995.
Sejak itu, menurut Dimas Hartono, lahan eks PLG yang terlantar tersebut menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hingga sekarang.
"Jika lahan gambut itu dirusak lagi berdampak pada lokasi-lokasi yang gambutnya bagus dan menambah rentetan kebakaran," ujar Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono pada media, Kamis (24/09) lalu.
Sejauh pengamatannya, sejak proyek food estate ini pertama kali disampaikan Presiden Joko Widodo pada Juni silam, pemerintah tidak pernah melakukan sosialisasi atau berdiskusi dengan pegiat lingkungan.
Selain itu pemerintah pusat dan daerah tidak pernah membuka kajian lingkungan atas proyek tersebut.
Dimas mengatakan kalau lahan eks PLG betul digunakan untuk menanam padi dan tanaman holtikultura, harus memperhatikan betul kondisi gambut.
Ia menambahkan tak semua lahan gambut bisa ditanami.
"Memang gambut di bawah satu meter bisa dibudidaya, tapi lihat dulu apakah di bawah gambut itu mengandung pasir dan pirit (senyawa sulfur). Kalau iya, tidak bisa dikelola," imbuhnya.
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas menyarankan pemerintah agar memaksimalkan lahan pertanian warga ketimbang membuka lahan gambut baru.
Ia menyatakan kebanyakan lahan yang dikelola warga terkendala status izin yang berada di kawasan hutan.
"Kenapa tidak dimaksimalkan lahan warga? Diidentifikasi jenis pangan apa saja yang ditanam masyarakat? Beruapa jumlah produksi? Luasannya berapa."
KLHK: 'jika dimanfaatkan kebakaran bisa diminimalisir'
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong, mengakui lahan yang digunakan untuk proyek lumbung pangan saat ini merupakan eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang dulu juga dicanangkan untuk proyek serupa pada era presiden Soeharto.
Luasnya mencapai 1,4 juta hektar dan berada di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.
Akan tetapi, berdasarkan kajian KLHK dan Bappenas serta Pemprov Kalimantan Tengah, dari luasan 1,4 juta itu setidaknya 700.000 hektar masuk dalam zona yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan dan holtikultura.
Alue Dohong mengatakan kontur lahannya sebagian besar tanah mineral dan gambut tipis atau ketebalannya kurang dari 100 sentimeter.
"Sisanya memang untuk konservasi, itu daerah-daerah gambut dalam," tutur Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong seperi dirilis BBC Indonesia.
Hanya saja karena sejak 1995 tidak dimanfaatkan, katanya, kerap terjadi kebakaran.
Ia juga mengatakan pemerintah berniat mengelola kembali lahan eks PLG tersebut untuk digunakan sebagai lumbung pangan seluas 165 ribu hektar. Harapannya bisa meminimalisir kebakaran lahan dan hutan.
"Dulu terlantar makanya terbakar. Kalau dimanfaatkan bisa meminimalisir kebakaran. Jadi pemerintah tahu dan punya data yang kuat bahwa kegiatan food estate di Kalimantan Tengah kita lakukan juga proses rehabilitasi gambut dalam."
Pada tahap awal proyek food estate yang dimulai pada Oktober mendatang, pemerintah menyiapkan 30.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Seluruh area itu, katanya, akan ditanami padi.
"Tahun ini 30.000 hektar yang sebagian adalah sudah eksisten sawah ada juga yang irigasinya bagus. Tapi ada juga yang perlu rehabilitasi irigasi sedikit."
Untuk pengolahan lahan pertanian, pemerintah akan menggunakan teknologi baru yang tidak membakar. Selain itu memakai pupuk organik. Dengan begitu, petani tak perlu membakar lahan gambut.
Selain di Kalimantan Tengah, pemerintah akan memperluas lokasi proyek lumbung pangan hingga ke Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Selatan.
Presiden Jokowi berkata, proyek tersebut merupakan bagian dari penyediaan cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Selain juga mengurangi ketergantungan pada impor.
Tak cuma padi, pemerintah juga bakal mengembangkan tanaman singkong, jagung, dan peternakan. Karena itu, Jokowi meminta Kementerian Agraria agar membereskan persoalan lahan.
"Masalah kepemilikan lahan kemudian ini menimbulkan masalah tapi saya yakin bisa segera dituntaskan," ujar Presiden Jokowi dalam video konferensi di Istana, Rabu (23/09).
Apa kata warga?
Kepala Desa Bentuk Jaya di Kabupaten Kapuas, Barsuni, mengatakan warganya tidak keberatan dengan proyek food estate di wilayahnya.
Sebab warga menilai, adanya proyek tersebut bisa membantu membenahi saluran irigasi yang menenggelamkan lahan pertanian mereka jika hujan.
Pasalnya bencana banjir kerap terjadi saban tahun dan membuat penghidupan warga setempat berkurang.
"Yang diutamakan irigasi dulu supaya tidak ada kebanjiran," ujar Barsuni.
"Karena rugi, makin tahun bercocok tanam semakin menurun."
Di desa ini, setidaknya 1000 hektar lahan gambut akan ditanami padi dan akan mulai dikerjakan pada Oktober mendatang.
Warga yang sebagian besar petani, kata Barsuni, akan dipekerjakan untuk mengolah lahan sawah.
Peringatan bencana dan konflik mengancam
Pegiat lingkungan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, untuk membatalkan Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2020 yang mengizinkan penggunaan kawasan hutan lindung dipakai untuk proyek food estate atau lumbung pangan.
LSM Lingkungan Walhi mengatakan kebijakan itu bakal merusak fungsi hutan lindung untuk mencegah bencana banjir dan longsor.
Walhi juga menyebut aturan terkait penggunaan hutan lindung ini tidak memperhitungkan dampak lingkungan dan memberikan keleluasaan penuh kepada korporasi karena tak mengharuskan membuat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Adapun KLHK menyebut, kawasan hutan lindung yang akan digunakan untuk lumbung pangan adalah hutan yang tidak produktif.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi, mengatakan pihaknya segera memanggil Menteri KLHK, Siti Nurbaya, untuk menjelaskan Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 yang membolehkan hutan lindung digunakan untuk proyek lumbung pangan.
Dedi menilai, kebijakan tersebut melampaui peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang semestinya mengembalikan fungsi hutan lindung sebagai penyangga ekosistem dan mencegah bencana ekologis seperti banjir dan longsor.
Karena itu, lanjutnya, KLHK harus membatalkan peraturan tersebut.
"Kalau hutan lindung yang tidak produktif, tugas pertama mereka adalah mereboisasi dan dikembalikan lagi fungsinya sebagai hutan lindung. Itu yang harus dilakukan," ujar Dedi Mulyadi.
Ia menyarankan pemerintah agar menggunakan lahan perkebunan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar untuk ditanami pangan.
Catatan Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2019, ada 1,5 juta hektar lahan HGU terlantar. Adapun 344.000 hektar lahan HGU masih berupa hutan.
Lahan-lahan terlantar itu, disebut Dedi, bisa dikembalikan kepada pemerintah dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
"Jadi utamakan dulu areal-areal perkebunan terlantar dan tidak produktif itu. Jangan merambah ke hutan lindung," tukasnya.
Apa penjelasan KLHK?
Proyek food estate atau lumbung pangan di era Presiden Joko Widodo dimaksudkan sebagai penyedia cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Pada tahap awal, pemerintah menargetkan 1,4 juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk ditanami tanaman pangan dan holtikultura.
Kini lewat Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, melahap area hutan lindung.
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto, mengatakan kebijakan ini merupakan program strategis nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional yang disebutnya cukup mendesak.
Kawasan hutan lindung yang akan dipakai sudah tidak sepenuhnya berfungsi atau terdegredasi.
Petani membajak sawah dengan traktor bantuan dari Pemerintah Pusat di kawasan lumbung pangan nasional "Food Estate" di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
KLHK mengeklaim, program ini nantinya dilakukan secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Skema yang diatur pun disebut akan memperbaiki fungsi hutan lindung sebab dilakukan dengan kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan (agroforestry).
Ada juga kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture) dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan yang dikenal sebagai wana mina (sylvofishery).
"Tanaman hutan pada kombinasi-kombinasi tersebut di atas akan memperbaiki fungsi hutan lindung," kata Sigit dalam siaran persnya.
"Untuk itu kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai areal food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan."
"Namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi," sambungnya.
Peraturan baru ini juga memberikan hak pengelolaan maksimal 20 tahun kepada pengelola dan bisa diperpanjang.
Jika merujuk pada ketentuan peraturan tersebut, maka Peraturan Menteri ini mulai berlaku 2 November 2020.
Walhi sebut aturan ini tak memperhitungkan dampak lingkungan
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional, Wahyu Perdana, mengatakan program food estate ini berskala besar namun KLHK tidak memperhitungkan dampak lingkungan yang diakibatkan.
Menurut Wahyu, hal itu tercermin dari tak adanya keharusan pengelola membuat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Pihak pemohon hanya disyaratkan melengkapi dokumen komitmen dan persyaratan teknis seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat.
"KLSH cepat ini tidak ada basis argumentasi regulasi yang menjelaskan soal itu. KLHS kan level naik dari Amdal, ada enam komponen yang diperhitungkan yakni menghitung daya dukung dan daya tampung," jelas Wahyu.
"Sehingga tahu seberapa besar dampak bencana yang ditimbulkan dan biasanya memakan waktu hapir satu tahun."
"Nah KLSH cepat ini tidak jelas. Dalam bahasa sederhana, tinggal kirim surat komitmen bermaterai bisa langsung beroperasi."
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memberikan paparan saat kunjungan kerja di areal persawahan lumbung pangan nasional 'Food Estate' di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Jika hutan lindung ini dipakai untuk proyek food estate, maka bencana ekologis tak terhindarkan.
Persoalan lain, kata Wahyu, potensi konflik yang berhubungan dengan masyarakat adat.
"Karena lokasinya dibenturkan dengan korporasi."
"Banjir, kekeringan dalam setahun terakhir akan meningkat. Di samping deforestasi sebagai dampak langsung."
Pengamatan Walhi, lokasi yang disasar proyek ini berada di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua. (*)
Tags : proyek lumbung pangan, kalimantan tengah, proyek lumbung pangan di hutan lindung, proyek lumbung pangan ancam kebakaran, proyek lumbung pangan timbulkan bencana konflik masyarakat adat ,