Sorotan   2022/11/11 18:11 WIB

Apa Pengaruhnya bagi Indonesia COP27?, 'Sementara Kerugian dan Kerusakannya Terus jadi Perdebatan'

Apa Pengaruhnya bagi Indonesia COP27?, 'Sementara Kerugian dan Kerusakannya Terus jadi Perdebatan'
Kehilangan hasil pertanian dan hewan ternak adalah salah satu bentuk kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. (Getty Image)

"Para pemimpin negara-negara akan berkumpul dalam acara Konferensi Anggota (Conference of Parties/COP) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke 27 di kawasan wisata Sharm el Sheikh, Mesir. Kerugian dan kerusakannya masih jadi perdebatan"

ua jargon yang bakal sering dilontarkan pada konferensi iklim tahun ini di Mesir kemungkinan besar adalah "kerugian dan kerusakan". Tapi apa sebenarnya artinya dan mengapa ia menimbulkan perdebatan?. Apa pengaruhnya bagi Indonesia COP27?

Negosiasi iklim sampai sekarang sebagian besar berfokus pada pertanyaan tentang bagaimana mengurangi gas rumah kaca, dan bagaimana mengatasi dampak perubahan iklim.

Pada konferensi tahun ini, persoalan ketiga dapat mendominasi — apakah negara-negara maju yang sangat terindustrialisasi, yang paling banyak menyebabkan masalah, harus membayar negara-negara yang paling mengalami dampak perubahan iklim.

Indonesia termasuk di antara negara-negara tersebut, dengan sebuah laporan yang diterbitkan Bank Dunia tahun lalu menempatkannya di peringkat tiga besar negara dalam hal risiko iklim.

Bencana seperti banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan kebakaran hutan semuanya menjadi lebih sering dan lebih intens akibat perubahan iklim, dan negara-negara yang paling terdampak sudah bertahun-tahun meminta bantuan keuangan untuk mengatasi konsekuensinya.

Inilah yang dimaksud dengan kata-kata "kerugian dan kerusakan" (loss and damage). Frasa ini mencakup kerugian ekonomi - hilangnya rumah, tanah, pertanian, bisnis - dan kerugian non-ekonomi, seperti kematian orang, hilangnya situs budaya, atau hilangnya keanekaragaman hayati.

Setelah negosiasi yang intens selama dua hari dua malam menjelang pembukaan COP27 pada 6 November, para delegasi sepakat untuk memasukkan subjek ini dalam agenda resmi.

Uang yang dituntut oleh negara-negara miskin ialah tambahan dari $100 miliar per tahun dalam pembiayaan iklim atau climate financing yang telah disepakati oleh negara-negara kaya untuk ditransfer ke negara-negara miskin untuk membantu mereka:

  • Memotong emisi gas rumah kaca - disebut sebagai "mitigasi" dalam konferensi iklim
  • Mengambil tindakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim - disebut sebagai "adaptasi"

"Banyak orang menderita kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh badai supercharged (badai yang menjadi semakin kuat karena mendapat energi dari air hangat), banjir, dan gletser yang mencair, dengan mereka yang berada di negara berkembang tidak punya banyak akses ke bantuan yang tepat waktu untuk membangun kembali dan memulihkan situasi sebelum bencana berikutnya melanda," kata Harjeet Singh, kepala strategi politik global di LSM, Climate Action Network International sepertidilansir BBC News Indonesia.

"Adalah komunitas yang paling sedikit berkontribusi untuk menyebabkan krisis, yang sekarang menjadi yang pertama merasakan dampak terburuknya."

Seberapa besar biaya yang diminta untuk membayar kerugian dan kerusakan?

Sebuah laporan yang baru dirilis oleh Loss and Damage Collaboration, kelompok yang terdiri dari lebih dari 100 peneliti dan pembuat kebijakan dari seluruh dunia, mengatakan bahwa 55 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim menderita kerugian ekonomi yang disebabkan oleh iklim sebesar lebih dari setengah triliun dolar antara tahun 2000 dan 2020.

Dan itu bisa meningkat setengah triliun lagi dalam dekade berikutnya.

Negara-negara miskin mengatakan perubahan iklim telah memperlambat perkembangan mereka.

"Setiap pertambahan tingkat pemanasan berarti lebih banyak dampak iklim, dengan kerugian akibat perubahan iklim di negara-negara berkembang diperkirakan antara $290 miliar dan $580 miliar pada tahun 2030," kata para penulis.

Indonesia berada di peringkat tiga besar negara dalam hal risiko iklim, dengan paparan tinggi pada semua jenis banjir dan panas ekstrem, menurut laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia mengatakan tahun lalu.

"Intensitas bahaya ini diperkirakan akan tumbuh seiring perubahan iklim," katanya.

"Misalnya, populasi yang terpapar banjir sungai ekstrem bisa bertambah 1,4 juta pada 2035-2044. Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut, dengan negara ini menempati peringkat kelima tertinggi di dunia dalam hal ukuran populasi yang mendiami zona pesisir dataran rendah."

Laporan lain oleh Pengurangan Risiko Bencana PBB pada tahun 2020 mengatakan dampak kekeringan dan tanah longsor juga diprediksi akan memburuk, di mana musim hujan yang tertunda dapat berkontribusi pada semakin parahnya kekeringan dan kebakaran hutan.

"Demikian pula, konsentrasi hujan yang luar biasa berat dapat meningkatkan risiko banjir, dan peningkatan suhu serta curah hujan musiman kemungkinan akan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi nyamuk yang menyebarkan malaria dan demam berdarah."

Dunia diminta ubah cara pandang soal perubahan iklim

Dunia telah melihat kenaikan suhu global rata-rata 1,1 derajat Celcius dibandingkan dengan periode pra-industri.

Negara-negara miskin dan kurang terindustrialisasi mengatakan dampak dari cuaca ekstrem yang diakibatkan kenaikan suhu global merusak kemajuan apa pun yang mereka buat dalam hal pembangunan ekonomi. Beberapa negara mengatakan mereka telah dibebani dengan utang, karena mereka perlu meminjam untuk membangun kembali apa yang telah hilang dan rusak.

Sudah berapa lama pembayaran kerugian dan kerusakan dibahas?

Tujuh tahun lalu, Perjanjian Paris yang inovatif mengakui pentingnya "mencegah, meminimalkan, dan mengatasi kerugian dan kerusakan yang terkait dengan dampak buruk perubahan iklim". Tetapi bagaimana cara melakukan ini belum pernah diputuskan.

"Kerugian dan kerusakan tetap menjadi topik yang cukup toksik selama bertahun-tahun dan kita telah melihat perdebatan yang sangat panas antara negara maju dan berkembang," kata Jochan Flasbarth, sekretaris negara di Kementerian Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Jerman.

"Ada kekhawatiran di kalangan negara maju bahwa hal itu bisa menjadi kewajiban hukum bagi para penghasil emisi besar. Ini selalu menjadi garis batas bagi sebagian besar negara maju."

Para juru runding di COP27 di Mesir mengatakan negara-negara kaya ingin menegaskan bahwa mereka tidak menerima tanggung jawab, atau kewajiban apa pun untuk membayar kompensasi atas kerugian dan kerusakan. Negara-negara berkembang sempat menentang itu, tapi sekarang sudah disepakati bahwa tanggung jawab dan kompensasi tidak akan dibahas.

Kesepakatan yang dicapai mengatakan pembayaran kerugian dan kerusakan akan dibahas di COP27 dengan tujuan menghasilkan keputusan sementara pada COP tahun depan di Abu Dhabi dan keputusan konklusif pada tahun 2024.

"Kami telah menuntut pendanaan yang rutin, dapat diprediksi, dan berkelanjutan untuk menangani krisis yang dihadapi satu atau negara berkembang lainnya hampir setiap hari, akhir-akhir ini," kata Alpha Oumar Kaloga, kepala negosiator iklim dengan Grup Afrika pada pertemuan iklim PBB.

"Kesepakatan ini merepresentasikan kemajuan tetapi kita perlu melihat bagaimana jalannya diskusi."

Singh dari Climate Action Network mengatakan kesepakatan tersebut adalah kompromi.

"Ini memang pengkhianatan kepercayaan, cara negara-negara kaya menyudutkan negara-negara berkembang, untuk menyetujui bahasa yang menjaga para pencemar aman agar dari kompensasi dan kewajiban, tanpa menawarkan komitmen dukungan yang konkret kepada orang-orang dan negara-negara yang rentan."

Poin apa yang dapat menjadi ketidaksepakatan terbesar tentang kerugian dan kerusakan?

Barangkali sulit bagi negara-negara untuk menyepakati organisasi mana yang akan menangani pembayaran kerugian dan kerusakan.

Bagaimana cara menyediakan uang untuk klaim kerugian dan kerusakan, adalah persoalan yang jadi perdebatan.

Negara-negara maju mengatakan ada mekanisme baik di dalam perlengkapan yang ditetapkan oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan di luarnya yang dapat mengambil tanggung jawab.

Negara-negara berkembang berpendapat bahwa tidak ada lembaga yang sesuai.

"Di mana lembaga-lembaga ini ketika, misalnya, Pakistan hancur oleh banjir baru-baru ini, atau bahkan ketika Nigeria juga hancur oleh banjir, atau bahkan ketika Badai Ian yang baru-baru ini melanda Karibia?" tanya Michai Robertson, negosiator keuangan iklim utama untuk Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (Aosis), sekelompok 39 negara pulau kecil yang bernegosiasi sebagai satu blok pada pertemuan iklim PBB.

"Mereka tidak menangani kerugian dan kerusakan."

Aosis dan Africa Group mendorong fasilitas keuangan baru yang terkait dengan sistem UNFCCC, tetapi yang cukup terpisah dari lembaga keuangan iklim yang ada.

Namun Flasbarth mengatakan gagasan tentang fasilitas yang berdiri sendiri ini mungkin tidak akan mendapatkan dukungan.
Apakah ada kemajuan menjelang COP27?

Selama COP26 tahun lalu, Skotlandia menjanjikan sedikit lebih dari $1 juta dalam pendanaan untuk kerugian dan kerusakan. Bulan lalu, Denmark mengumumkan akan menyumbang $13 juta.

Dan pekan lalu, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi yang meminta fokus pada pendanaan negara-negara berkembang serta memprioritaskan hibah daripada pinjaman, demi "menghindarkan, meminimalkan, dan mengatasi" kerugian dan kerusakan.

Selain itu, G7 dan V20, sekelompok 55 negara rentan, baru-baru ini sepakat untuk meluncurkan inisiatif yang disebut Global Shield against Climate Disasters. Inisiatif ini akan memberikan pembiayaan untuk kerugian dan kerusakan, sebagian melalui sistem asuransi.

Aosis mengatakan ini tidak mungkin sah karena V20 bahkan tidak punya jumlah anggota sampai setengahnya dari Aosis.

"G7 harus berbicara dengan kita semua," kata negosiator keuangan iklim utama kelompok itu, Michai Robertson, "dan bukan hanya negara-negara yang telah mereka pilih."

Apakah negara-negara miskin mampu menyerap lebih banyak dana pembiayaan iklim?

Di masa lalu, ada masalah baik dengan lembaga keuangan yang merilis pembiayaan iklim maupun negara-negara yang menerimanya.

Birokrasi lembaga pembiayaan internasional berarti butuh waktu lama sampai dana bisa tersedia. Dan di beberapa negara penerima, ada masalah tata kelola yang buruk serta korupsi.

Namun, negara-negara miskin tidak akan menganggap ini sebagai pembenaran untuk membebankan kerugian dan kerusakan hanya ke pihak mereka. (*)

Tags : COP27, Apa Pengaruhnya bagi Indonesia, Kerugian dan Kerusakan Perubahan Iklim, Perdebatan Perubahan iklim, Perubahan Lingkungan,