Headline Hukrim   2024/09/20 12:14 WIB

WNI Jadi Korban Perdagangan Orang, 'yang Sudah Terjadi Penyiksaan Seperti Pertunjukan’

WNI Jadi Korban Perdagangan Orang, 'yang Sudah Terjadi Penyiksaan Seperti Pertunjukan’
Tangkapan layar video permintaan tolong yang dibuat sekelompok warga negara Indonesia, yang diduga jadi korban perdagangan orang di Shwe Kokko, Myanmar. Video ini tersebar sejak setidaknya 9 September 2024.

HUKRIM - Di Myawaddy, Myanmar, Noviana Indah Susanti seakan telah merasakan segala bentuk sengsara, dari dimaki, dihajar dengan pipa besi, disetrum, hingga disekap berhari-hari.

Ia hanyalah satu dari lebih 4.000 warga negara Indonesia yang jadi korban perdagangan orang pada periode 2021-2023.

Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terus meningkat dari tahun ke tahun, meski Presiden Joko Widodo telah memerintahkan otoritas terkait untuk memberantas secara tuntas “dari hulunya sampai ke hilir”.

Studi menunjukkan para penegak hukum di Indonesia masih kesulitan menafsirkan rumusan delik pasal 2 Undang-Undang No. 21/2007 tentang pemberantasan TPPO, yang mengatur pidana penjara bagi pelaku perdagangan orang.

Imbasnya, banyak putusan pengadilan yang menggunakan UU lain untuk menghukum pelaku, meski dengan masa hukuman relatif singkat.

Pada saat hukum yang ada tampak tak berhasil membuat pelaku jera, semakin banyak orang jadi korban TPPO karena terdesak kebutuhan ekonomi.

Banyak di antara mereka lantas terdampar di Myawaddy, Myanmar, dan terpaksa bekerja sebagai penipu daring.

Meski tak bisa menjanjikan kapan, Kementerian Luar Negeri Indonesia berjanji akan terus berupaya membawa pulang korban.

‘Alaye!’

Setelah beberapa bulan dipaksa bekerja sebagai online scammer atau penipu daring di Myawaddy, Myanmar, Noviana Indah Susanti jadi hafal skenario percakapan yang biasa digunakan untuk mengambil hati mangsanya.

Biasanya ia mencoba berkenalan dan membangun obrolan dengan pria asal Amerika Serikat di media sosial X.

Berpura-pura jadi pengusaha muda jelita, Novi lantas menceritakan kesusahan hidupnya yang, meski kaya raya, penuh kesepian dan trauma.

Ia bakal mengatakan ia telah bercerai dan tak memiliki anak, sehingga menumpahkan segalanya untuk membangun bisnis dan menjadi perempuan karier.

Setelah calon korban bersimpati, Novi mulai berbasa-basi menanyakan hobi, sembari berusaha mengorek informasi pribadi seperti pekerjaan, usia, tempat tinggal, dan nomor WhatsApp atau Telegram.

Bila ditanya balik mengenai hobi, Novi kerap menjawab golf atau memancing.

Suatu waktu, Novi berbincang dengan seorang pria yang mengaku dari AS. Segera, ia keluarkan jurus-jurus untuk menarik simpati.

Si pria lantas merespons dengan kisah dan pertanyaan yang polanya mirip dengan yang biasa Novi gunakan.

Si pria bertanya, “Apa hobi kamu?”

“Golf,” kata Novi. “Kalau kamu?”

“Memancing.”

Sontak, Novi membalas, “Alaye!”

“Alaye” adalah kode yang biasa digunakan sesama penipu daring dan intinya berarti, “Saya tahu, kamu tukang tipu.”

Tak lama, si pria pun menjawab, “Alaye!”

Novi tertawa.

Akhirnya, mereka jadi mengobrol dan membuka “kartu” masing-masing.

Si pria bilang ia penipu daring yang berasal dari Ghana, bukan AS. Namun, beda dengan Novi, ia bekerja secara mandiri, tidak terafiliasi dengan perusahaan apa pun.

Saat mendengar Novi bekerja di sebuah perusahaan penipuan daring di Myanmar, si pria justru tertarik ingin bergabung.

“Saya maki-maki dia,” kata Novi.

“’So stupid,’ saya bilang begitu. Kita aja pengin pulang dari sini.”

Novi tak pernah mengira akan jadi penipu daring di Myanmar.

Terbagi dalam beberapa kloter berbeda, ia dan 19 orang lainnya meninggalkan Indonesia pada Oktober 2022 dengan harapan dapat bekerja di Thailand.

Namun, setibanya di Thailand, mereka langsung dibawa dengan mobil ke Myawaddy, area konflik di Myanmar yang berbatasan dengan Thailand.

Setelahnya, barulah Novi dan kawan-kawan sadar, mereka telah dijual ke perusahaan penipuan daring di sana.

Di perusahaan itu, mereka ditugaskan mengelola akun-akun palsu di media sosial X untuk mendekati dan mengorek informasi dari pria-pria asal AS, terutama untuk mendapatkan nomor WhatsApp atau Telegram-nya.

Bila dibutuhkan, perusahaan bahkan telah menyiapkan model perempuan untuk menjawab panggilan telepon, mengirimkan rekaman suara, atau melayani panggilan telepon video demi meyakinkan calon korban.

Saat telah berhasil mendapatkan kontaknya, Novi bilang tim lain berisi orang-orang China akan mengambil alih percakapan dan mengeksekusi penipuan. Para pria AS itu bakal dirayu agar mengirimkan uang untuk skema investasi kripto bodong.

Awalnya, Novi mengaku dia dan kawan-kawan mesti mengelola lima akun X di lima ponsel berbeda dan mencari mangsa selama delapan jam sehari.

Namun, karena selalu dirasa gagal memenuhi target, beban dan jam kerja mereka terus ditambah. Pada satu titik, satu orang bisa memegang 30 akun X di 30 ponsel berbeda, dengan waktu kerja hingga 19 jam per hari.

Tak hanya itu, perlahan mereka mulai merasakan berbagai hukuman fisik, yang semakin lama terasa semakin parah.

Mulanya, kata Novi, mereka hanya dimaki bila ada kesalahan. Setelahnya, mereka mulai dijemur, disuruh lari keliling lapangan 10 kali atau squat jump 500 kali. Yang terparah, mereka bisa disetrum, dicambuk, atau dipukuli dengan pipa besi.

Novi bilang ia bahkan pernah menyaksikan salah satu pekerja dari negara lain dikeroyok delapan sampai 10 orang hingga sekarat.

“Yang disiksa sampai sekarat tuh bukan dibawa ke ruangan lain,” kata Novi.

“Dia disiksa di depan kita ramai-ramai. Memang kayak pertunjukan aja.”

Lama-kelamaan, Novi benar-benar tak tahan. Kehidupan di sana terasa begitu menyiksa.

Belum lagi, sejak tinggal di Myawaddy, ia mulai mengidap edema atau pembengkakan akibat penumpukan cairan di kaki, yang membuatnya susah untuk sekadar berjalan ke ruang kerja.

Di tengah situasi itu, ia sempat meminta saran pada temannya di Indonesia, yang kemudian mengatakan: “Viral deh.”

“Bikin aja video minta tolong atau apa gitu.”

Novi ragu. Teman-teman seperjuangan di sana pun awalnya menolak ide ini, karena bila ketahuan, risikonya mati.

Namun, rasanya tak ada pilihan lain. Novi nekat. Ia membuat video itu dan mengirimkannya ke teman di Indonesia.

Temannya lalu mengunggah video itu di media sosial pada April 2023 dan, benar saja, Novi viral.

Dari sana, para pekerja Indonesia lainnya di Myawaddy tergerak untuk membuat video serupa. Bedanya, kali ini mereka sepakat melakukannya bersama.

“[Mereka bilang] mati ya mati bareng, pulang ya pulang bareng,” kata Novi.

Pelaku tak jera, semakin banyak yang jadi korban

Tak lama setelah video mereka viral, Noviana Indah Susanti dan 19 rekannya bisa “pulang bareng” seperti yang diharapkan.

Pemerintah Indonesia berhasil membebaskan mereka secara bertahap pada 5-6 Mei 2023 setelah KBRI di Yangon, Myanmar, bekerja sama dengan jejaring lokal yang memiliki akses ke Myawaddy.

Pada 8 Mei, Presiden Joko Widodo menegaskan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) harus “diberantas tuntas dari hulunya sampai ke hilir”.

Pada 30 Mei, Jokowi pun memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, dan meminta seluruh pihak terkait, termasuk kepolisian dan militer, untuk mengatasi TPPO. Ia ingin menunjukkan kepada publik bahwa negara “hadir”.

Namun, hingga kini, otoritas tampak belum bisa secara efektif mengatasi kasus perdagangan orang yang melibatkan warga Indonesia.

Menurut data Kementerian Luar Negeri, jumlah kasus TPPO terus meningkat dari 361 pada 2021 menjadi 752 pada 2022 dan 798 pada 2023.

“Data berbicara bahwa memang kita belum efektif melakukan penanganan dan penjagaan karena datanya selalu meningkat,” kata Judha Nugraha, direktur perlindungan warga negara Indonesia di Kementerian Luar Negeri, pada Juni 2024.

Data Polri juga menunjukkan tren kenaikan jumlah kasus TPPO, meski dengan angka berbeda.

Menurut Polri, ada 122 kasus pada 2021 yang melibatkan 298 korban. Pada 2022, angkanya meningkat jadi 145 kasus dengan 668 korban.

Pada 2023, angkanya kembali melonjak jadi 982 kasus dengan 3.208 korban. Itu berarti, ada peningkatan jumlah kasus sebesar 577% dibandingkan dengan 2022.

Untuk tahun ini, belum ada data resmi yang bisa dijadikan acuan. Namun, Judha mengatakan benar bahwa “ada indikasi [kasusnya] meningkat”.

Salah satu masalahnya ada di UU No. 21/2007 tentang pemberantasan TPPO.

Pasal 2 ayat 1 UU pemberantasan TPPO mengatur:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Berdasarkan kajian Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU di Sekretariat Jenderal DPR yang dirilis pada 2023, aparat penegak hukum masih kerap kesulitan dalam melakukan pembuktian delik formil dalam pasal tersebut.

Imbasnya, hanya 55% dari putusan pengadilan pada 465 kasus perdagangan orang sejak 2020 hingga pertengahan 2023 yang terdakwanya divonis dengan UU pemberantasan TPPO.

Pelaku justru kerap dihukum dengan UU No. 18/2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia (PPMI) yang tidak mengatur lama hukuman minimal, kata Judha dari Kementerian Luar Negeri.

"Jadi, pelakunya banyak yang diputus enam bulan. Setelah enam bulan, keluar, ya jadi trafficker lagi,” kata Judha, seperti dilaporkan kantor berita Antara.

“Ini mungkin sudah saatnya kita lakukan revisi terhadap UU No. 21/2007.”

Selain itu, UU pemberantasan TPPO dianggap belum efektif untuk menjerat pelaku korporasi karena dua unsur penting dalam TPPO, yaitu “perbuatan” dan “cara”, kerap dilakukan oleh orang-orang di lapangan, bukan korporasi.

Alhasil, banyak pelanggaran yang dilakukan korporasi dalam kenyataannya tidak dibarengi penegakan hukum yang efektif, menurut kajian Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU di Sekretariat Jenderal DPR.

Sementara pelaku TPPO tak kunjung jera, semakin banyak orang yang jadi korban, utamanya karena impitan ekonomi.

Menurut Judha, salah satu alasan utama seseorang jadi korban TPPO adalah kemiskinan dan kesulitan mencari pekerjaan di Indonesia.

Karena itu, mereka dengan mudah tergiur “iming-iming uang” dan berangkat ke luar negeri, sebelum menyadari mereka kena tipu.

Misalnya saja Novi.

Agustus 2022, ia mendapat info lowongan kerja di sebuah “perusahaan investasi” di Thailand dari teman kakak tingkatnya dahulu di kampus.

Gajinya disebut bakal berkisar dari Rp14 juta hingga Rp16 juta per bulan, sementara urusan makan, tempat tinggal, dan kesehatan ditanggung semua oleh perusahaan.

Novi adalah orang tua tunggal. Saat mendapat tawaran itu, ia berusia 37 tahun, sementara anaknya 11 tahun.

Ia mengaku sempat melamar kerja sana-sini, tapi tak pernah tembus. Karena itu, bertahun-tahun ia kerja serabutan, entah sebagai penata rias atau desainer grafis lepasan.

Namun, belakangan pun komputernya rusak. Ia tak punya uang untuk memperbaiki, sehingga kerjaan desain tak lagi bisa diambil. Hidupnya sontak kian berat.

“Waktu itu makanya sempat bisa dibilang depresi ya, karena kita jobless,” kata Novi.

Maka, saat ada lowongan kerja di Thailand, Novi mengambilnya dengan harapan dapat bisa memperbaiki hidup. Ia tak banyak menaruh curiga, apalagi yang memberi info adalah kenalan lama.

Namun, sesampainya di Thailand pada Oktober 2022, ia malah dijual ke perusahaan penipuan daring di Myawaddy, Myanmar, dan terpaksa hidup sengsara.

Untuk menghindari hal yang sama terjadi pula pada orang lain, Judha mengingatkan beberapa modus yang kerap digunakan pelaku TPPO.

Pertama, pelaku biasanya menawarkan lowongan kerja bergaji tinggi, tapi tanpa mensyaratkan kualifikasi khusus, misalnya kemampuan bahasa Inggris mumpuni.

Kedua, latar belakang perusahaan terkait tidak jelas dan jejaknya tidak bisa ditelusuri di internet.

Ketiga, korban diminta berangkat ke luar negeri tanpa visa kerja. Keempat, tidak ada kontrak kerja sebelum keberangkatan.

“Ini yang harus diwaspadai,” kata Judha seperti dirilis BBC News Indonesia.

“Walaupun yang menawarkan itu adalah lingkaran terdekat yang kita kenal, namun kalau modus-modus ini terpenuhi, jangan berangkat.”
‘Mau sabar sampai kapan?’

“Kami memohon pertolongan dan meminta bantuan.”

“Kami di sini disekap kurang lebih selama dua minggu, mungkin lebih, dan makan juga kita sehari sekali, itu pun bekas dari makanan mereka yang dikasih ke kita.”

“Kami mohon agar segera mengevakuasi kami, korban TPPO yang berada di Myanmar, tepatnya di daerah Myawaddy.”

Kata-kata itu diucapkan seorang pria berkaus abu-abu dalam sebuah video yang beredar di media sosial sejak 9 September 2024.

Di belakang pria itu, terlihat 10 orang lain berimpitan di sebuah kamar. Dua di antaranya adalah perempuan; yang satu dengan rambut dikuncir, yang lain dengan rambut tergerai menutupi wajah.

“Yang [mukanya] ketutup itu saudara saya,” kata Chris, warga Jakarta Pusat.

MF, 30 tahun, adalah tante dari Chris yang diduga menjadi korban perdagangan orang hingga kini terjebak di Myawaddy. Di Jakarta, mereka tinggal serumah.

Kementerian Luar Negeri telah mengonfirmasi bahwa MF dan kawan-kawannya di video itu ada di Shwe Kokko, daerah yang terkenal sebagai salah satu pusat kejahatan siber di Myawaddy.

Menurut Chris, mulanya MF ditawari bekerja sebagai staf admin di Singapura dengan gaji Rp10 juta per bulan oleh seorang kenalan pada Juni lalu.

MF tertarik, tapi keluarga tak setuju ia bekerja jauh-jauh hingga ke luar negeri. Apalagi, itu berarti ia harus meninggalkan tiga anak yang masing-masing baru berusia sembilan, tiga, dan dua tahun.

Meski begitu, MF tetap mengusahakan keberangkatannya. Ia mengurus paspor dan dokumen lain diam-diam, hingga kemudian berangkat pada 3 Agustus lalu.

Namun, imbuh Chris, tanpa sepengetahuan keluarganya, MF justru pergi ke Thailand dan bukan Singapura seperti rencana awal.

“MF baru mengabari saya pada tanggal 4 Agustus 2024 melalui video call dengan menceritakan bahwa dia akan dijemput oleh seseorang dari perusahaan,” kata Chris.

Dari Thailand, MF kemudian dibawa ke Shwe Kokko untuk bekerja di perusahaan penipuan daring. Selanjutnya, MF mengatakan ia diharuskan oleh perusahaan untuk mencari klien dan merekrut orang lain, atau membayar puluhan juta jika ingin keluar.

Urutan kisah ini diceritakan oleh MF kepada Chris melalui pesan singkat dan video call.

Tak mau berlama-lama di sana, MF bercerita ia mulai berkoordinasi dengan orang-orang Indonesia lain yang juga terdampar di Shwe Kokko, utamanya yang belum lama tiba sepertinya, untuk mencari cara pulang.

Selain MF, ada 12 orang lain yang tiba di Shwe Kokko pada periode Juli-Agustus. Beberapa di antaranya, kata Chris, lalu memberi kuasa pada Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk melaporkan kasus mereka ke Kementerian Luar Negeri.

Pada 26 Agustus, Kementerian Luar Negeri mengadakan konferensi pers bersama SBMI, yang intinya menegaskan pemerintah akan berusaha memulangkan para warga Indonesia itu dari Myanmar.

Tak lama setelah konferensi pers, MF berkata pihak perusahaan menyekap 13 orang itu; 11 di ruangan yang sama, sementara dua lainnya ditempatkan terpisah.

“Ada cepu,” kata Chris, yang rutin mendapat kabar dari MF dan keluarga korban lain, terutama sebelum mereka disekap.

“Cepu” itu disebut mengadu kepada bos perusahaan di Myanmar bahwa sekelompok orang Indonesia telah melapor ke pemerintah.

Setelah MF dan kawan-kawan disekap, perusahaan menyita ponsel mereka. Beruntung, satu ponsel berhasil disembunyikan, sehingga mereka bisa membuat video permintaan tolong yang lantas diunggah di media sosial pada 9 September itu.

Sehari berselang, tiba-tiba MF menelepon Chris.

“Dia telepon dua kali, minta dihapus videonya,” kata Chris. “Suaranya sudah panik.”

Itu terakhir kalinya Chris mendengar kabar dari MF.

Chris khawatir MF akan mengalami hal buruk bila pemerintah tak bergerak cepat menyelamatkan dan memulangkannya.

Namun, ia merasa pemerintah pun tak kunjung bertindak dan selalu mengulang alasan yang sama: Myawaddy adalah wilayah konflik dan Indonesia tak bisa sembarangan masuk ke sana.

“Itu saudara saya juga sudah begitu. Masa, mau sabar sampai kapan?” kata Chris.

“[Disuruh] sabar, sabar, tapi pemerintahnya enggak ada tindakan yang cepat gitu, yang terbukti, yang nyata.”

Tak hanya dari Shwe Kokko, video lain pun beredar di media sosial pada September yang menurut Kementerian Luar Negeri berasal dari Hpa Lu, wilayah lain di Myawaddy.

Di video itu, tampak 20 orang warga Indonesia yang meminta pertolongan pada pemerintah.

“Kita di sini disekap. Kita enggak bisa ke mana-mana,” kata pria dalam video dari Hpa Lu.

“[Kita] kerja 15 jam. Kalau enggak capai target kita dipukul, disiksa, disetrum. Kita di sini menderita. Tolong kami.”

Menurut Judha Nugraha, direktur pelindungan warga negara Indonesia di Kementerian Luar Negeri, sepanjang tahun 2024 pihaknya telah menerima 107 pengaduan kasus TPPO dengan korban orang Indonesia di Myawaddy, Myanmar.

Sebanyak 44 orang di antaranya disebut telah berhasil dipulangkan ke Indonesia, sehingga masih tersisa 63 lainnya.

“Nah, dari 63 ini yang ada di Myawaddy, 38 di antaranya tinggal di wilayah Hpa Lu,” kata Judha.

Hingga kini, Judha bilang pihaknya masih mendalami motif penyekapan dan penyiksaan para warga Indonesia yang ada di Myawaddy, termasuk di Shwe Kokko dan Hpa Lu.

Dia menegaskan pemerintah tidak tinggal diam. Buktinya, sejak 2020 hingga Maret 2024, Kementerian Luar Negeri disebut telah memulangkan total 3.703 warga negara Indonesia yang terjerat kasus penipuan daring.

“Kami sangat paham bagi keluarga yang tentu sangat mengharapkan keluarganya ingin segera pulang. Sangat, sangat dipahami,” kata Judha.

“Yang bisa kami janjikan adalah ikhtiar, bahwa negara tidak akan pernah tidur sampai mereka keluar dan pulang ke Indonesia. Namun, ketika ditanya kapan, ya tentu ada banyak faktor yang di luar kendali kita.”

‘Mati itu takdir’

Bila mengingat hari-hari ketika masih terjebak di Myawaddy, Noviana Indah Susanti merasa semuanya bagai distopia.

Hidupnya di dalam kompleks perusahaan lekat dengan siksaan. Situasi di luar pun tak lebih baik, apalagi mengingat perang bisa meletup kapan saja.

Novi ingat betul. Satu hari, ia merasa sangat stres setelah melihat seorang pekerja disiksa hingga sekarat.

Ia masuk ke toilet di lantai paling atas gedung kantornya, lalu membakar rokok sembari mencari ketenangan sesaat.

Tak lama, terdengar bunyi kencang ledakan bom. Dari jendela toilet, tampak asap membubung bergumpal-gumpal.

Novi tertegun sejenak, sebelum membatin, “Hidup gue kayak di PUBG.”

Ia tentu tak perlu menembakkan senjata api atau melempar granat seperti di gim tersebut. Namun, nyawanya di sana jelas berulang kali terancam dan, di satu titik, ia mengaku sudah siap mati.

Pikiran itu muncul, misalnya, saat ia berencana membuat video permintaan tolong dan meminta temannya di Indonesia untuk memviralkan di media sosial. Itu karena ada risiko pihak perusahaan mengetahui perbuatannya dan menghajarnya habis-habisan.

“Kan katanya mati itu takdir. Jadi kalau gue mati, ya sudah takdir gue mati. Kalau selamat, ya berarti belum waktunya mati. Gitu aja,” kata Novi pada teman-teman seperjuangannya di sana.

Setelah pihak perusahaan tahu soal videonya yang viral, Novi mengatakan sempat dihajar “membabi buta” dengan bambu dan pipa besi, disetrum, dan disekap di “sel hitam” berukuran 1,5 x 2 meter selama seminggu bersama beberapa kawannya.

Namun, lagi-lagi, nasib Novi toh tidak berakhir di situ.

Pihak perusahaan lalu melunak, meminta mereka menyiapkan masing-masing Rp16 juta bila ingin dilepas. Tenggatnya sehari.

Bila tak mampu membayar, mereka diancam bakal dijual ke Laos.

Esoknya, tak semua berhasil mengumpulkan uang yang diminta.

Kira-kira 15 menit sebelum tenggat pengumpulan uang, saat Novi dan kawan-kawan sudah pasrah, dua orang yang tampak asing datang menjemput mereka.

Ternyata, itu tim evakuasi dari pemerintah Indonesia.

Masih setengah tak percaya, Novi dan kawan-kawan masuk ke mobil.

Mobil itu perlahan keluar kompleks perusahaan, membawa mereka meninggalkan satu fase hidup yang penuh tekanan dan penyiksaan. Bersama, mereka pulang. (*)

Tags : warga negara indonesia, wni korban perdagangan orang, perdagangan orang sudah terjadi penyiksaan, penyiksaan pada wni seperti pertunjukan, bisnis, kejahatan, myanmar, hukum, pekerja indonesia, perjudian,