INTERNASIONAL - Seorang wartawan perempuan ditembak mati di kota Jalalabad, Afghanistan timur, pada Kamis pagi (10/12), peristiwa terbaru dalam serangkaian pembunuhan di negara itu.
Malala Maiwand sedang menuju kantor ketika orang-orang bersenjata menembaki mobilnya di ibu kota Provinsi Nangarhar, Jalalabad. Serangan itu juga menyebabkan sopirnya, Mohammad Tahir, meninggal dunia. Maiwand adalah wartawan saluran televisi dan radio Enikass. Juru bicara pemerintah Provinsi Nangarhar, Attaollah Khogiyani, membenarkan peristiwa itu. "Ia sedang berada dalam perjalanan menuju kantor ketika peristiwa itu terjadi," katanya dirilis BBC News.
Ditambahkan, para pelaku telah melarikan diri dari lokasi kejadian. Sejauh ini belum ada pihak yang mengaku bertanggungjawab. "Siapa yang punya masalah dengan perempuan bekerja dalam masyarakat Afghanistan?" tanya wakil juru bicara presiden, Fatima Murchal, lewat Twitter. Para pelaku pengecut ini tidak akan dimaafkan, sekalipun setelah tercapai perdamaian," tambahnya.
Selain berprofesi sebagai jurnalis, Maiwand juga dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil yang sebelumnya mengungkapkan adanya berbagai tantangan yang dialami sebagai wartawan perempuan di Afghanistan. Ibunya, seorang aktivis, dibunuh oleh orang-orang tak dikenal lima tahun lalu.
Wartawan menjadi sasaran serangan
Dengan pembunuhan Maiwand ini maka jumlah jurnalis dan pekerja media yang dibunuh di Afghanistan tahun ini mencapai 10 orang. Menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tariq Arian, selama 15 tahun terakhir mayoritas wartawan yang dibunuh adalah korban serangan kelompok Taliban. Namun juru bicara Taliban menepis tuduhan pihaknya terlibat dalam pembunuhan Malala Maiwand. Di antara wartawan yang dibunuh sebelum Malala Maiwand adalah mantan pembawa acara televisi yang terkenal, Yama Siawash. Ia meninggal dunia bersama dua orang lainnya ketika mobil yang dikendarainya meledak di dekat rumahnya di Kabul bulan lalu.
Juga bulan lalu, wartawan Radio Liberty, Aliyas Dayee, terbunuh dalam ledakan bom di Lashkar Gah, Provinsi Helmand. Wartawan, aktivis dan politikus menjadi korban dalam sasaran pembunuhan yang meningkat belakangan. Ini terjadi di tengah perundingan antara kelompok Taliban dan pemerintah Afghanistan di Doha, Qatar. Kedua pihak mencapai kemajuan mengenai masalah-masalah awal tetapi belum sampai pada perundingan tentang gencatan senjata dan pembagian kekuasaan.
Serangan terhadap Fawzia Koofi, satu dari sedikit perempuan yang mengambil bagian dalam negosiasi dengan Taliban, adalah aksi "pengecut dan kriminal" untuk mengganggu proses perdamaian Afghanistan, kata utusan AS. Utusan AS untuk urusan rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad mengatakan dia "lega" bahwa Fawzia Koofi lolos dalam insiden penembakan Jumat lalu "tanpa cedera serius". Koofi ditembak di lengan kanan saat bepergian dengan saudara perempuannya.
Taliban membantah mereka adalah pihak di balik serangan itu, yang terjadi ketika kedua belah pihak bersiap untuk melakukan perundingan. Taliban sebelumnya menolak bernegosiasi langsung dengan pemerintah Afghanistan, tetapi setuju untuk mengambil bagian dalam pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri konflik selama hampir dua dekade, setelah mencapai kesepakatan dengan AS Februari lalu.
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, pemerintah Afghanistan harus membebaskan 5.000 tahanan Taliban. Pada hari Kamis lalu, mereka mulai melepaskan 400 tahanan terakhir. Pembicaraan diperkirakan akan dimulai di Qatar setelah tahanan terakhir dibebaskan. Namun, ada kekhawatiran bahwa serangan terhadap Koofi, seorang kritikus yang keras terhadap Taliban, yang diserang dalam perjalanan kembali dari sebuah pertemuan di Provinsi Parwan utara dekat ibu kota Kabul, dapat merusak proses tersebut. "Pola serangan terarah yang mengkhawatirkan dapat berdampak negatif pada kepercayaan dalam proses perdamaian," tulis kepala Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan, Shaharzad Akbar, di Twitter.
Khalizad juga menulis di Twitter bahwa dia ingin "semua pihak yang mengupayakan perdamaian tidak hanya mengutuk serangan itu, tetapi juga mempercepat proses perdamaian dan memulai negosiasi intra-Afghanistan secepatnya".
Siapa Fawzia Koofi?
Koofi adalah satu dari sedikit perempuan yang menjadi bagian dari delegasi pan-Afghanistan yang mengadakan banyak putaran dialog dengan kelompok Taliban. Fawzia Koofi pertama kali melihat pejuang Taliban pada September 1996. Kekuasaan Taliban di Afghanistan mengakhiri mimpinya menjadi seorang dokter. "Saya sedang belajar kedokteran di Kabul ketika Taliban mengambil alih kota. Saya melihat mereka dari apartemen saya di lantai lima. Ada pertempuran di jalan dengan kelompok militan memegang senapan otomatis."
Dalam beberapa hari, mimpinya menjadi dokter kandas karena atas perintah Taliban, ia dan sejumlah mahasiswa lain dikeluarkan dari sekolah. Dia kemudian tinggal di Kabul dan mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak perempuan yang dikeluarkan dari sekolah. "Itu adalah periode yang membuat depresi. Ketika seseorang ingin meremehkan Anda dan menghentikan kesempatan untuk Anda ... itu sangat menyakitkan."
Taliban lalu mengeluarkan keputusan yang memerintahkan perempuan untuk mengenakan burkak di depan umum. "Saya tidak pernah membeli burkak karena saya tidak akan membelanjakan uang untuk sesuatu yang tidak saya anggap sebagai bagian dari budaya kami," katanya.
Pembangkangan itu harus dibayar mahal olehnya. Dia harus membatasi gerakannya agar tetap aman. "Departemen wakil dan kebajikan [Taliban] biasa berpatroli di jalan-jalan dan mereka biasa memukuli perempuan jika mereka tidak mengenakan burkak".Tak heran, kebanyakan orang merasa lega ketika Taliban digulingkan setelah invasi pimpinan AS menyusul serangan 9/11 di AS. "Kami bisa berjalan-jalan dan berbelanja tanpa takut dipukuli oleh Taliban."
Setelah Taliban jatuh, Koofi bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk merehabilitasi mantan tentara anak-anak. Dia juga merawat dua anak perempuannya setelah suaminya meninggal karena tuberkulosis, yang menjangkitinya di penjara. Ketika pemilihan parlemen dilakukan pada tahun 2005, dia memutuskan ikut serta. Ayahnya pernah menjadi anggota parlemen dan dia mengakui basis dukungan ayahnya membantunya memenangkan suara. "Tapi tantangan penting bagi saya adalah menciptakan identitas terpisah."
Dia kemudian menjadi wakil ketua parlemen di masa pertama dari dua masa jabatannya sebagai anggota parlemen. Pada saat itulah dia lolos dari upaya Taliban untuk membunuhnya di bagian selatan negara itu. "Pada Maret 2010 saya pergi ke Nangarhar untuk merayakan Hari Perempuan Internasional. Dalam perjalanan kembali, konvoi saya diserang."
Koofi dan kedua putrinya diselamatkan oleh petugas keamanan, yang membawa mereka melewati terowongan di gunung. Mereka kemudian diterbangkan ke Kabul dengan helikopter. Serangan terhadap Koofi juga dikecam sebagai tindakan "pengecut" oleh Presiden Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah, kepala Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional. Taliban telah berjuang untuk mendapatkan kekuasaan kembali sejak disingkirkan tahun 2001, melalui invasi yang dipimpin AS.
Tahun lalu saja, lebih dari 3.000 warga sipil tewas dalam konflik tersebut, menurut data PBB. Namun, kesepakatan yang dicapai dengan AS terbukti kontroversial. Pada hari Sabtu, Prancis keberatan dengan pembebasan sekitar 400 tahanan yang ditahan oleh otoritas Afghanistan - beberapa di antaranya dilaporkan terlibat dalam pembunuhan warga negara Prancis. (*)
Tags : Wartawan Perempuan Terbunuh, Kota Jalalabad, Afghanistan Timur,