Sorotan   2024/04/21 22:42 WIB

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah Berdampak Berantai Ditengah Masyarakat, 'Jadi Buat Harga Barang Impor Naik, Inflasi Tinggi dan Daya Beli Melemah'

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah Berdampak Berantai Ditengah Masyarakat, 'Jadi Buat Harga Barang Impor Naik, Inflasi Tinggi dan Daya Beli Melemah'

"Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran di Timur Tengah"

ila konflik berlarut-larut, sejumlah pakar khawatir akan muncul dampak berantai yang dapat mengguncang ekonomi Indonesia.

Kurs rupiah per dolar AS berkisar di atas Rp16.000 pada pekan ketiga April. Ini terakhir kali terjadi empat tahun silam, di awal merebaknya pandemi Covid-19.

Aksi saling serang antara Israel dan Iran, plus sikap The Fed—bank sentral AS—untuk mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, disebut berperan besar dalam pelemahan rupiah belakangan.

"Konflik di Timur Tengah meningkatkan ketidakpastian global, menyebabkan investor menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi, terutama dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata.

"Rupiah diprediksi akan terus terdepresiasi jika konflik ini terus memanas dan berlanjut."

Pelemahan rupiah dikhawatirkan membuat harga barang-barang impor melonjak, termasuk bahan baku industri, serta memicu inflasi yang akhirnya melemahkan daya beli masyarakat, kata Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.

Dampak kenaikan harga barang impor dan pangan kemungkinan akan terasa cepat, kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).

Beda halnya dengan kebijakan mitigasi pemerintah untuk menambah subsidi energi atau Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga, yang dampaknya bisa jadi baru terasa setelah beberapa bulan, tambahnya.

Nilai tukar rupiah atas dolar AS menembus Rp16.000 sejak Selasa (16/04).

Nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi hingga menyentuh Rp16.280 pada Jumat (19/04), saat pejabat AS menyebut sebuah rudal Israel telah menghantam Iran, merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia.

JISDOR adalah kurs referensi harian yang digunakan untuk perdagangan mata uang asing.

Ini adalah pertama kalinya nilai tukar rupiah mencapai Rp16.000 per dolar AS dalam empat tahun terakhir.

Pada April 2020, angkanya sempat menyentuh Rp16.741 karena situasi serba tak pasti yang dipicu pandemi Covid-19.

Sementara itu, pelemahan rupiah kali ini disebabkan beberapa hal.

Pertama, The Fed atau bank sentral AS diperkirakan akan lebih lama mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk meredam laju inflasi AS, kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata.

Selama suku bunga The Fed masih tinggi, investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS, sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Kedua, konflik Israel-Iran di Timur Tengah yang kian memanas.

Iran menggempur Israel dengan lebih dari 300 rudal dan drone pada Sabtu (13/04) sebagai balasan atas serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya.

Pada Jumat (19/04), Israel disebut menyerang balik dengan meluncurkan rudal ke wilayah Isfahan, lokasi pangkalan udara militer Iran.

Ledakan juga dilaporkan terjadi di Irak dan Suriah—tempat kelompok bersenjata yang didukung Iran beroperasi, meski tidak jelas apakah ledakan tersebut terkait langsung dengan insiden di Isfahan.

"Kekhawatiran terkait perkembangan kondisi geopolitik di Timur Tengah terjadi setelah terdengarnya suara ledakan di Iran, Suriah, dan Irak pada pagi hari ini, menyebabkan depresiasi hampir seluruh mata uang global, termasuk rupiah," kata Josua, pada Jumat (19/04).

Imbasnya, kata Josua, investor bermain aman dengan memindahkan modalnya ke aset-aset "safe haven" seperti surat utang dan dolar AS serta emas.

Aset safe haven merujuk ke aset investasi yang relatif tetap stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Investor menganggap Indonesia berisiko karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak, kata Josua.

Konflik Israel-Iran dikhawatirkan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama bila Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz, yang kerap disebut sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia.

Bila itu terjadi, pasokan minyak akan terganggu sehingga harga meroket. Indonesia pun butuh keluar uang lebih untuk mengimpor minyak dan neraca dagang bisa jadi defisit. Maksudnya, nilai transaksi impornya lebih besar daripada ekspor.

Dari sana, kata Josua, akan muncul tekanan yang dapat melemahkan rupiah lebih jauh.

Bila nilai tukar rupiah melemah, harga barang-barang impor biasanya melonjak.

Masalahnya, sekitar 90% impor Indonesia terdiri dari bahan baku untuk aktivitas produksi dalam negeri, merujuk catatan LPEM Universitas Indonesia.

Adhi S. Lukman, ketua umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), juga mengatakan pelaku usaha dalam asosiasinya membutuhkan "banyak sekali" bahan baku impor.

Karena itu, melemahnya kurs rupiah membuat biaya produksi dan ongkos logistik para pengusaha makanan dan minuman melonjak, kata Adhi seperti dilaporkan kantor berita Antara.

Konsekuensinya, harga barang-barang akan meningkat sehingga konsumen ikut jadi korban.

"Jadi memang kalau kemudian [konflik Timur Tengah] tereskalasi, rupiah akan terus melemah, harga minyak juga terus meningkat, maka kemudian dampaknya akan terjadi kenaikan inflasi yang cukup besar," kata Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di LPEM Universitas Indonesia.

"Kalau inflasi cukup besar, ini kemudian juga mendorong terjadinya penurunan daya beli."

Penting bagi pemerintah untuk menjaga daya beli karena lebih dari separuh ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga—pengeluaran atas barang dan jasa untuk tujuan konsumsi.

Bila daya beli melemah, pertumbuhan ekonomi pun biasanya melambat.

Karena itu, kata Teuku, pemerintah mesti mencari cara untuk menjaga daya beli masyarakat, misalnya dengan menggencarkan penyaluran bantuan sosial.

Pemerintah pun bisa jadi akan mengalokasikan belanja lebih besar untuk subsidi energi atau kompensasi bagi Pertamina, kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata.

Selama ini, Pertamina ditugaskan menjual BBM tertentu dengan nilai di bawah harga pasar, dengan selisihnya ditanggung pemerintah. Inilah yang dimaksud sebagai kompensasi itu.

"Situasi ini dapat menyebabkan defisit fiskal yang melebar di tengah menurunnya penerimaan negara akibat normalisasi harga komoditas, sehingga meningkatkan pembiayaan anggaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan imbal hasil obligasi Indonesia," kata Josua.

Kenaikan harga minyak mentah pun dapat memicu tingginya laju inflasi, tak hanya di Indonesia tapi juga dunia, kata Josua.

Akibatnya, bank sentral di berbagai negara, termasuk The Fed di AS, bisa jadi menaikkan suku bunga acuan atau mempertahankannya di level tinggi demi meredam inflasi.

Bank sentral seperti Bank Indonesia setiap bulan menentukan suku bunga acuan. Ini penting karena bank-bank umum tak bisa menentukan besaran suku bunga pinjaman melebihi acuan yang telah ditetapkan Bank Indonesia.

Saat suku bunga naik, biasanya lebih sedikit orang atau pelaku usaha yang mengambil pinjaman karena bunga yang harus dibayar lebih besar. Alhasil, mereka lebih senang menyimpan uang dan mendapat bunga tabungan yang lebih menggiurkan.

Maka, belanja masyarakat dan peredaran uang akan berkurang sehingga, secara teori, inflasi bisa turun.

Sisi negatifnya, perputaran ekonomi bakal tersendat.

"Buat yang mencicil KPR, [kenaikan suku bunga] akan terasa sekali," kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).

"Itu akan berpengaruh juga pada penyaluran kredit properti, kendaraan bermotor, modal usaha. Jadi, pertumbuhan kredit dari perbankan pun juga bisa saja lebih rendah."

Namun, Bhima mengatakan butuh waktu sebelum berbagai bank menyesuaikan tingkat suku bunganya sesuai kebijakan Bank Indonesia, sehingga dampaknya bisa jadi baru dirasakan masyarakat setelah kira-kira dua bulan.

"Yang paling terasa cepat itu kenaikan ongkos impor bahan baku dan pangan," katanya.

"Tapi kalau seperti BBM, misalnya subsidinya ditambah pemerintah, dampaknya enggak akan langsung atau instan [terasa]."

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah "tidak tinggal diam" melihat peningkatan ketegangan di Timur Tengah.

Menurutnya, pemerintah akan mengambil "kebijakan strategis" agar perekonomian nasional tidak terdampak lebih jauh.

“Pemerintah akan terus mencermati perkembangan global dan regional yang ada serta akan mengambil langkah-langkah yang kuat dan fokus dalam menjaga stabilitas sistem keuangan,” tutur Airlangga.

“Respons kebijakan yang terukur dari pemerintah kami harapkan akan mampu memitigasi dengan baik dampak eskalasi konflik global saat ini."

Sementara itu, Kementerian Perindustrian mengatakan akan segera berkoordinasi dengan para pelaku industri untuk menyiapkan kebijakan yang dapat memitigasi dampak dari konflik di Timur Tengah.

"Saat ini, Kemenperin telah memetakan permasalahan dan berupaya melakukan mitigasi solusi-solusi dalam rangka mengamankan sektor industri dari dampak konflik yang tengah terjadi,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Salah satu kebijakan yang disiapkan adalah insentif untuk impor bahan baku industri yang berasal dari Timur Tengah. Ini penting untuk industri kimia hulu, misalnya, yang disebut mengimpor sebagian besar bahan bakunya dari kawasan itu.

Selain itu, Kementerian Perindustrian berniat mendorong lebih lanjut penggunaan barang produksi dalam negeri, serta penggunaan mata uang lokal untuk transaksi yang dilakukan pebisnis Indonesia dengan mitra asing.

"Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama dolar AS, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan antar-negara Asia terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Agus.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun meminta sejumlah BUMN untuk mengendalikan impor serta bertransaksi menggunakan dolar AS secara terukur dan sesuai kebutuhan.

BUMN yang dimaksud utamanya adalah mereka yang memiliki utang luar negeri besar dalam dolar AS seperti Pertamina, PLN, dan Mineral Industri Indonesia (MIND ID).

"Intinya adalah jangan sampai berlebihan, kita harus bijaksana dalam menyikapi kenaikan dolar saat ini," kata Erick.

"Belanja dan impor BUMN harus dengan prioritas dan sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak."

Di sisi lain, Bank Indonesia menyatakan akan terus berusaha menjaga stabilitas rupiah, termasuk dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing, alias menjual cadangan devisanya untuk mendorong penguatan rupiah.

Bank Indonesia pun akan melakukan "pengelolaan aliran portfolio asing yang ramah pasar", kata Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia.

Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas, memperkirakan Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin, masing-masing 25 basis poin di April dan Mei, hingga menyentuh 6,5%.

Salah satu alasannya, kata Satria, adalah pelemahan nilai tukar rupiah atas dolar AS yang telah mencapai 3,4% sepanjang April ini.

"Seperti yang pernah kami sampaikan tahun lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo hampir bisa dijamin akan menaikkan suku bunga saat kurs rupiah terhadap dolar AS melemah lebih dari 2% dalam sebulan," kata Satria. (*)

Tags : Minyak gas, Bisnis, Ekonomi, Energi, Inflasi, Indonesia, Perdagangan, Perbankan, Biaya hidup,