PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Wacana perdagangan bursa karbon dinilai akan menjadi angin segar dalam ekosistem green economy Indonesia, Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) menjelaskan apa itu yang sebenarnya perdagangan karbon.
"Perdagangan bursa karbon diperjualbelikan merupakan angin segar bagi pemilik hutan dalam ekosistem green economy."
"Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan [penyerap karbon, carbon sink], negara-negara industri [penghasil karbon, emitor], dan karbon [dalam senyawa CO2]," kata Ir. Ganda Mora M.Si, Pendiri Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] saat ditanya, Jumat (9/6).
Menurutnya, jual-beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya.
"Perdagangan ini akan sangat menguntungkan negara-negara maupun daerah-daerah yang masih memiliki hutan terutama hutan tropis seperti Indonesia."
"Perdagangan karbon setidaknya secara finansial akan menguntungkan kita. Ada tidaknya perdagangan karbon toh kita wajib menjaga dan melestarikan hutan yang ada," sebutnya.
Tetapi satu sisi Ganda Mora menilai perdaganan karbon kenyataannya kontradiktif dengan pelestarian hutan sebagai penghasil sumber 02.
Ia balik mempertanyakan seberapa besar emisi yang dihasilkan saat ini yang berasal dari industri, transportasi, kebakaran hutan dan lahan, degradasi lahan gambut, dll, "saya justru mengamatinya ini hanya sekedar wacana. Bahkan deforestasi hutan terutama di kawasan gambut sebagai penghasil C02 masih kelihatan didaerah-daerah," imbuhnya.
Bagaimana cara dengan pelestarian hutan tetapi justru ingin produksi C02 untuk bisnis ini?
"Nyatanya untuk di Riau [sebagi penghasil sumber 02] masih terjadi tingkat deforestasi hutan yang sangat tinggi seperti di TNTN Tesso Nilo itu," tanya dia.
"Sementara yang terjadi masih lemahnya pengawasan pada kawasan hutan lindung lainnya seperti bukit batabuh," ungkapnya.
Tetapi Ia kembali menjelaskan, di skim perdagangan ini masih terus menimbulkan silang pendapat dan perdebatan.
Secara ekologis dapat dijabarkan dengan gamblang bahwa melalui skim perdagangan ini sebaliknya memang relatif mampu menahan laju deforestasi hutan dan degradasi lingkungan, kata dia.
Dalam kaitan wacana perdagangan bursa karbon yang akan menggairah perekonomian Indonesia itu, perlu mendapat perhatian adalah siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa karbon ini.
Karakteristik objek yang akan diperdagangkan di bursa tersebut seperti diketahui, Indonesia saat ini ada 2 jenis bursa, yaitu bursa efek dan bursa komoditas yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda, dalam pengamatamnya.
“Terkait bursa karbon, bursa ini akan memiliki kemiripan karakteristik dengan bursa komoditas. Ini tentunya menjadi kesempatan bagi bursa komoditas untuk menjadi penyelenggara bursa karbon," sebutnya.
"Intinya adalah adanya kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha untuk menjadi penyelenggara bursa karbon," sambung Ganda.
Memang secara aturan UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat ijin usaha OJK. Namun tidak dijelaskan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa tersebut.
Hadirnya Bursa Karbon di Indonesia sendiri, menurutnya, bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual beli karbon.
Jadi menurutnya, memang pembentukan bursa karbon ini selaras dengan target pemerintah Indonesia yang telah menetapkan Nationally Determined Contribution [NDC] untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan eksternal di tahun 2030. (*)
Tags : sahabat alam rimba, aktivis salamba, aktivis jelaskan soal perdagangan bursa karbon, perdagangan bursa karbon dapat menguntungkan pemilik hutan, perdagangan bursa karbon, lingkungan,