KESEHATAN - Tiga tahun lalu, Steven Timotius Dharma Suki tiba-tiba mengalami demam tinggi disertai badan lemas. Dia merasakan sakit perut dan diare. Oleh dokter yang memeriksanya, dia didiagnosis terkena tipes – salah satu penyakit endemis di Indonesia.
Pada umumnya, pasien yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi – penyebab penyakit tipes – akan berangsur membaik setelah tiga hingga lima hari menjalani perawatan terapi antibiotik dan pulih secara bertahap dalam beberapa pekan. Namun, tidak demikian yang dialami Steven.
Sepanjang tahun 2020, tipes menjadi penyakit langganan yang menderanya setiap bulan. Pemuda berusia 28 tahun itu harus bolak-balik ke rumah sakit dengan diagnosis yang sama. Oleh dokter yang merawatnya, kondisinya dibilang “tidak wajar”.
“Soalnya saya kan tes darah, jadi kayak [hasilnya] positif terus. Padahal dokter sudah kasih dosis antibiotik yang tepat,” tutur Steven seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (12/11).
Amoksisilin, antibiotik lini satu yang diberikan dokter pada Steven, tak mampu memusnahkan bakteri yang menyerang sistem pencernaannya. Dokter kemudian memberinya Siprofloksasin, antibiotik golongan berbeda dengan lini yang lebih tinggi.
Setelah mengonsumsi obat tersebut, Steven dinyatakan sembuh oleh dokter. Namun sayangnya, kondisi itu tak berlangsung lama. Untuk ke sekian kalinya, dia kembali terserang tipes.
Dokter mencurigai Steven mengalami apa yang disebut sebagai multidrug resistant (MDR), kondisi ketika bakteri dalam tubuh resistan terhadap minimal satu jenis antibiotik.
Steven lalu bercerita, orang tuanya sering memberi obat antibiotik ketika dirinya sakit saat kecil. Antibiotik itu dibeli orang tuanya secara bebas di apotek, tanpa resep dokter, kebiasaan yang kemudian berlanjut sampai dia dewasa.
“Orang tua tuh kebiasaan kasih antibiotik. Jadi apa pun sakitnya, radang, flu, atau demam, pokoknya ketika saya enggak enak badan lah. Itu seringnya saya dikasih antibiotik, terutama kayak Amoksisilin, plus obat kayak Decolgen,” tutur Steven.
“Nah itu terus [terjadi] tuh, ketika saya sakit dan karena kami enggak ada resep dan anjuran pakai, jadi ketika sudah sembuhan, kami stop,” cerita Steven.
Dari penjelasan dokter, Steven baru memahami bahwa antibiotik harus berdasarkan resep dokter dengan dosis yang sudah ditentukan dan wajib diminum sampai habis – ketentuan yang selama ini diabaikan oleh penggiat olahraga ini.
“Soalnya saya mikirnya gini, saya sudah enakan badan saya, sudah sembuh, buat apa beratin kerja ginjal, buat apa beratin kerja lever saya, soalnya yang masuk [ke tubuh] itu kan obat kimia pasti larinya ke lever dong. Itu yang pertama, makanya saya stop.
“Dokternya bilang, kamu itu salah konsumsinya kayak gitu. Jadi antibiotik itu mesti dikonsumsi sampai habis,” ucap dia.
Dengan kondisi seperti itu, Steven dinyatakan mengalami resistensi antibiotik atau antimicrobial resistant (AMR) sehingga bakteri penyebab tipes yang bersarang di tubuhnya kebal terhadap antibiotik golongan penisilin dan quinolone.
Kedua antibiotik itu, berdasarkan klasifikasi Organisasi Kesehatan dunia (WHO), masuk dalam kategori Access, antibiotik tingkat satu yang digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri yang umum terjadi serta tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Dokter akhirnya memberikan Levofloksasin yang masuk kategori Watch, yang diresepkan untuk indikasi khusus atau ketika antibiotik kelompok Access tidak efektif. Antibiotik tingkat dua ini hanya tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
“Itu dosisnya sudah dosis tinggi yang tadinya [minum] sehari sekali, jadi dua setengah kali [sehari]. Jadi satu tablet, terus satu setengah tablet lagi,” beber Steven.
Setelah mengonsumsi Levofloksasin, kondisi Steven berangsur pulih. Sejak saat itu dia berhenti minum antibiotik secara serampangan.
Dia baru menyadari mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter akan menimbulkan resistansi antibiotik yang tidak hanya dialami dirinya, tapi jutaan orang lain di seluruh dunia.
Pemengaruh TikTok yang memiliki seratus ribu lebih pengikut ini membagikan pengalamannya di akun @stevendarmaa pada 28 November 2023 dan sejauh ini sudah ditonton sebanyak 3,5 juta.
Lewat unggahannya, Steven mewanti-wanti warganet agar tidak mengalami apa yang dia rasakan.
“Buat lu yang sering minum antibiotik ya, lu asal-asalan minum antibiotik… Jangan, jangan guys. Percaya sama gue karena gue udah ngerasain sendiri akibatnya,” papar Steven melalui video berdurasi 3:31 menit ini.
Video tersebut menjadi bahasan warganet mulai dari warga biasa yang memiliki pengalaman sama, hingga tenaga kesehatan yang menemukan kasus-kasus AMR di layanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Steven bukan satu-satunya warga Indonesia yang mengalami resistansi antibiotik.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kasus AMR di Indonesia cukup tinggi.
Kasus AMR yang tinggi, kata Nadia, bisa diidentifikasi dari kasus sepsis – kondisi yang terjadi karena reaksi berlebihan dan tak terkendali dari sistem imun tubuh terhadap infeksi – atau infeksi yang tidak sembuh dengan pengobatan antimikroba atau antibiotik.
Merujuk data Kemenkes terkait pasien rawat inap yang meninggal karena sepsis di rumah sakit, jumlah kematian akibat AMR pada 2022 sebesar 25,38% atau 12.459 dari 49.095 pasien sepsis yang rawat inap.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah kasus sepsis rawat inap dan meninggal paling tinggi.
“Resistansi antimikroba dapat berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien dan dapat menurunkan mutu dan keselamatan pasien,” ujar Nadia dalam jawaban tertulis yang diterima Jumat (22/11).
Apa penyebab resistansi antibiotik?
Tingginya kasus AMR di Indonesia, menurut Nadia, antara lain disebabkan oleh kesalahan penggunaan antimikroba (misuse) dan penggunaan antimikroba yang berlebihan (overuse).
Contoh tindakan kesalahan penggunaan antibiotik dan penggunaan antibiotik yang berlebihan, Nadia menjelaskan, antara lain menggunakan antibiotik tanpa ada bukti terjadinya infeksi karena bakteri.
Misalnya, terapi antibiotik untuk mengatasi infeksi virus dan malaria, juga pemberian antibiotik profilaksis (pemberian antibiotik sebelum muncul tanda-tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi) pada operasi bersih yang tidak membutuhkan antibiotik profilaksis.
Selain itu, pemberian antimikroba tidak didukung data klinis dan laboratorium yang akurat, serta pemilihan antimikroba yang tidak tepat baik untuk tujuan terapi maupun profilaksis.
“Pemberian antimikroba yang tidak aman untuk kondisi pasien, misalnya pasien gagal ginjal diberi antimikroba yang berpotensi meracuni ginjal (nefrotoksik antibiotik). Padahal masih ada antimikroba lain yang non-nefrotoksik,” imbuh Nadia.
Pemberian antibiotik dengan dosis dan durasi yang tidak tepat, seperti pemberian dosis antibiotik yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dan lama pemberian terlalu lama atau terlalu singkat, juga berpotensi mengakibatkan resistansi antibiotik.
“Di samping itu, rute pemberian yang tidak tepat, yaitu pasien dapat menggunakan antimikroba secara oral, tetapi diberikan secara suntikan,” ungkap Nadia.
“Lalu, saat pemberian tidak tepat, baik untuk tujuan profilaksis bedah maupun untuk tujuan terapi. Jadi pemberiannya tidak sesuai dengan panduan penggunaan antibiotik atau aturan pakai, misalnya setiap delapan jam, 12 jam, atau 24 jam,” jelasnya kemudian.
Lebih lanjut, Nadia menjelaskan bahwa kasus AMR bisa terjadi karena tidak dilakukan tindakan de-eskalasi atau alih terapi sesuai kebutuhan pasien.
AMR juga bisa disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan penggunaan antimikroba, yaitu timbulnya Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD) atau Adverse Drug Reactions (ADRs), dan interaksi antara antimikroba dengan obat lain.
Kemudahan akses terhadap antibiotik juga dipandang sebagai salah satu penyebab tingginya kasus AMR di Indonesia.
Namun, rumah sakit bukan satu-satunya layanan kesehatan yang disorot dalam berbagai macam praktik misuse dan overuse antibiotik tersebut, tapi juga layanan kesehatan lainnya, menurut Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K), Ketua Tim Program Pengendalian Resistansi Antimikroba (PPRA) RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) di Bandung, Jawa Barat.
“Mulai dari obat-obatan, apakah bisa mendapatkan antibiotik dengan mudah tanpa resep di mana pun, apakah itu di apotek, klinik, atau di toko obat,” ujar dokter yang akrab disapa Anggi tersebut.
“Sekarang ke tingkat layanan kesehatan, apakah tenaga kesehatan, dokter, bidan, perawat, bahkan farmasi, dengan mudahnya memberikan antibiotik tanpa melihat seseorang itu membutuhkan antibiotik atau tidak,” lanjutnya.
Selain penggunaan obat-obatan terhadap pasien, pemberian antibiotik pada hewan ternak yang kemudian dikonsumsi manusia, juga bisa jadi faktor penyebab AMR.
“Semua saling terkait. Dulu kan pernah dengar ada udang, kalau mau ekspor enggak boleh udang kita mengandung antibiotik. Terus ayam, kita kasih antibiotik semena-mena. Tetapi itulah yang sebenarnya terjadi,” ungkapnya.
Banyak negara maju, kata Anggi, kini mulai menekan penggunaan antibiotik terhadap hewan dan tanaman, bahkan pakan ternak.
“Bayangkan apabila sudah sedemikian banyaknya antibiotik, baik dari makanan dari pakan-pakan ternak, sehingga ternaknya juga ikut makan antibiotik seperti itu.
“Kemudian ada obat-obatan yang dijual bebas, membuat paparan terhadap antibiotik tinggi sehingga yang namanya bakteri-bakteri itu menjadi fasih dengan antibiotik,” kata Anggi.
“Bakteri itu pandai, dia punya mekanisme agar si antibiotik tidak bisa membunuh dengan berbagai macam cara,” ujarnya kemudian.
Kenapa resistansi antibiotik disebut ‘pandemi senyap’?
Kasus resistansi antibiotik ini mulai menjadi perhatian dunia, apalagi setelah terjadi fenomena kuman super – bakteri yang kebal antibiotik – di India akhir-akhir ini.
Laporan dari Dewan Riset Medis India (ICMR) menyatakan resistansi pada kelompok antibiotik kuat bernama Carbapenem telah meningkat 10% dalam waktu satu tahun.
Serangkaian uji yang dilakukan di Katurba Hospital yang berlokasi di ibu kota India, New Delhi, antara 1 Januari hingga 31 Desember 2021, menemukan sejumlah obat-obatan yang sering digunakan tidak lagi manjur untuk membunuh lima bakteri patogen yang paling umum, yakni Enterococcus faecium, Staphylococcus aures, Klebsiella pneumonia, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterobacter.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan kelima patogen itu sebagai bakteri kebal di seluruh dunia yang dikenal dengan sebutan ESKAPE, singkatan dari nama kelima bakteri tersebut.
Para dokter di India menemukan kemanjuran beberapa antibiotik utama hanya kurang dari 15% dalam merawat infeksi yang disebabkan oleh patogen-patogen ini.
Yang paling mengkhawatirkan ialah patogen yang resistan terhadap berbagai obat yaitu Acinetobacter baumannii, yang menyerang paru-paru pasien di unit perawatan kritis. Patogen ini membuat India menghadapi ancaman pandemi senyap kuman super.
Indonesia berpotensi bernasib seperti India jika tidak melakukan langkah-langkah pengendalian AMR, menurut WHO.
Pejabat Kementerian Kesehatan Indonesia, Siti Nadia Tarmizi, mengamini hal tersebut.
Nadia mengatakan bahwa WHO telah memperingatkan Indonesia untuk segera melakukan tindakan pengendalian AMR, sebab resistansi antibiotik telah dinyatakan sebagai “ancaman kesehatan global” dan disebut sebagai “pandemi senyap”.
AMR secara langsung mengakibatkan 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada 2019, menurut The Lancet Global Burden Disease.
Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 10 juta kematian pada 2050 dan menyebabkan beban ekonomi dunia sebesar US$100triliun.
Lebih jauh Nadia mengungkapkan bahwa peningkatan kasus AMR setiap tahun tidak hanya merupakan masalah bagi Indonesia, tapi juga sebagian besar negara-negara di dunia.
“Agen antimikroba yang resistan dapat beredar pada manusia, hewan, dan lingkungan serta dapat mengancam ketahanan pangan.
Oleh karena itu pengendalian AMR tidak hanya sektor kesehatan manusia saja, tetapi juga di sektor kesehatan hewan, termasuk perikanan dan lingkungan,” kata Nadia.
Apa saja langkah Kemenkes?
Menanggapi “warning” dari WHO, Nadia menjelaskan, Indonesia telah menindaklanjuti dengan menetapkan dan mengimplementasikan berbagai regulasi tentang pengendalian AMR.
Selain itu, Kemenkes melakukan apa yang disebut sebagai pendekatan One Health, yakni pendekatan kolaboratif, multisektoral, dan lintas disiplin dengan memperhatikan interaksi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam menangkal mikrobakteri yang resistan antibiotik.
Pendekatan One Health itu, menurut Nadia, diwujudkan dalam enam strategi, antara lain:
Khusus untuk poin 5, Nadia mengakui, strategi ini perlu investasi besar dan belum dilaksanakan secara optimal.
“(Kami) menjajaki kerja sama dengan BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional), perusahaan farmasi dan alkes (alat kesehatan), perguruan tinggi, mitra pembangunan untuk mendukung pengembangan rapid diagnostic dan penyediaan reagen dengan harga terjangkau dan hasil pemeriksaan valid,” kata Nadia.
Sarana dan prasarana pemeriksaaan, diakui oleh Ketua Tim PPRA RSHS, dr. Anggi, masih menjadi kendala dalam penangananAMR di rumah sakit.
Anggi mengatakan masih banyak rumah sakit, bahkan setingkat rumah sakit umum daerah, belum memiliki fasilitas pemeriksaan yang memadai, misalnya tes kultur di laboratorium.
“Bayangkan kalau dokternya enggak dapat data, ini kumannya apa, bagaimana bisa memberikan antibiotik yang tepat,” beber Anggi.
Masalah lainnya, lanjut Anggi, paket layanan BPJS Kesehatan yang terbatas sehingga membuat pasien tidak mendapat pemeriksaan kultur lantaran plafon biayanya tidak mencukupi. Akhirnya, pemeriksaan kultur dilewati.
“Jadi masalah AMR ini tidak semata-mata penggunaan antibiotik tapi juga masalah-masalah pemeriksaan laboratorium,” katanya.
Lalu, bagaimana pengendalian AMR di rumah sakit?
Patogen prioritas utama WHO yang merupakan Multidrugs Resistant Organism (MDRO) telah banyak ditemukan di semua kelas rumah sakit di Indonesia dengan dominasi sejumlah bakteri yang resistan terhadap Cephalosporin generasi ke-3 dan Acinetobacter baumannii yang resistan terhadap Carbapenem.
Informasi ini tertuang dalam laporan Surveilans Pola Patogen dan Antibiogram di Indonesia Tahun 2022 yang memuat hasil analisis Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) terhadap 54.668 isolat bakteri dari 70 rumah sakit yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia.
Distribusi patogen prioritas WHO berdasarkan wilayah geografi menunjukkan bakteri Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli yang resistan terhadap Cephalosporin generasi ketiga terbanyak ditemukan di wilayah Sumatera, dengan masing-masing bakteri 72% dan 81%.
Sementara itu, di Jakarta juga banyak ditemukan bakteri Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli, serta Acinetobacter baumannii complex yang resistan terhadap antibioitik Carbapenem, masing-masing sebanyak 37%, 13%, dan 77%.
Pseudomonas aeruginosa yang resistan terhadap Carbapenem terbanyak ditemukan di wilayah Sulawesi (46%), dan MRSA terbanyak ditemukan di wilayah Sumatera (60%).
Untuk wilayah Papua walau jumlah isolatnya kurang dari 30, namun telah ditemukan seluruh patogen prioritas WHO kecuali Pseudomonas aeruginosa.
Berdasarkan hasil tersebut, PAMKI menyarankan perlu dipertimbangkan upaya penguatan jejaring tim pencegahan dan pengendalian infeksi serta tim penatagunaan antimikroba antar rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan rekapitulasi dari Januari sampai Oktober 2023, terdapat tujuh klasifikasi kasus MDRO di RSAI Bandung, Jawa Barat.
Dua kasus terbanyak terjadi pada Methicillin Resistant Coagulase Negative Staphylococci (MRCoNS) dan Eschericia coli ESBL (Extended-spectrum β-lactamase).
Tercatat sebanyak 58 kasus MRCoNS atau kondisi bakteri Stafilokokus yang resistan antibiotik Metisilin. Sementara kasus Eschericia coli ESBL, kondisi di mana bakteri Eschericia coli resisten terhadap golongan antibiotik Betalaktam, mencapai angka 50 kasus.
Ketua Tim PPRA RSAI, dr. Lia Marlia Kurniawati, Sp.A mengungkapkan sebagian besar pasien MDRO di rumah sakitnya dirawat diruang intensif.
“Biasanya orang yang masuk ke intensif itu punya beberapa faktor risiko, misalnya penyakitnya berat, ada hubungannya dengan underline disease atau penyakit yang mendasarinya, seperti dia sudah punya diabetes melitus, kelainan ginjal, hipertensi," jelas Lia ketika ditemui di ruang kerjanya.
"Jadi kena pada pasien penyakit berat dan secara imunitasnya kurang baik,” tambahnya.
Situasi serupa ditemui di RSHS Bandung, yang mencatat sebagian besar kasus AMR dialami oleh pasien yang dirawat di ruang Intensif Care Unit (ICU).
Bahkan, Ketua Tim PPRA, dr. Anggi mengungkapkan, antibiotik yang diberikan kepada pasien sudah masuk kategori Reserve, antibiotik tingkat tiga ini dicadangkan untuk mengatasi infeksi bakteri yang disebabkan oleh MDRO dan merupakan pilihan terakhir pada infeksi berat yang mengancam jiwa.
“Kalau di poliklinik no problem. Kalau di rawat inap ya sekitar 10 persen. Di ruang intensif, tempat yang paling tinggi kategori antibiotiknya, sudah masuk ke reserve. Di intensif kondisi pasiennya sudah parah dan kumannya sudah berat,” ucap Anggi.
Di saat itulah, kata Anggi, program pengendalian antibiotik di setiap rumah sakit itu penting agar dokter bisa memberikan antibiotik yang tepat pada pasien.
Anggi menambahkan, WHO telah membuat tiga tingkat antibiotik yang disingkat AWARE, yaitu tingkat satu, Access, antibiotik yang boleh diresepkan oleh semua dokter tanpa memerlukan suatu otorisasi.
Kemudian tingkat dua, Watch, antibiotik yang membutuhkan otorisasi oleh dokter di departemen masing-masing. Tingkat tiga, Reserve, antibiotik yang hanya boleh dikeluarkan atas otorisasi Tim PPRA rumah sakit.
Ketua Tim PPRA RSAI, dr. Lia Marlia menjelaskan, pihaknya membentuk Forum Kajian Infeksi Terintegrasi (FORKIT) yang beranggotakan dokter, farmasi, perawat, Tim PPRA, dan Tim Penatagunaan antibiotik (PGA). Forum ini akan membahas kasus-kasus AMR yang sulit.
Lia mencontohkan, beberapa bulan lalu Tim PPRA menyosialisasikan aturan baru tentang pemakaian antibiotik tingkat tiga (Reserve).
“Pemberiannya tidak boleh sembarangan. Jadi benar-benar harus ada indikasi. Kita berikan kalau sesuai hasil kultur. Kalau hasilnya sensitif, ya kita berikan memang harus pakai antibiotik itu. Tetapi selama belum ada hasil kultur, kita pertimbangkan matang-matang,” ujar Lia.
Ancaman lain AMR
Indonesia juga menghadapi ancaman resistansi antimikroba jenis lainnya, yakni kuman Mycobacterium tuberculosis yang kebal obat atau dikenal dengan sebutan Tuberculosis Resistan Obat (TBC-RO).
Salah satu penyintas TBC-RO adalah Dewi Wulan. Dia didiagnosis TBC pada 2007. Setelah menjalani pengobatan selama enam bulan, dia tak kunjung sembuh.
“Padahal minum obat sesuai anjuran. Kemudian, naik obatnya ke kategori dua, ternyata masih positif. Kan kalau obat diminum secara benar, tepat waktu, tepat dosisnya enggak mungkin positif terus,” tutur Dewi.
“Sampai akhirnya diperiksa kultur, dilihat, dibiakkan, ternyata memang ada salah satu obat yang resistan,” ujarnya kemudian.
Dewi diketahui terjangkit kuman TBC-RO setelah tiga tahun menjalani pengobatan atau pada 2010. Namun saat itu, obat TBC-RO belum tersedia di Jawa Barat.
Dewi mengakui, tidak mudah untuk menjalani pengobatan TBC-RO. Pasien harus memiliki kesabaran sebab waktu pengobatan TBC-RO yang lama. Dewi sendiri mengonsumsinya selama dua tahun.
Selain itu, pasien TBC-RO juga harus memiliki ketahanan fisik dan mental untuk menangkal efek samping obat yang menurut Dewi sangat luar biasa.
“Efeknya mual, pusing, mata silau kalau melihat cahaya, halusinasi, dan efek samping lainnya” ujar Dewi saat ditemui di tempat kerjanya di Kabupaten Bandung.
Sama dengan AMR lainnya, TBC-RO adalah penyumbang utama resistansi antimikroba dan menjadi ancaman kesehatan masyarakat.
Dikutip dari situs resmi WHO, hampir setengah juta orang di dunia terinfeksi kuman TBC-RO atau sekitar 5% dari total sembilan juta kasus TBC baru di seluruh dunia, setiap tahunnya.
Mengacu pada data dalam Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Kemenkes pada 2022, tercatat kasus TBC-RO mencapai 12.531 dari 724.309 kasus TB terkonfirmasi.
WHO telah merilis laporan tentang TBC skala global tahun 2021 termasuk di dalamnya laporan tentang keadaan TBC di Indonesia dalam dokumen Global Tuberculosis Report 2022.
Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia setelah India.
Dari jumlah kasus yang ternotifikasi di 2022, baru 65% atau 8.089 pasien yang menjalani pengobatan TBC-RO.
Sementara data WHO menyebutkan hanya sekitar satu dari tiga orang dengan TBC-RO yang mengakses pengobatan.
Kendalanya, menurut juru bicara Kementerian kesehatan Nadia, banyak pasien yang enggan memulai pengobatan lantaran masa terapi obatnya yang cukup panjang. Selain itu, sejumlah pasien kesulitan mengakses Obat Anti Tuberkulosis (OAT) TBC-RO di layanan kesehatan yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya.
“Untuk memulai pengobatan, pasien harus ke rumah sakit yang mulai cukup jauh dari tempat tinggalnya. Atau saat diketahui positif, pasien tidak mau memulai pengobatan TBC-RO yang waktunya cukup lama,” urai Nadia.
Menurut WHO, TBC-RO adalah suatu bentuk TBC yang diakibatkan oleh bakteri yang tidak merespon isoniazid dan rifampisin, dua obat lini pertama yang paling efektif. Akibatnya, TBC-RO harus diobati dengan antibiotik lini kedua.
Namun, pilihan obat lini kedua terbatas dengan jangka waktu terapi yang panjang hingga dua tahun, harganya mahal, dan bersifat toksik.
Mengutip WHO, TBC-RO timbul saat obat-obat TBC digunakan tidak sesuai, kualitas obat yang buruk, dan penghentian pengobatan dini oleh pasien atau putus obat yang menyebabkan si kuman menjadi kebal.
Namun yang dialami Dewi berbeda, perempuan 40 tahun itu sejak awal terinfeksi kuman yang sudah resistan.
“Di situ enggak langsung diobati karena obatnya belum ada. Jadi saya nunggu dua tahun dengan kondisi badan drop terus. Hampir tiga bulan sekali selama dua tahun itu, saya batuk darah dan IGD (Instalasi Gawat Darurat) RSHS itu sudah jadi langganan saya.”
“Saya pasti akan berkunjung ke situ cuma dikasih obat yang dimasukkan ke infus untuk menghentikan darah,” kisah Dewi.
Obat TBC-RO akhirnya tersedia pada 2012 dan Dewi memulai pengobatannya. Ia menjadi pasien pertama TBC-RO yang diobati dan berhasil sembuh di Jawa Barat.
“Saya jadi ikon, maskot pasien TBC-RO di RSHS,” ucap Dewi sambil tertawa kecil.
Setelah sembuh, Dewi kemudian mewujudkan nazarnya mendirikan Yayasan Terjang - akronim dari Terus Berjuang - yang mengedukasi dan mendampingi pasien TBC.
Dibantu 60 relawan penyintas TBC, Dewi mendampingi 400 pasien TBC yang tersebar di 17 kabupaten kota di Jawa Barat.
Dewi bersyukur saat ini obat TBC-RO mudah didapat, tidak seperti yang dialami dia dulu.
Adapun, pengobatan TBC-RO dimulai pada 2009 di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Untuk memudahkan layanan dan mencegah putus obat, Program TBC Nasional Kemenkes menargetkan satu fasyankes TBC-RO di 514 kabupaten kota pada 2024.
Di akhir 2022, telah tersedia 389 rumah sakit atau balai kesehatan sebagai fasyankes TBC-RO di 318 kabupaten kota. (*)
Tags : pandemi senyap, ancaman kesehatan global, penggunaan antimikroba berlebihan, obat, penelitian medis, kesehatan, organisasi kesehatan dunia,