JAKARTA - Keputusan pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat penolakan dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP karena rancangan itu disebut mengandung pasal-pasal bermasalah yang akan membuat sistem hukum pidana menjadi "kacau balau".
Selain isi yang bermasalah, pakar hukum tata negara menyebut, proses pembentukan dan pembahasan RKUHP juga cacat formil karena tidak melakukan partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, membantah tudingan bahwa proses pembahasan tidak mendengarkan aspirasi masyarakat.
Menurutnya, DPR telah menerima masukan dari masyarakat dan melakukan perubahan baik dalam bentuk penghapusan, reformulasi maupun penambahan pasal-pasal RKUHP.
Sebelumnya, pemerintah dan Komisi III DPR telah menyepakati isi dari RKUHP dan akan membawa rancangan itu ke rapat paripurna untuk disahkan sebelum 15 Desember mendatang.
Di kompleks parlemen, pada Kamis (24/11), Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mempersilakan masyarakat yang tidak setuju dengan RKUHP untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
‘Sistem yang akan kacau balau’
Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi bentang spanduk menolak pengesahan RKUHP yang rencananya akan disahkan sebelum masa reses ketiga DPR, atau sebelum 16 Desember mendatang, karena menyimpan banyak pasal-pasal bermasalah.
Dalam aksi di Bundaran HI, Jakarta, sejak Minggu 27 November 2022 itu, aliansi yang merupakan gabungan dari beberapa LSM itu juga melakukan sosialisasi dengan membagikan selebaran kepada warga yang melintas di area Car Free Day.
Anggota aliansi dari LBH Jakarta, Citra Referandum, mengaku para peserta mendapatkan tindakan represif dari aparat keamanan saat aksi berlangsung, seperti pengusiran dan perampasan spanduk.
"RKUHP belum disahkan saja untuk menyampaikan pendapat sudah dilarang, bahkan perangkat-perangkat kami dirampas, apalagi RKUHP disahkan, tidak hanya dilarang tapi mungkin dapat dipenjara,” kata Citra, Senin (27/11).
Citra mengatakan, RKUHP mengandung pasal-pasal antidemokrasi yang akan menyempitkan kebebasan publik dalam berekspresi dan berkumpul. Di sisi lain, memberi kewenangan besar kepada negara, melalui aparat penegak hukum, dalam menekan masyarakat.
Jika disahkan, kata Citra, akan membuat sistem hukum pidana semakin kacau balau.
“Pasal-pasal dalam RKUHP menunjukkan kita jauh lebih kolonial saat ini dibanding sebelumnya. RKUHP ini justru me-rekolonialisasi kembali karena hak-hak warga negara yang harusnya dilindungi negara malah dibatasi bahkan dicabut. Rancangan ini melegitimasi penggunaan kekuasaan sewenang-wenang dalam melakukan pembatasan atau pelanggaran HAM,” kata Citra.
Pasal-pasal bermasalah
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat setidaknya terdapat 11 pasal bermasalah dan berbahaya dalam RKUHP, yaitu:
Pasal terkait living law (hukum adat): tindakan kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah. Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab saat ini masih banyak terdapat peraturan daerah yang diskriminatif.
Pasal terkait pidana mati: legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara, ditambah lagi dalam beberapa kasus, pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi.
Pasal terkait perampasan aset untuk denda individu: hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa. Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras atau mencari uang dari rakyat.
Pasal penghinaan presiden: pasal ini adalah pasal anti-kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana.
Pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah: pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.
Pasal terkait contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan): pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas.
Pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan: aturan ini juga termasuk sebagai pasal anti-kritik karena masyarakat yang menuntut haknya justru bisa "dihadiahi" dengan penjara.
Pasal terkait edukasi kontrasepsi: pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang tua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi.
Pasal terkait kesusilaan: pasal terkait kesusilaan berbahaya apabila disahkan karena penyintas kekerasan seksual bisa mendapatkan kriminalisasi.
Pasal terkait tindak pidana agama: pasal ini mengekang kebebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RKUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik.
Pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme, dan bertentangan dengan Pancasila: aturan ini dapat mengekang kebebasan akademik dan akan mudah digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis.
Proses pengesahan RKUHP dinilai cacat formil
Selain mengandung pasal-pasal yang disebut bermasalah, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan proses pembentukan dan pembahasan RKUHP juga disebut cacat formil karena tidak menjalankan proses partisipasi yang bermakna, meaningful participation, dengan melibatkan masyarakat.
“Kalau dilihat dari konsep pembentukan UU, maka proses RKUHP ini sebenarnya cacat formil, cacat prosedural pembentukan. Salah satunya karena tidak menjalankan partisipasi lebih bermakna, ” kata Feri.
Feri merujuk pada putusan Mahkamah Nomor 91 tahun 2020 terkait UU Cipta Kerja, halaman 393, yang menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
“Ketiga hak ini sama sekali tidak terjadi. Saya sama sekali tidak mendengar penjelasan dari pemerintah dan DPR mengenai kenapa masih terdapat pasal-pasal yang bermasalah, yang membungkam hak, dan lebih cenderung pada upaya pemidanaan semata,” kata Feri.
“Ini menunjukkan bahwa pembentukan atau pemaksaan pengesahan RKUHP ini tujuannya sudah terang benerang, untuk menempatkan pasal-pasal yang membungkam kemerdekaan publik berpendapat,” ujar Feri.
Feri menambahkan, putusan MK itu juga menjelaskan, dalam tahapan pembentukan UU, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus dilakukan. Paling tidak, dalam tahapan pengajuan rancangan UU; pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD.
“Saya juga tidak melihat partisipasi bermakna itu dilakukan oleh pembentuk UU dalam RKUHP. Artinya yang didengarkan itu perdebatan antar anggota DPR dan pemerintah, itu yang mengalami perubahan-perubahan, sementara masukan publik tidak dibahas atau diikuti dalam bentuk perubahan,” kata Feri.
Wamenkumham: Silakan gugat ke MK
Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna untuk disahkan.
Di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis 24 Novemeber 2022, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej mempersilakan masyarakat yang tidak setuju dengan RKUHP untuk menguggat ke MK.
“Kalau ada warga masyarakat yang merasa hak konstitusional dilanggar pintu Mahkamah Konstitusi terbuka lebar-lebar untuk itu," kata Edward OS Hiariej seperti dilansir BBC News Indonesia.
Terkait pernyataan tersebut, Feri menyebut upaya uji formil ke MK berpotensi menjadi langkah sia-sia yang berujung pada penolakan karena langkah itu telah dikooptasi oleh pembentuk UU.
“Komposisi hakim MK juga sudah direkayasa oleh DPR dan pemerintah, maka membawa ini ke MK hanya merupakan taktik pengesahan UU saja. Jadi kita berada di tingkat keputusasaan yang luar biasa terkait dengan prosedur pembentukan UU yang kian hari kian bermasalah,” ujarnya.
Senada, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, MK telah ‘dijinakkan’ agar tidak membuat keputusan yang bertentangan dengan hasil kerja pemerintah dan DPR dalam membuat UU.
“Mulai dari pergantian hakim yang melanggar UU, hingga revisi UU MK yang [membuat MK] sudah sangat jinak,” katanya.
DPR: RKUHP, 10 kali lebih baik
Anggota Komisi III bidang hukum DPR, Habiburokhman, membantah jika proses pembahasan RKUHP disebut tergesa-gesa.
Dia mengatakan, proses pembahasan telah berlangsung puluhan tahun, sejak 1963, dan melewati banyak sosialisasi.
“Pertanyaan apakah mendengarkan aspirasi masyarakat? Kami pikir sudah seperti itu. Kenapa? sudah ratusan sosialisasi dilakukan, sudah banyak sekali masukan masyarakat yang diterima, baik dalam penghapusan pasal, reformulasi pasal, maupun penambahan pasal, jadi memang kita harus membuat keputusan,” katanya.
Habiburokhman menambahkan, daripada kembali ditunda, maka keputusan itu harus diambil salah satunya bertujuan untuk mengakhiri KUHP era kolonial.
“Jadi kalau mau dicari titik temu, tidak mungkin, tidak ada satu pun UU yang bisa memuaskan seluruh pihak, maka ini hasil ikhtiar kami bersama. Yang jelas, KUHP ini dipastikan 10 kali lipat lebih baik daripada KUHP yang berlaku saat ini,” katanya.
Sebelumnya, pada Kamis 25 November lalu, pemerintah dan Komisi III DPR telah menyepakati isi RKUHP dan akan membawa rancangan ini ke rapat paripurna untuk disahkan sebelum 15 Desember mendatang. (*)
Tags : Hak perempuan, Hukuman mati, Hak asasi, Politik, Hukum, Indonesia,