PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Aktivis Sahabat Alam Rimba [Salamba] khawatir kini banyak cukong [pemilik modal] menanam dan membuka lahan kebun sawit pada kawasan hutan di Provinsi Riau.
"Seakan Pemerintah membela rencana pembukaan hutan dengan mengatakan bahwa itu hanya memengaruhi sebagian kecil tetapi penanaman kebun sawit pada kawasan hutan tetap saja menyalahi aturan," kata Ir Marganda Simamaora SH M.Si dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] dalam bincang-bincangnya itu belum lama ini.
Menurutnya, jika petugas lengah, suara buldoser dan gergaji mesin terdengar sayup-sayup didalam hutan. Mereka membuka lahan untuk dijadikan kebun sawit dengan luasan 100-2000 hektare.
"Kalau ditelusuri lebih kedalam, suaranya memecah kesunyian di tempat yang suatu saat merupakan hutan hujan luas."
"Sekarang banyak lahan menjadi gundul, menunggu ditanami bibit-bibit kelapa sawit. Bahkan ada pemilik kebun sawit di kawasan hutan sudah cukup lama, memanen [hasil] buah saban tahun," ungkap Ganda Mora [sapaan namanya] yang tidak ingin memberitahu siapa pemilik kebun sawit dikawasan hutan itu.
Aktivis lingkungan hidup ini merasa khawatir dengan sepertinya pemerintah di Riau hanya diam pada kawasan hutan masih terjadi penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
"Para pejabat di pemerintah pusat telah berusaha menekan ketakutan itu, dengan mengatakan bahwa rencana itu hanya mempengaruhi sebagian kecil pada kawasan hutan hutan yang ada."
Menurut Mas Achmad Santosa, deputi masalah hukum pada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan [UKP4] seraya berkata; "Ya, itu memang akan berkurang, namun tidak sebesar yang dilaporkan secara publik."
"Kami juga mendorong gubernur untuk melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Hal itu akan mempermudah gubernur mengambil keputusan: Di mana aktivitas ekonomi diletakkan, di mana tempat-tempat yang harus dikonservasi, dilindungi, semacam itulah," sebut Achmad.
Tetapi Ganda Mora balik mengkritisi, seharusnya pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan ia meminta pemerintah daerah untuk menegakkan hukum nasional.
Meski demikian, para aktivis lingkungan mengatakan kekhawatiran-kekhawatiran mereka bukan hanya seberapa banyak lahan hutan yang hilang. Namun mereka juga menunjukkan masalah-masalah yang sudah muncul dengan membuka hutan.
“Sebagian besar kawasan hutan yang ada di wilayah Riau, baik di hulu daerah aliran sungai sudah terusik. Jika kawasan hutan dibuka, akan tercipta kekeringan, kekurangan air dan banjir bandang," sebutnya.
Menurutnya, Sumatera telah kehilangan hampir separuh daerah hutan dalam 30 tahun terakhir.
Para pegiat konservasi mengatakan pembabatan hutan yang pesat juga mendorong perdagangan alam liar ilegal dan dapat menyebabkan beberapa spesies menghilang dari alam liar dalam dua dekade berikutnya.
Aktivis Salamba juga mengingatkan bahwa deforestasi mengorbankan pasokan air, berkontribusi pada terjadinya banjir dan dapat mengganggu komunitas yang bergantung pada hutan untuk mata pencahariannya.
Ia mencontohkan pada kawasan hutan Taman Nasional Teso Nilo [TNTN] Pelalawan, pada lokasi dari beberapa tempat sudah terjadi perubahan lahan menjadi kebun sawit paling pesat di provinsi itu.
“Ini merupakan daerah yang penting karena menangkap air," ujarnya.
"Daerah itu perlu dikonservasi karena pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir."
Dia menambahkan bahwa sekarang, hujan selama dua jam saja dapat menyebabkan banjir besar di desa.
Minggu lalu, dia dan anggota komunitas lainnya mengunjungi lokasi dan minta anggota legislatif lokal agar mereka mengatasi kerusakan tersebut. Sejauh ini, belum ada respon dari mereka.
Tetapi aktivis ini terus menyerukan kepada pemerintah seputar pembicaraan untuk mengurangi ketakutan akan deforestasi yang meluas.
Pj Gubernur Riau, SF Hariyanto menyadari tantangan yang dihadapi pemerintahannya.
Pada 2024, ia sudah menyerukan larangan pengeluaran izin pembukaan lahan hutan baru karena ada kekhawatiran terjadinya Karhutla.
Tetapi para aktivis mengatakan himbauan dan intruksi tersebut hanya melindungi sebagian kecil hutan hujan, dan aturan itu masih perlu diberlakukan dengan baik.
Jadi Ganda Mora melihat beberapa perusahaan yang melanggar aturan dan mengatakan pihaknya tetap mendorong pemerintah melakukan penegakan hukum yang lebih kuat.
“Kami harus menjamin tidak ada intervensi politik, intervensi uang dan intervensi kekuasaan dalam masalah ini," ujarnya.
Ganda Mora menilai situasi ini terutama akut [tanam kebun sawit] di Riau, karena status otonomi khusus membuat pemerintahan kurang memiliki kontrol terhadap penegakan aturan lingkungan, selain itu pengawasan pada wilayah lahan dengan keberagaman hayati masih menjadi penting dari segala sektor, tanpa badan pengelola lebih sulit mengetahui apa yang terjadi di hutan. (*)
Tags : sahabat alam rimba, aktivis salamba, khawatir kawasan hutan, warga tanam sawit di kawasan hutan, Lingkungan, Alam, Lingkungan, Alam, Riau,