Sorotan   2020/05/23 21:28 WIB

Lebaran Prihatin: Kumpul Bersama Makan Ketupat di Covid-19

Lebaran Prihatin: Kumpul Bersama Makan Ketupat di Covid-19

Lebaran identik dengan kumpul bersama keluarga, makan ketupat, dan mengenakan baju baru. Namun dampak ekonomi wabah virus corona membuat sebagian orang tak bisa melakukan berbagai tradisi perayaan yang menjadikan lebaran hari yang istimewa itu

class=wp-image-22155

ebih dari ratusan penduduk Kota Pekanbaru dirumahkan dan bahkan banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pandemi. Kehilangan pekerjaan atau pemasukan membuat acara makan-makan dan baju lebaran jadi kemewahan yang tidak mampu dibeli. Belum lagi, larangan mudik berarti banyak orang yang terpisah dari keluarga mereka pada hari raya.

Cerita dari beberapa warga tentang bagaimana mereka menghadapi Lebaran yang sangat lain dari biasanya ini. Seperti ada yang menyebutkan; Saya sudah tidak memikirkan lebaran, kata Efendi (50) warga kota Pekanbaru.

Merayakan Lebaran dengan meriah menjadi hal terakhir di pikiran Efendi, sejak keuangan keluarganya terpukul oleh wabah virus corona. Sekarang, yang dipikirkan warga Kota Pekanbaru itu hanyalah kesehatan istri dan empat anaknya. Saya sudah tidak memikirkan Lebaran. Yang saya pikirkan itu kehidupan keluarga sama kesehatan. Itu saja, ujarnya.

Bekerja sebagai sopir angkot rute Pekanbaru-Inhu, bukan berarti pemasukannya nol sama sekali. Ia masih bisa narik, katanya, tapi penumpangnya tidak ada. Sejak Kota Pekanbaru menerapkan PSBB pada tanggal 17 April, kapasitas angkutan umum dibatasi hanya 50 persen.

Efendi menjelaskan, sebelum wabah corona, pendapatan bersihnya dari mengemudi angkot bisa mencapai Rp90 ribu per hari. Kini ia hanya membawa pulang Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per hari, dan terkadang harus menombok. Uang sebanyak itu hanya cukup untuk belanja kebutuhan makan sehari-hari.

Istrinya, yang bekerja membuka usaha laundry kiloan di tempatan rumah sewanya juga sedikit mengalami gangguan, walau ditengah pandemi corona pesanan untuk mencuuci pakaian tidak begitu terganggu pendapatan. Di hari Lebaran, hidangan ketupat dan opor yang biasanya hadir di meja makan mungkin tidak akan ada. Begitu pula baju baru untuk anak-anaknya, kata dia yang kini memiliki anak empat itu.

Kita tahu keadaan sekarang kan dalam keadaan begini, susah. Jadi belum kepikiran untuk wah-wahan di lebaran, kata dia lagi.

Meski begitu, Efendi masih berniat untuk membayar zakat fitrah, hal yang ia lakukan setiap tahun. Zakat fitrah, yaitu sedekah yang dibagikan kepada kelompok miskin dan membutuhkan pada hari raya Idul Fitri, merupakan kewajiban bagi umat Islam. Efendi mengaku tahun ini ia kesulitan mengumpulkan uang untuk membayar zakat, namun ia khawatir tidak mendapatkan pahala.

Menurut saya, zakat itu wajib jadi dari sekarang kita usahakan, saya kumpul-kumpulin untuk bisa bayar zakat. Tapi kalau memang enggak bisa ya apa boleh buat.

class=wp-image-23686

Kalau enggak sanggup terus enggak jadi masalah pahalanya, kewajiban itu, saya mungkin memilih jadi mustahik (penerima zakat), tuturnya.

'Mau marah, saya enggak bisa marah ke siapa-siapa'

Helni, 28 tahun, kesulitan menyambut Lebaran dengan gembira. Jauh dari keluarga di kampung halaman, perempuan asal Sumatera Barat itu untuk pertama kalinya akan menghabiskan hari raya Idul Fitri sendirian di rumah komntrakan dibilangan Jalan Rambutan. Enggak tahu rasanya Lebaran di sini gimana, katanya mengaku baru tahun ini berlebaran di perantauan.

Biasanya, sepekan sebelum Lebaran, ia sudah ada di rumah orang tuanya di Bukit Tinggi (Sumbar). Dalam menyambut hari raya, keluarganya punya tradisi membuat kue dan mengadakan kenduri.

Satu hari sebelum Lebaran, saat buka puasa terakhir di bulan Ramadan, keluarga Helni biasanya berkumpul di rumah orang tuanya untuk makan besar. Makanan favorit mereka antara lain sambal jengkol atau petai, rendang daging, dan sambal lado.

Apapun yang diminta, pasti diturutin sama orang tua. Kan anaknya banyak yang merantau, kata dia.

Tahun ini, ia mengaku pasrah tak bisa berkumpul dengan orang tua berencana memasak tempe untuk dirinya sendiri dan tidak keluar rumah. Paling tiduran di kamar, ujarnya.

Perasaan haru, sedih dan gundah bercampur menjadi satu karena jauh dari keluarga ini menambah kesedihan yang dialami Reni di masa wabah virus corona. Ia baru saja di-PHK dari sebuah sales rokok, tempatnya bekerja sebagai pegawai kontrak selama tiga tahun.

Ia berkata seharusnya tahun ini ia diangkat menjadi karyawan tetap. Namun sehari sebelum kontraknya habis, bagian HRD memberi tahunya bahwa perusahaan tidak akan memperpanjang kontraknya. Rasanya bagai disambar petir, kata Helni menceritakan.

Kini ia tanpa pendapatan, dan menyisakan pembayaran sewa rumah yang telah harus dibayar. Helni mengaku sudah mendaftar untuk kartu prakerja, tapi belum ada balasan. Satu hal yang paling ia sayangkan ialah tahun ini ia tidak bisa mengirimkan uang kepada keluarganya. Biasanya ia membelikan baju lebaran untuk orang tuanya, juga membagikan 'THR' kepada para keponakan.

Sekarang, lagi kondisi kayak gini, buat diri sendiri aja syukur-syukur cukup, kata dia. Malah, ia mungkin harus meminta bantuan ke kakak-kakak dan orang tuanya demi menyambung hidup.

Helni mengatakan ia merasa sedih dan marah sekaligus pasrah dengan situasinya. Mau marah, saya enggak bisa marah ke siapa. Mau menyalahkan, saya enggak bisa menyalahkan siapa-siapa.

'Saya harap virus corona cepat hilang di kota ini'

Bagi Irwan Silaen, 40 tahun lain lagi, pandemi virus corona adalah kejutan besar, sebutnya. Penghasilan Irwan anjlok dari berjualan buah-buahan ke kafe di sekitar kota Pekanbaru, menjadi nol rupiah.

Sebagai wirausahawan, bapak dua anak itu menganggap ini sebagai dinamika bisnis. Tapi ia menyayangkan bahwa pada Lebaran tahun ini ia tidak bisa berbagi rezeki.

Sudah menjadi kebiasaan bagi pria asal Medan itu di saat Lebaran, membagikan hadiah dalam bentuk uang atau makanan dengan kerabat dan handai tolan di sekitar tetangga.

class=wp-image-23687

Satu, memang [karena] transportasi yang sulit. Terus uang cuma cukup di kita, enggak bisa nyelengin, kata Irwan Silaen begitu ia disebut marganya dipanggil.

Kesempatan untuk berkumpul bersama keluarganya itu menjadi hal yang paling ia rindukan, serta suasana kampung halamannya [berastagi] yang sejuk karena terletak di kaki gunung.

Tak bisa mudik, tahun ini Irwan memilih untuk berbagi sedikit dengan mitra usaha dan sedikit tetangga di Sukajadi. Anak-anak yang masih sekolah itu, juga tidak bisa mudik, ia tampung dan ia ajak untuk makan-makan bersama. Di hari Lebaran, Irwan berharap virus corona bisa segera hilang dari Kota Madani dan kehidupan bisa kembali normal. Masyarakat di Kota Pekanbaru sehat, bisa merayakan Idul Fitri bareng-bareng. Dan pemerintah setempat bisa mengalokasikan dana bantuan pada yang berhak, ujarnya. (syamsul bahri)

Tags : -,