INTERNASIONAL - Warga Kota Gaza hidup di tengah ketakutan karena serangan balasan Israel masih terus berlanjut. Namun mereka juga memiliki pilihan yang sangat terbatas untuk menyelamatkan diri.
“Setiap kali terjadi gempuran, rasanya seperti gempa bumi menghantam gedung. Saya merasakan jantung saya berdebar ketakutan dan seluruh tubuh saya gemetar,” kata Nadiya yang enggan menyebutkan nama aslinya.
Pada Senin (09/10) pagi, dia dibangunkan oleh suara pintu dan jendela yang pecah. "Gempuran dimulai pada pukul 08.00 pagi dan berlangsung hingga tengah malam. Tidak berhenti sedetik pun."
Ibu dari dua anak laki-laki – satu berusia lima tahun, satu lagi berusia tiga bulan – tinggal di rumah susun yang baru saja dibeli dan didekorasi oleh keluarganya. Dia bertahan di sana bersama kedua anaknya, sementara suaminya - seorang dokter di organisasi bantuan internasional - menangani korban luka di lapangan.
“Apa yang terjadi? Dan kapan itu akan berakhir?” anak sulungnya bertanya. Nadiya mengatakan satu-satunya cara untuk menenangkannya adalah dengan mengatakan kepadanya bahwa "mendengar suara ledakan beberapa saat lebih lambat dari ledakan yang sebenarnya terjadi" – adalah cara mengetahui bahwa mereka aman.
Ini adalah jenis pengetahuan yang tidak diharapkan dapat dipahami oleh anak berusia lima tahun, namun bagi Nadiya, ini adalah cara terbaik saat ini.
Bagaimanapun, ledakan masih berdampak bagi keluarganya karena bayi laki-lakinya yang berusia tiga bulan mengalami kejang-kejang dan menolak makan.
Selama beberapa hari terakhir, Nadiya menolak meninggalkan rumahnya yang “setiap sudutnya memiliki kenangan”.
Namun pada Senin (09/10) malam, dia mendengar tetangganya berlari menuruni tangga sambil berteriak: "Evakuasi! Evakuasi!"
Ibu muda itu ragu-ragu selama beberapa detik, otaknya bingung memutuskan apa yang harus dibawa. Kemudian dia menangis karena ketidakberdayaan dan ketakutan.
Dia meninggalkan gedung tersebut bersama kedua anaknya, namun mengatakan dia tidak dapat mengenali lingkungan tersebut karena bangunan di sekitar bloknya telah rata dengan tanah.
Dia kini berusaha untuk sampai ke rumah orang tuanya dengan selamat, namun dia berkata: "Di mana kita bisa bersembunyi ketika kematian datang dari langit?"
Nadiya dan warga Gaza lainnya yang berbicara dengan BBC mengatakan skala kerusakan di Gaza belum pernah terjadi sebelumnya.
'Tiada tempat yang aman di Gaza'
Di kawasan lain, Dina, 39 tahun, berlindung dari serangan udara Israel bersama ibu, ayah, saudara perempuan, dan dua keponakannya di vila mereka yang memiliki taman. Mereka tinggal di daerah pesisir kelas atas, Rimal.
Sebelum serangan Israel berlangsung, kawasan Rimal merupakan kawasan permukiman yang tenang sekitar 3km dari pusat kota.
Pada Senin (9/10) sore, keluarga tersebut mulai mendengar suara tembakan keras di sekitar lingkungan tersebut.
“Kami pikir kami aman di dalam rumah, namun tiba-tiba dan tanpa peringatan, jendela pecah, pintu terbanting dan terbang,” kata Dina. "Beberapa bagian atap runtuh di sekitar kepala kami."
Karena terkejut, mereka tetap tinggal di dalam rumah yang rusak tersebut ketika enam serangan udara berikutnya menghantam daerah itu.
Saat suasana mulai tenang, Dina dan keluarganya melarikan diri, meninggalkan segalanya.
Mereka berlari ke rumah sakit untuk menjalani perawatan - Dina mengatakan mereka beruntung luka mereka tidak dalam.
Ketika mereka kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang, rumah itu rata seluruhnya.
Mereka kini tinggal sementara bersama keluarga lain, dan Dina masih berusaha pulih dari keterkejutannya karena "kehilangan rumah, kenangan, dan tempat di mana kami dulu merasa aman".
“Tidak ada tempat yang aman di Gaza,” tambahnya.
Salah satu warga lainnya, Busha Khalidi, menceritakan betapa “mengerikan” situasi di Gaza saat ini.
Menurutnya, keputusan Israel untuk “menghukum seluruh penduduk secara kolektif adalah kejam”.
“Keponakan saya ketakutan dan hidup dalam teror, yang mereka tahu hanyalah blokade dan perang. Mereka tidak mau pergi ke mana pun tanpa ibu mereka, bahkan ketika di dalam rumah mereka sendiri,” tutur Khalidi.
“Mereka memberi tahu saya bahwa mereka sekeluarga tidur bersama, jadi kalau mereka mati, mereka akan mati bersama.”
Rumah sakit kewalahan menangani pasien
Di Rumah Sakit Alshifaa yang terbesar di wilayah padat penduduk, direktur rumah sakit tersebut, Dr Mohamed Abo Suleima, mengatakan situasinya mengerikan.
“Sedikitnya 850 orang tewas dan lebih dari 4.000 orang terluka,” katanya.
Rumah sakit ini mengandalkan generator listrik karena aliran listrik ke jalur tersebut telah terputus dan listriknya hanya cukup untuk digunakan selama tiga hari lagi, ungkapnya.
Bangunan hancur di Gaza akibat serangan balasan Israel
Ketika Israel mengumumkan blokade penuh terhadap Gaza, air desalinasi kini menjadi langka di rumah sakit.
Dr Abo Suleima mengatakan mereka sekarang memprioritaskan penggunaan air bersih hanya untuk “kasus yang menyelamatkan nyawa”. Mereka juga harus menutup departemen lain di rumah sakit untuk membantu menyelamatkan nyawa.
Sang dokter mengkhawatirkan keselamatan pasiennya, dan juga stafnya - ia mengatakan kendaraan ambulans menjadi sasaran dan seorang dokter terbunuh dalam perjalanan ke rumah sakit.
Menurut badan pengungsi Palestina PBB (UNRWA), pengungsian massal telah meningkat pesat dalam 24 jam terakhir dan lebih dari 187.000 warga Gaza kini meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan.
Ketika pemboman besar-besaran terus berlanjut, organisasi tersebut telah berhasil menampung 137.500 orang, namun ada kekhawatiran bahwa kapasitasnya akan segera penuh terisi pasien.
Tak banyak pilihan untuk menyelamatkan diri
Di tengah situasi itu, warga sipil di Gaza tidak memiliki banyak pilihan untuk menyelamatkan diri.
Perbatasan dengan Mesir tidak ditutup sepenuhnya, namun hanya 400 orang per hari yang diizinkan keluar-masuk, dengan daftar tunggu yang sangat panjang.
Jalur untuk keluar dari Gaza bagi warga sipil pun selama ini tak pernah mudah, terutama sejak Israel memulai aksi pembalasan atas serangan Hamas.
Satu-satunya pilihan bagi masyarakat adalah menyelamatkan diri ke sekolah-sekolah yang dikelola oleh PBB.
PBB mengatakan bahwa tempat penampungan sementara mereka telah terisi 90% dan tidak bisa menampung lebih banyak orang lagi.
Sebagian orang memilih berlindung di ruang bawah tanah rumah mereka, namun mereka dapat terjebak apabila bangunan tersebut roboh.
Sekitar 30 keluarga telah terjebak di salah satu ruang bawah tanah pada Senin malam.
Lebih dari 770 orang tewas dan sekitar 4.100 orang terluka dalam serangan balasan Israel di Gaza.
Selain itu, lebih dari 187.000 orang mengungsi dan jumlahnya diperkirakan masih akan meningkat.
Sementara di Israel, lebih dari 900 orang telah meninggal akibat serangan Hamas.
Toko-toko kosong
Ishaq, 27, dulu tinggal bersama ibu, ayah, saudari ipar dan kelima anaknya di lingkungan Shujaiyya.
Setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel akan memasuki “perang yang panjang dan sulit” setelah serangan Hamas pada hari Sabtu (07/10), Ishaq dan keluarganya berusaha mengantisipasi.
Mereka mengumpulkan barang-barang mereka yang paling berharga dan masing-masing membawa tas kecil sembari mencari perlindungan di pusat kota.
Dalam perjalanannya, keluarga beranggotakan 20 orang tersebut mencoba untuk membeli kebutuhan pokok seperti bahan makanan, namun toko-toko sudah hampir kosong karena banyak warga Gaza yang bergegas untuk membeli persediaan setelah mereka mengetahui serangan hari Sabtu.
Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah bangunan di tengah kota, bersama dengan keluarga lainnya.
“Kami tinggal di sana selama 48 jam tanpa listrik atau air,” kata Ishaq.
Kemudian pada Senin (09/10) malam, dia menerima pesan dari tentara Israel untuk mengevakuasi gedung tersebut pada tengah malam. Pelarian mereka hanya diterangi oleh serangan udara.
“Yang bisa kami lihat di sekitar kami hanyalah puing-puing bangunan”.
Mereka berjalan ke sebelah utara dari pusat kota menuju salah satu kawasan pemukiman yang biasanya lebih sepi, namun mereka melihat bahwa "sebagian besar bangunan sudah rata dengan tanah".
Ishaq dan keluarganya telah bersembunyi selama lebih dari 12 jam di lantai bawah tanah yang gelap di sebuah bangunan yang hancur sebagian, bersama dengan 10 keluarga lainnya.
“Kami benar-benar hidup dalam ketakutan akan apa yang akan terjadi pada kami dan kami sama-sama berdoa untuk keselamatan,” katanya. Mereka masih tidak tahu apa yang harus dilakukan atau ke mana harus pergi selanjutnya.
'Tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya'
Seorang ibu di Kota Gaza mencoba mengira dia berada di area yang “lebih aman” pada Senin (9/10) malam.
“Orang-orang mengungsi ke rumah kami dan ada 18 orang yang tinggal bersama kami sejak siang kemarin,” Najla Shawa, yang bekerja untuk lembaga amal Oxfam.
Namun dia terbangun pada pukul 01.00 dini hari karena teriakan orang-orang yang meninggalkan daerah tersebut.
“Bayangkan betapa paniknya, punya enam orang anak, dan 20 orang dari keluarga yang berbeda-beda menaiki mobil kami mencoba untuk melarikan diri,” kata Najla.
Gedung-gedung hancur akibat serangan Israel ke Gaza.
Setelah berhasil menemukan tempat berlindung di sebuah restoran, dia kembali ke rumahnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat bangunan di seberang rumahnya telah “rata” dan jendela-jendela di rumahnya pecah.
“Momen-momen ini tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya,” ujarnya.
Angkatan Udara Israel mengatakan mereka telah menyerang 200 posisi kelompok milisi dalam semalam.
Jumlah orang yang tewas di Gaza pun mencapai 300 orang dalam sehari pada Senin (09/10). Menteri Kesehatan Palestina mengatakan dua per tiga di antaranya adalah warga sipil. Lebih dari 100 dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Salah satu serangan signifikan menghantam pasar pengungsi, namun Israel mengklaim bahwa mereka menargetkan sebuah rumah milik komandan Hamas.
Ketika serangan mereka menghantam rumah tersebut, banyak orang di jalan dan di sekitarnya turut terbunuh. (*)
Tags : Israel-Palestina, Militer, Timur tengah, Israel, Palestina,