Sorotan   2024/04/19 21:37 WIB

Kementerian ESDM Revisi Aturan Program Konversi LPG ke Kompor Listrik Juga Cari Solusinya, LMR: 'Rencana yang Mencla-Mencle'

Kementerian ESDM Revisi Aturan Program Konversi LPG ke Kompor Listrik Juga Cari Solusinya, LMR: 'Rencana yang Mencla-Mencle'
Operasi Pasar digelar untuk memudahkan warga mendapatkan elpiji dalam jumlah cukup sesuai harga eceran tertinggi dan menekan kecenderungan kenaikan harga akibat meningkatnya permintaan menjelang lebaran.

"Keputusan pemerintah Indonesia membatalkan program pengalihan kompor LPG tiga kilogram ke kompor listrik usai mendapat respon masyarakat yang dinilai proses perencanaan kebijakan dipaksakan, tergesah-gesa dan dilakukan secara elitis"

eharusnya, kata Lembaga Melayu Riau, pemerintah terlebih dulu mendengar aspirasi masyarakat dan mencari tahu masalah-masalah apa yang akan muncul ketika rencana itu dilakukan, alih-alih mengaungkan kampanye “penghematan biaya” kompor listrik.

Sementara pihak Perusahaan Listrik Negara [PLN] pada Selasa 27 September 2023 lalu telah mengumumkan pembatalan konversi kompor LGP tiga kilogram ke kompor listrik dengan alasan “guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19”.

Program konversi itu dilakukan, di antaranya, karena beban subsidi LPG yang mencapai Rp70 triliun setiap tahunnya dan juga upaya untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik PLN. 

Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan memberikan 300.000 unit paket kompor listrik gratis ke masyarakat tahun ini.

Terdapat beberapa wilayah yang telah menerima kompor listrik sebagai uji coba.

Salah satunya adalah di Solo, Jawa Tengah. Beberapa warga yang menerima kompor itu menceritakan pengalamannya.

Indrawati tampak meletakkan panci khusus di atas salah satu tungku kompor listrik.

Untuk menyalakan kompor listriknya itu, ia menggeser tuas miniatur circuit breaker (MCB) yang terpasang di dinding dekat kompor tersebut. 

“Kompor listik lebih nyaman, praktis dan cepat. Dibandingkan dengan kompor gas. Pemakaian kompor listrik lebih santai karena [makanan] tidak cepat kosong. Kalau pakai gas ditinggal sedikit gosong,” kata Indrawati yang tinggal di perumahan Simpang Ardath, Pekanbaru.

Setelah hampir dua bulan memakai kompor listrik, ia mengeluhkan kompor itu karena tidak bisa digunakan untuk membakar ataupun memanggang.

“Susahnya pakai kompor listrik tidak bisa bakar terasi, nggak ada apinya,” ujar dia.

Indrawati menambahkan, kompor listrik pun lebih hemat.

Warga antre untuk membeli gas tiga kilogram pada Operasi Pasar elpiji subsidi, Senin (1/4/2024).

Menurut perhitunganya, satu tabung LPG ukuran tiga kilogram hanya bisa digunakan dalam hitungan hari.

“Tabung ijo (LPG tiga kilogram) itu satu sampai dua hari. Sedangkan untuk kompor listrik itu saya beli voucher pulsa listrik Rp100.000 untuk satu bulan. Rumah saya termasuk listrik subsidi,” ujarnya.

Lain halnya dengan Sumarmi (50), salah satu warga penerima bantuan program kompor listrik dari PLN di Kulim, Pekanbaru.

Ia mengaku penggunaan kompor listrik menyebabkan biaya listriknya melambung naik. Bahkan, setiap pekan harus mengisi voucher pulsa listrik sebesar Rp50.000.

“Ini kan listriknya belum subsidi jadi agak banyak abisnya. Apalagi listriknya belum dipakai untuk sehari-hari, kalau dipakai sehari-hari bisa Rp200.000 lebih setiap bulannya,” keluhnya.

Meski demikian, Sumarmi mengaku pengoperasian kompor listrik lebih mudah dibandingkan dengan kompor LPG. 

“Pakai listrik ebih enak dan nyaman. Tapi kalau untuk tergesa-gesa tidak bisa karena agak lambat,” kata dia.

Terkait keputusan PLN yang membatalkan rencana program konversi dari kompor LPG ke kompor listrik, Indrawati maupun Sumarmi mengaku pasrah jika kompor yang telah diterimanya akan ditarik kembali oleh PLN. 

Rencana yang 'mencla-mencle'

Beberapa waktu lalu, pemerintah bersama PLN berencana mengkonversi kompor gas LPG tiga kilogram ke kompor listrik.

Pemerintah pun melakukan uji coba di beberapa daerah dengan membagikan ribuan paket kompor listrik gratis ke masyarakat dengan harga Rp1,8 juta.

Targetnya tahun ini adalah 300.000 rumah tangga dengan anggaran sekitar Rp540 miliar.

PLN telah membagikan masing-masing seribu kompor listrik ke warga di Solo dan Denpasar.

Selain uji coba, pemerintah juga mengkampanyekan bahwa kompor listrik lebih hemat dalam memasak dibandingkan kompor LPG. PLN mengeklaim kompor listrik akan menghemat 10-15%.

Masyarakat merespons beragam rencana itu, ada yang mendukung dan menolak. 

Proses tersebut, menurut Ketua Umum LMR Pusat Jakarta, H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam merencanakan suatu kebijakan.

“Rencana kebijakan konversi yang mencla-mencle dan seumur jagung ini mengindikasikan tidak adanya perencanaan yang terstruktur dan sistematis,” kata Darmawi Wardhana, Jumat (19/4).

"Ini jadi terlihat testing the water dan dipaksakan saja dan saya melihat ada kepentingan politik di balik itu," sambungnya.

Menurutnya, ke depan, pemerintah harus menghindari pola pengambilan kebijakan konversi itu yang bersifat elitis, dari atas ke bawah yang tanpa mendengar apa kebutuhan masyarakat.

“Ketika merancang kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus bertahap dari bawah, dari dialog ke masyarakat, melibatkan ahli hingga pengambilan kebijakan, tidak bisa top-down, tapi harus dari bawah, dari kebutuhan masyarakat,” katanya.

Kompor listrik rencana yang tergesa-gesa 

Darmawi Wardhana kembali menilai rencana konversi ini menunjukkan ketergesa-gesaan tanpa melakukan riset terlebih dahulu.

Ia mencurigai, salah satu tujuan rencana itu adalah untuk mengalihkan beban dari kelebihan pasokan listrik PLN yang kemudian ditanggung oleh masyarakat.

“Rencana ini begitu cepat, dari sosialisasi, bagi-bagi kompor listrik, lalu menunjuk perusahan untuk menyediakan kompor listrik,” katanya.

"Saya curiga ini terkait beban oversupply, take or pay. Harusnya negosiasi ulang dengan IPP, bukan masyarakat yang jadi menanggung."

“PLN harus berani negosiasi bahwa yang dibayarkan ke IPP adalah yang digunakan. Kalau tidak dipakai, jangan bayar. Itu bisa dan umum terjadi,” sambungnya.

Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui konversi itu terkait dengan kelebihan pasokan PLN.

Demo menolak kenaikan harga BBM dan listrik.

Kontrak listrik PLN dengan produsen listrik swasta (IPP) menerapkan skema take or pay. Artinya, PLN tetap membayar kelebihan listrik walaupun tidak terserap oleh masyarakat.

Diperkirakan, surplus listrik PLN mencapai enam gigawatt hingga akhir 2022, dengan biaya tanggungan sekitar Rp3 triliun setiap satu gigawattnya.

Selain itu, rencana konversi ini juga dipengaruhi oleh besarnya subsidi terhadap LPG yang mencapai Rp70 triliun per tahun.

Hal itu disebabkan karena Indonesia mengimpor LPG sebanyak 5,5-6 juta ton per tahun. Pemerintah harus membayar selisih dari harga beli sekitar Rp19.000 dan harga jual di pasar Rp4.250 per kg.

Darmawi Wardhana juga mencatat beragam masalah yang muncul jika rencana konversi ini dilaksanakan.

Menurut Darmawi yang pertama adalah penggunaan kompor listrik berpotensi menghapus pelanggan dengan daya 450 VA yang disubsidi pemerintah.

Masyarakat terpaksa harus menaikan dayanya karena konsumsi kompor listrik berkisar 800 hingga 1.000 watt.

Sebelumnya, PLN telah menjelaskan bahwa pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak perlu menaikan daya listrik karena akan menyediakan jalur khusus kompor listrik.

Masalah kedua adalah belum ratanya distribusi listrik di wilayah Indonesia, “di daerah yang mengalami pemadaman hingga berjam-jam, masak pakai apa?”.

Ditambah lagi, ujar Darmawi, listrik yang dihasilkan PLN 60% menggunakan batu bara, energi kotor.

“Masalah-masalah itu yang belum teratasi sehingga realistis untuk membatalkan rencana ini,” ujarnya.

Darmawi menambahkan, kompor listrik juga menciptakan masalah bagi para pedagang keliling yang mengantungkan sumber energi dari gas LPG tiga kilogram.

“Pedagang keliling seperti mie ayam, bakso, bagaimana caranya pakai kompor listrik? Tidak akan bisa. Rencana ini tidak substansial, tidak ada urgensinya dan hanya membebani masyarakat, khususnya kelompok bawah,” katanya.

Lantas apa solusinya?

Darmawi mengatakan, konversi kompor gas ke listrik merupakan hal yang perlu dilakukan, namun, harus secara bertahap dan jangan dijadikan kewajiban yang memaksa.

“Pemerintah harus melakukan bauran energi, dari jaringan gas, kompor listrik dan juga gas tiga kilogram. Jadi memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih sambil melakukan sosialisasi penggunaan kompor listrik bagi rumah tangga yang sadar dan mampu,” ujarnya.

PLN batalkan konversi

PLN memutuskan untuk membatalkan program pengalihan kompor LPG 3kg ke kompor listrik.

Langkah ini dilakukan guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Selain itu, PLN juga memastikan tarif listrik tidak naik, “Tidak ada kenaikan tarif listrik. Ini untuk menjaga peningkatan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi,” kata Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo dalam siaran pers.

PLN juga memastikan tidak ada penghapusan golongan pelanggan dengan daya 450 VA dan pengalihan ke 900 VA .

Sebelumnya, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekon) Airlangga Hartarto, Jumat (23/09) kemarin telah menegaskan bahwa program konversi tidak akan diberlakukan tahun 2022.

Sejumlah warga antre untuk membeli gas elpiji tiga kilogram bersubsidi saat operasi pasar elpiji murah.  

“Dapat saya sampaikan bahwa pemerintah belum memutuskan, sekali lagi pemerintah belum memutuskan terkait program konversi kompor LPG tiga kilogram menjadi kompor listrik induksi,” ujar Airlangga.

Dia menjelaskan, program kompor listrik induksi saat ini masih merupakan uji coba atau prototipe sebanyak 2.000 unit dari rencana 300.000 unit yang akan dilaksanakan di Bali dan di Solo, Jawa Tengah.

“Hasil dari uji coba ini akan dilakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan,” ujarnya.

Walau uji coba masih dilakukan, PLN mengeklaim kompor listrik lebih hemat Rp8.000 atau 10-15% dibandingkan kompor listrik.

Ditarik ke skala nasional, konversi ini disebut akan menghemat APBN hingga Rp330 miliar per tahun jika digunakan oleh 300.000 keluarga penerima manfaat atau Rp5,5 triliun dengan lima juta keluarga.

'Gas elpiji 3kg dipakai orang kaya'

Setelah pengguna media sosial ramai membahas selebritas Prilly Latuconsina memakai gas elpiji bersubsidi, pemerintah Indonesia akan merevisi aturan tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG tabung tiga kilogram.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bimi di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, mengatakan gas LPG tiga kilogram bersubsidi—kerap disebut elpiji—hanya berhak dipakai konsumen yang tidak mampu alias miskin.

Sehingga dia meminta orang kaya tidak mengambil hak orang lain.

Sementara Pengamat energi, Komaidi Notonegoro, menuturkan bahwa dalam Perpres nomor 104 tahun 2007—regulasi yang berlaku sekarang—tidak ada larangan bagi siapa pun untuk membeli gas elpiji tiga kilogram.

Kondisi ini membuat pendistribusiannya kerap tidak tepat sasaran. Bahkan, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), 80% masyarakat mampu menikmati gas bersubsidi.

Lalu, apa solusinya sehingga tidak terjadi penyimpangan?

Polemik soal gas elpiji tiga kilogram mencuat setelah aktris Prilly Latuconsina menggunggah fotonya sedang memasak untuk Lebaran.

Dalam foto yang diunggah di akun Instagram pribadinya, Prilly nampak sibuk dengan peralatan masak yang menghampar di lantai dapur. Mengenakan piyama merah muda, dia terlihat berada di depan wajan besar berisi rendang.

Tapi rupanya, warganet melihat ada tabung gas berwarna hijau tertutup oleh kardus cokelat. Tabung itu tersambung ke kompor yang dipakai Prilly.

Sontak warganet menyerbu unggahan itu dengan komentar negatif.

Seperti akun @veautifull yang mencuit, "di gasnya tertulis untuk masyarakat miskin bukan tertulis untuk masyarakat sederhana".

Bahkan ada warganet yang mengungkap keluarga Raffi Ahmad turut menimbun gas melon di rumahnya, kata akun @skyooo98.

"Bukan hanya Prilly, Raffi Ahmad aja dulu pernah beli gas elpiji sebanyak ini, enggak menutup kemungkinan mereka yang orang kaya enggak pakai gas elpiji 3 kilogram."

Atas keributan tersebut, Prilly membuat pernyataan tertulis. Ia berkata, gas bersubsidi itu dipinjamkan oleh penjual gas langganannya karena stok gas yang biasa dibeli sedang habis.

"Tidak ada niatan menyembunyikan atau apa pun karena itu memang berada di belakang tas belanja. Akupun enggak ngeh," kata Prilly.

Dia melanjutkan, bahwa dirinya sangat sadar kalau gas tersebut memang tidak diperuntukkan untuk semua orang.

"Next time kalau gas yang biasa habis, lalu dipinjamkan, aku sudah bilang ke mbak lebih baik bersabar saja menunggu gas yang bisa dipakai."

Apa respons Kementerian ESDM?

Buntut dari polemik ini, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, menyebut pihaknya telah mengajukan revisi Peraturan Presiden nomor 104 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga liquefied petroleum gas (LPG) tabung tiga kilogram.

Tetapi kembali seperti disebutkan Darmawi Wardhana, inti dari revisi itu adalah "menegaskan peruntukan segmen masyarakat yang berhak membeli LPG tiga kilogram," katanya.

Segmen masyarakat yang dimaksud yakni "rumah tangga yang tidak mampu alias miskin".

"Kami menyampaikan ke masyarakat, janganlah seperti itu. Itu adalah hak orang yang enggak mampu, merasalah ini bukan hak saya. Ini hak orang lain," sambungnya.

Dia kemudian menjelaskan bahwa mulai 1 Januari 2024, pembeli elpiji tiga kilogram wajib mendaftarkan KTP dan Kartu Keluarga di subpenyalur atau pangkalan resmi Pertamina.

Meski mekanismenya sudah berlaku, pendaftaran KTP masih dibuka sampai 31 Mei 2024. Dengan begitu nantinya, hanya pengguna yang telah terdaya yang dapat membeli elpiji tiga kilogram.

Cara ini diharapkan agar subsidi yang diberikan pemerintah bisa dinikmati sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tidak mampu atau lebih tepat sasaran.

Merujuk data Dirjen Migas Kementerian ESDM, realisasi penyaluran gas LPG subsidi tahun 2019-2022 meningkat sekitar 4% - 5% per tahun menjadi 7,8 juta metrik ton pada 2022.

Sebaliknya, realisasi penyaluran gas LPG nonsubsidi di tahun 2019-2022 menurun 10,9% per tahun menjadi 0,46 juta metrik ton pada 2022.

Ini artinya terjadi tren peningkatan konsumsi gas melon oleh kelompok mampu.

Mengapa trennya meningkat?

Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyebut beberapa penyebab mengapa konsumsi gas elpiji bersubsidi terus meningkat.

Pertama, secara regulasi yang berlaku di Perpres nomor 104 tahun 2007, tidak ada pasal atau ketentuan yang larangan bagi siapapun untuk membeli gas LPG tiga kilogram bersubsidi.

Pasal 3 ayat 1 berbunyi: penyediaan dan pendistribusian LPG tabung 3 kilogram hanya diperuntukkan bagi rumah tangga dan usaha mikro.

"Artinya tidak ada definisi khusus bahwa ini [tabung 3 kilogram] untuk masyarakat miskin, meski di tabung dituliskan. Tapi dalam regulasi yang secara spesifik melarang masyarakat tertentu memakainya, itu tidak ada," ucap Komaidi.

"Sehingga siapa pun ketika membeli, by regulasi, tidak ada yang dilanggar. Mungkin yang dilanggar masalah etika."

Penyebab kedua, disparitas harga antara gas LPG tiga kilogram dan gas LPG nonsubsidi yang terlampau jauh.

Sesuai prinsip ekonomi, katanya, individu atau masyarakat akan cenderung mencari barang yang harganya lebih murah.

Artinya ketika ada dua atau tiga produk yang sama dengan harga yang berbeda secara ekonomi, secara alamiah orang akan bergerak ke harga yang lebih murah.

"Jadi biasanya semakin murah akan semakin diburu."

"Itu pola yang digunakan oleh para pengusaha dengan memakai diskon atau potongan harga. Karena nature-nya konsumen begitu."

Saat ini, harga gas LPG 3 kilogram bersubsidi di pengecer masih berada di kisan Rp20.000 - Rp25.000 per tabung.

Sedangkan harga LPG nonsubsidi 5,5 kilogram di tingkat agen resmi Pertamina tercatat mencapai Rp90.000 per tabung.

Adapun untuk LPG 12 kilogram sebesar Rp192.000 per tabung.

Harga itu berlaku di wilayah Pulau Jawa, namun di wilayah lain akan disesuaikan mengacu kepada harga di Pulau Jawa.

Apa solusi untuk persoalan ini?

Komaidi Notonegoro mengatakan selama kebijakan subsidi pemerintah diberlakukan kepada barang, kebocoran akan terus terjadi.

Itu mengapa, sejak lama dia menyarankan agar mengubah pola subsidi langsung ke penerimanya.

Caranya, orang-orang yang masuk dalam kategori "yang berhak menerima" akan diberikan subsidi berupa uang tunai yang ditransfer ke rekening masing-masing keluarga.

"Jadi penerima subsidi langsung diberikan uang tunai dengan ditransfer saja, nanti yang di lapangan harga gas elpijinya sama," jelasnya sembari menambahkan bahwa kalau tanpa subsidi harga keekonomian gas LPG 3 kilogram sudah menyentuh Rp54.000 per tabung.

"Artinya subsidinya enggak bisa dinikmati artis, karena rekening enggak mungkin nyasar ditransfer ke artis."

Komaidi berkata, Pertamina semestinya memiliki data kelompok masyarakat yang berhak menerima gas LGP bersubsidi. Sebab mereka rutin menyalurkan ke tiap-tiap wilayah.

Atau, pemerintah bisa mengintegrasikan data penerima bantuan dari Program Keluarga Harapan yang dimiliki Kementerian Sosial dan pemerintah daerah.

Dari situ dapat ditelusuri seberapa banyak pemakaian gas LPG 3 kilogram dalam sebulan dan berapa kira-kira besaran subsidi yang bisa diberikan.

"Masing-masing keluarga per bulan konsumsinya berapa kan bisa ketahuan. Dari rata-rata konsumsi itu dalam sebulan bisa dihitung subsidinya berapa."

"Kalau beli pakai KTP menurut saya bisa saja ada orang kaya beli pakai KTP orang lain, bisa toh?"

"Jadi sepanjang subsidi ke barang, pasti ada kebocoran."

Bagaimana sejarah program konversi BBM ke elpiji?

Warga memasak menggunakan kompor listrik induksi.

Program konversi BBM ke LPG tiga kilogram dilakukan pemerintah sejak 2007.

Program ini diklaim bertujuan untuk diversifikasi energi, efisiensi anggaran pemerintah, mengurangi penyalahgunaan minyak tanah (mitan) bersubsidi dan menyediakan bahan bakar yang bersih, praktis dan efisien.

Penyebaran konversi minyak tanah (mitan) ke LPG kala itu telah menjangkau 29 provinsi.

Diharapkan dengan berhasilnya program konversi tersebut, pemerintah diperkirakan akan menghemat dana subsidi energi sebanyak Rp15 triliun hingga Rp20 triliun per tahunnya.

Namun demikian, sejak awal pemerintah mengakui tantangan pelaksanaan subsidi LPG 3 kilogram adalah pendistribusiannya bersifat terbuka, sehingga semua lapisan masyarakat dapat membeli LPG tiga kilogram.

Di sisi lain, perbedaan harga LPG subsidi dan nonsubsidi yang mencolok, menyebabkan banyak masyarakat mampu bahkan juga restoran-restoran yang menggunakan LPG tiga kilogram. (*) 

Tags : energi terbarukan, media sosial, bisnis, ekonomi, kemiskinan, keluarga, minyak gas, biaya hidup, Sorotan, riaupagi.com,