Sorotan   2020/03/14 12:47 WIB

Ada Apa di Dalam Penerbitan Izin Industri PKS Tanpa Kebun?

Ada Apa di Dalam Penerbitan Izin Industri PKS Tanpa Kebun?

Praktisi Hukum dan Penggiat Lingkungan akhir-akhir ini gerah dengan gegap gempitanya pendirian pabrik sawit didaerah-daerah, tapi tetap saja mengabaikan aturan

class=wp-image-20928

da apa didalam Penerbitan izin industri pabrik kelapa Sawit (PKS) yang tanpa kebun yang ada di Riau hingga Praktisi Hukum dan Penggiat Lingkungan ikut gerah melihatnya.

Kalau pabrik sawit diperkirakan jumlahnya sudah 250 unit tersebar di wilayah kecamatan yang ada di daerah-daerah, kata Alhamran Ariawan SH MH, Praktisi Hukum dan Penggiat Lingkungan dalam bincang-bincangnya sedikit membahas tentang kehadiran pabrik sawit di Riau akhir-akhir ini dibangun yang begitu gegap gempita.

Aturan Perundang Undangan itu merupakan jalan kebenaran untuk mewujudkan kemashlahatan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat, dengan demikian menjadi suatu keharusan kepada para penerima mandat dan pejabat--dan selaku pelayan masyarakat semua mesti patuh dan taat untuk dapat menjadi suri tauladan bagi rakyat supaya kehidupan dapat dinikmati dengan rasa aman nyaman dan damai penuh dengan kebersamaan, kata dia menegaskan.

Pembangunan dan pengoperasian pabrik kelapa sawit tanpa kebun yang ada di Riau, ini terang menyalahi aturan, kata dia. Deregulasi perizinan PKS hanya mengacu kepada Permentan No 29 Tahun 2016 tentang perubahan atas Permentan No 98 Tahun 2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan, dengan demikian PKS hanya dapat didirikan di lingkungan perkebunan, bukan di perkotaan yang bersempadan dengan perkantoran, puskesmas rawat inap, yayasan pendidikan bahkan rumah ibadah.

Dengan dikeluarkanya Permentan No 29 Tahun 2016, yang menghapus Pasal 13, & 14 Permentan No 98 Tahun 2013, artinya, tiada lagi celah, alasan dan peluang untuk berdirinya PKS tanpa kebun, kemudian dari pada itu pada Permentan No 29 Tahun 2016 juga menghapus Pasal 49 Permentan No 98 Tahun 2013, yang memuat ketentuan sanksi pasal 13 & 14, yang memang turut dihapus. Pendirian PKS merupakan jenis usaha industri yang wajib memiliki izin lingkungan dengan kajian Amdal atau UKL-UPL karena dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menjadikan wabah penyakit dengan derita berkepanjangan,

Oleh sebab itu, sebut Alhamran dalam pendirian dan pengoperasian PKS mesti, menaati UU No 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan PP No 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan, serta beragam Permen lingkungan hidup yang mengupayakan agar kehidupan industri tidak menjadi musuh bagi lingkungan masyarakat, dengan mengikuti ketentuan jarak kelayakan pembuangan limbah cair ke media air, kelayakan emisi udara dari boilerr dan bau gas pengolahan dan berbagai instrumen yang mesti di tata kelola dengan baik supaya lingkungan alam dan komunitas masyarakat tetap merasa nyaman dan damai dengan berbagai dampak hasil pengolahan.

Hukum dibuat untuk ditaati dan bukan untuk dilanggar, segala persyaratan dan ketentuan yang ada wajib dipenuhi bila tidak maka akan terjadi ketimpangan dan pelanggaran HAM, ungkapnya.

Kemudian Alhamra juga menyebutkan, bahwa dasar hukum pendirian PKS sesuai Peraturan Mentan No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013, tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan sebagaimana diubah dengan Peraturan Mentan No: 29/PERMENTAN/KB.410/5/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Mentan No: 98/PERMENTAN/ OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dan terakhir diubah dengan Peraturan Mentan No: 21/PERMENTAN/ KB.410/6/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Mentan No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Pasal 11 (1) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi melalui kemitraan pengolahan berkelanjutan.

Kemitraan pengolahan berkelanjutan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, terbentuknya harga pasar yang wajar, dan terwujudnya peningkatan nilai tambah secara berkelanjutan bagi pekebun. Kemitraan ini dapat berasal dari kebun milik masyarakat maupun perusahaan perkebunan lain yang belum melakukan kemitraan dengan perusahaan pengolahan. Namun, kemitraan harus dari sumber yang legal yang dapat dibuktikan, salah 1 poin penting adalah sumber pasokan TBS tidak berasal dari kawasan hutan, ungkapnya.

Menurutnya, jika terbukti industri sawit/ PKS menampung sawit yang berasal dari kawasan hutan dapat diancam dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c berbunyi: Korporasi yang: membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Selain ancaman pidana terhadap korporasi dan pengurusnya, terhadap produk yang dihasilkan industri pengolahan sawit yang ternyata dari sumber yang bertentangan dengan hukum, maka akan berdampak pada penjualan CPO di pasar global, bisa saja tidak dibeli. Oleh karena itu baik pasar dunia maupun pemerintah bersama industri sawit dalam negeri telah membentuk lembaga sertifikasi baik terhadap kebun ramah lingkungan dan taat azas maupun sertipikasi terhadap industri pengolahan. Lembaga tersebut yaitu RSPO (Rountable and Suntainable Palm Oil) yang bersifat Voluntri dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori.

Jika pelaku industri sawit dan atau kebun sudah memiliki sertifikasi tersebut sudah terjamin di pasar global, khususnya RSPO. Oleh karena itu pemerintah perlu menertibkan industri pengolahan/ Pabrik Kelapa Sawit yang sudah berdiri sebagai bentuk pengawasan, khususnya PKS yang berdiri tanpa adanya jaminan kebun sendiri. Hal ini penting agar memastikan untuk terciptanya kenyamanan bagi investor harus taat azas, demikian juga kemitraan dengan masyarakat adalah suatu kewajiban.

Ketika ditanyakan pabrik sawit PT Mitra Agung Swadaya (MAS) di Desa Sungai Kuning Kecamatan Kelayang, Inhu, Riau yang masih membeli tandan buah segar (TBS) dari PT Bagas Indah Perkasa (BIP) Peranap yang dituding TBS dari kawasan hutan. Alhamra menilai; apapun izin mereka yang dimiliki PKS PT MAS yang saat ini telah beroperasi sangat melukai hati rakyat, karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan maka jika ada izin yang dimiliki perusahaan itu mesti di cabut. Negara kita merupakan negara Hukum, dengan demikian konsekwensi hukum dapat diterapkan kepada pemerintah daerah dan pemrakarsa yang telah menjadikan pengeluaran izin, termasuk di Inhu itu yang diperkirakan kini ada 18 pabrik sawit yang beroperasi, sebutnya. (rp.sdp/*)

Tags : -,