Lingkungan   2020/05/11 19:33 WIB

Ada 1000 Bangkai Kapal di Pulau Magdalen

Ada 1000 Bangkai Kapal di Pulau Magdalen

LINGKUNGAN - Sekitar 500 hingga 1.000 bangkai kapal tercatat di sekitar Pulau Magdalen yang terpencil di Quebec, Kanada, dan keturunan dari orang-orang yang tahan banting menuturkan kisahnya seperti dirilis BBC News.

Daratan tak terduga yang berbahaya

Peter Alexander Tager adalah penumpang gelap di Good Intent, sebuah kapal barang dari Liverpool yang membawa kayu dari Inggris ke Quebec. Sementara keluarga Brophy berlayar dengan kapal Irlandia bernama Miracle, yang membawa ratusan pendatang yang berharap akan menjalani kehidupan baru di Kanada.

Sedang Robert Best dalam perjalanan pulang ke Channel Island di Selat Inggris dengan Perry, kapal yang membawa ikan cod dari pelabuhan Gaspe.Mereka berlayar dengan alasan yang berbeda namun semuanya bernasib sama: kapal mereka terlempar keras dan terdampar di laut dangkal dan pantai pasir di Pulau Magdalen, kawasan Quebec yang berbahasa Prancis di Kanada.

Letaknya terasing di tengah Teluk St Lawrence, dengan bentuk seperti ikan ngarai, pulau ini tidak terduga dan berbahaya di jalur pelayaran antara Eropa dan Quebec. Diperkirakan, antara 500 hingga 1.000 kapal menjadi korban dari kepulauan berbentuk ikan ngarai, yang merupakan daratan tak terduga dan berbahaya di jalur pelayaran antara Eropa dan Quebec.

Diperkirakan 500 sampai 1.000 kapal menjadi korbannya, sebagian besar pada Abad ke-18 dan ke-19. Banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu ada pulau di sana, kata penjaga pantai, Charles Cormier. Sekali waktu, 48 kapal tenggelam dalam satu badai.

Nenek moyang di satu pulau

Pada masa-masa itu, hanya ada sedikit peta yang akurat dan mercu suar, sehingga angin keras, kabut, gelombang besar membuat navigasi menjadi permainan ketangkasan dan tebak-tebakan. Hasilnya banyak penumpang yang hilang dan jenazahnya tertimbun bukit pasir. Hanya yang amat tangguh yang bertahan, mengabaikan perjalanan yang diinginkan dan membangun kehidupan baru di sepanjang pantai yang sepi di pulau itu.

class=wp-image-23224
Foto. Anna Bressanin & Anne Banas

Banyak keturunan dari korban yang selamat yang kini masih tinggal di pulau itu, seperti Nancy Clark yang berusia 32 tahun. Sulit baginya meninggalkan pulau tersebut walau menghadapi tantangan. Mereka sudah mengakar sebagai bagian dari komunitas kecil berbahasa Inggris di dalam masyarakat berbahasa Prancis. Mereka juga menjadi kisah hidup dari generasi penghuni pulau yang datang sebelumnya.

Kami komunitas yang amat kecil dan mungkin hampir semuanya bisa menelusuri kembali ke paling tidak satu orang yang tiba di sini karena kapal kandas, kata Clark.

Dua komunitas dengan dua bahasa

Di pulau yang sebagian besar warganya berbahasa Prancis ini, terdapat sekitar 550 penduduk yang berbahasa Inggris, yang merupakan keturunan dari orang yang datang dari Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Kebanyakan adalah imigran namun ada juga yang merupakan penumpang kapal barang yang memutuskan untuk tinggal di pulau ini setelah kapalnya karam.

Sebagian besar tinggal di tiga komunitas: Grosse-��le dan Old Harry di sebelah utara dan Entry Island, sebuah pulau kecil di sebelah selatan yang bisa dicapai dengan feri. Bagi penduduk di pulau kecil itu, nenek moyang mereka melekat di sana dan membuat mereka bisa mempertahankan identitas budaya yang kuat.

Banyak yang memiliki nama keluarga yang sama

Di Old Harry, sebagian besar nama keluarga adalah Clark atau Dunn. Sedang di Grosse-��le, nama keluarga yang paling banyak adalah Clarke dan bukan Clark, yang memicu perdebatan tentang pengejaan. Orang-orang di Old Harry mengatakan warga Grosse-��le added yang menambahkan 'e' namun orang di Grosse-��le yakin warga Old Harry yang justru menghapus 'e'.

Komunitas berbahasa Prancis dan Inggris sama-sama mempertahankan identitas yang berbeda selama bertahun-tahun. Sampai tahun 1970-an tidak banyak terjadi perkawinan antarkomunitas, dan masing-masing memiliki gereja sendiri, baik itu Katolik maupun Protestan, dan juga sekolah sendiri.

Inggris akan bertahan di komunitasnya dan Prancis juga bertahan di komunitasnya, kata Winston Clarke -dan dari namanya Anda tahu dia adalah warga Grosse-��le. Saya tidak mengatakan bahwa ada permusuhan, namun sulit untuk melakukan perjalanan antarkomunitas pada saat itu, tidak ada jalan raya di awal 1900-an.

Perbedaan kecil dalam ekspresi

Ada beberapa hal yang memperlihatkan perbedaan antara kedua komunitas. Di kawasan Inggris, misalnya, rumah-rumah dicat dengan nuansa yang diredam seperti putih dan abu-abu sedang Prancis menggunakan warna cerah dengan kuning, hijau, biru, dan bahkan oranye.

Nancy Clark -bisakah Anda tebak dia tinggal di mana- juga mencatat perubahan kecil saat menyapa, seperti warga yang berbahasa Prancis cenderung memberi ciuman atau menyentuh satu sama lain sementara yang berbahasa Inggris lebih kolot. Kami lebih merupakan jenis orang yang mengangguk, jelas Clark.

Walau berbeda, Clark -yang bekerja di sekolah setempat dan mengembangkan proyek untuk mencegah kaum muda yang berbahasa Inggris agar jangan pindah ke kota-kota besar di Kanada, melihat sekarang sudah ada kekuatan dari kesamaan.

Rumah dari bangkai kapal

Tradisi rumah di pulau ini bukan hanya tercermin dari warna saja karena sebagian dibangun dari bahan-bahan yang diambil dari bangkai kapal, seperti rumah Rhoda Clark -bibinya Nancy- di Old Harry. Nenek moyang Rhoda membantu orang yang selamat dari kapal Miracle, yang kandas Mei 1847 lalu. Rhoda menjelaskan bagaimana rumahnya menjadi bagian dari sejarah pulau, yang dialihkan dari satu generasi ke generasi lain dalam keluarganya.

class=wp-image-23225
Foto. Nancy Clark

Kakak buyut saya, Henry Sr Clark, membangun rumah tua ini dari beberapa bahan bangkai kapal yang dipadu dengan kayu. Dia membangunnya dia berjalan ke pantai dan begitulah caranya dia membangunn, sedikit demi sedikit.

Juga di Old Harry, Gereja St-Peters-by-the-Sea yang berusia 100 tahun dibangun dari kayu bangkai kapal. Kami mau memastikan gedung itu dipertahankan untuk komunitas dan menjamin tidak akan dijual, jelas Clark. Jadi kami mengembangkan sebuah proyek yang juga berarti bagi komunitas.

Gereja itu akan menjadi tempat pameran dari para penduduk yang meninggal dunia karena terkait dengan air sepanjang Abad ke-20. Clark mengumpulkan foto-foto korban karena dia menyadari bahwa kematian di laut mempengaruhi banyak keluarga.

Sejauh ini dia sudah mengumpulkan 135 foto, yang sebagian besar diambil setelah tahun 1950-an.

Pulau Magdalen juga menjadi tempat untuk melampiaskan hobi, seperti yang dilakukan penjaga pantai, Charles Cormier.

Ketertarikan saya pada kapal karam sudah dari dulu. Saya sudah menyelam selama 37 tahun. Tak ada yang membantu, saya melakukannya untuk kesenangan. Karena saya suka, kata Cormier, yang tak punya kaitan keluarga dengan para nenek moyang di pulau namun menjadikan pencarian kapal karam sebagai kesenangan hidup.

Kapal miliuner Yunani

Banyak bangkai kapal yang tersembunyi di dasar laut berada dalam keadaan hancur, dan sering kali yang tertinggal cuma keeping kayu. Namun beberapa masih terlihat dari pantai seperti kapal Corfu Island, yang pernah dimiliki miliuner Yunani, Aristotle Onassis, yang kandas di perairan Pulau Magdalen tahun 1963 dan terperangkap di pantai berpasir.

class=wp-image-23226
Foto. Anna Bressanin & Anne Banas

Semuanya selamat, kata Cormier. Kapal itu membawa muatan cat hijau. Warga mengambil cat itu dan menggunakannya untuk rumah, itulah sebabnya kenapa banyak rumah berwarna hijau.
Tempat yang kontras

Pulau Magdalen adalah tempat yang kontras: hari dengan sinar matahari cerah bisa dengan cepat berubah menjadi badai dan keindahan laut dengan cepat beralih menjadi berbahaya, khususnya pada musim ikan ketika para nelayan bisa menghabiskan waktu di laut sampai 12 jam sehari.

Kadang di musin dingin amat berangin dan suram, dan bisa amat berat. Namun musim panas membayarnya, ketika kami memiliki cuaca bagus dan menjadi tempat yang paling tenang dan damai, kata Clark. (*)

Tags : -,