Internasional   2021/03/26 14:53 WIB

AS dan Inggris Perberat Sanksi Perusahaan Besar Myanmar

 AS dan Inggris Perberat Sanksi Perusahaan Besar Myanmar

INTERNASIONAL - Amerika Serikat dan Inggris kembali jatuhkan sanksi terkait kudeta militer Myanmar. Kali ini kepada dua perusahaan besar yang dituding membiayai junta militer.

Dua perusahaan itu, Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL), mengendalikan sebagian besar perekonomian Myanmar dengan mendirikan banyak usaha di lintas-sektor. Kementerian Keuangan AS memasukkan dua perusahaan itu ke dalam daftar hitam sekaligus membekukan aset-aset mereka di Negeri Paman Sam itu. Warga dan perusahaan AS juga dilarang berbisnis dengan mereka.

Inggris pun menjatuhkan sanksi serupa kepad MEHL. "Tindakan ini akan akan secara spesifik menargetkan pihak-pihak yang memimpin kudeta, yang memiliki kepentingan ekonomi dengan militer, dan yang membiayai kegiatan yang mendukung represi brutal militer Myanmar," kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken sambil menegaskan sanksi-sanksi ini tidak diarahkan kepada rakyat Myanmar.

Kalangan kelompok hak asasi manusia dan aktivis demokrasi sudah lama mendesak pemberlakukan saksi atas dua perusahaan besar itu karena mereka mendanai represi militer atas para pemrotes anti-kudeta. AS baru satu-satunya kekuatan besar yang sudah menjatuhkan sejumlah sanksi atas dua perusahaan itu. Namun para mitra dagang utama Myanmar di Asia menolak sanksi. Kalangan pengritik khawatir bahwa penjatuhan sanksi atas militer Myanmar sejauh ini belum cukup untuk mempengaruhi sikap mereka. "Daya tawarnya belum terlihat," kata Richard Horsey, pakar soal Myanmar dari International Crisis Group dirilis BBC.

Salah satu contoh yang menggambarkan kompleksitas penjatuhan sanksi adalah Golden City, proyek properti serba guna di Yangon yang dikenal membangun Pagoda Shwedagon. Kelompok aktivis Justice for Myanmar mengatakan bahwa proyek itu menjadi "sapi perah" yang menyalurkan jutaan dolar kepada departemen militer, "yang membeli senjata perang untuk digunakan ke rakyat Myanmar dalam melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan."

Perusahaan yang terdaftar di bursa saham Singapura, Emerging Towns and Cities (ETC) - yang memiliki 49% saham di proyek Golden City lewat sejumlah perusahaan lokal - menangguhkan perdagangan di bursa setelah Justice of Myanmar mempublikasikan tuduhan tersebut. Pihak bursa pun menuntut penjelasan perusahaan itu terkait proyek yang dimaksud.

Perusahaan tersebut mengakui para mitranya di Myanmar punya kaitan dengan militer dan membayar sewa ke Golden City melalui akun yang dikelola Direktorat Logistik Militer yang di bawah naungan Kementerian Pertahanan. Namun ETC membantah klaim dana-dana itu bisa saja telah digunakan untuk pelanggaran HAM, dengan menyatakan pihak direktorat logistik militer harus menyetor semua pendanaan kepada anggaran belanja pemerintah. Kepada Bursa Saham Singapura (SGX), ETC mengaku hubungannya dengan mitra di Myanmar hanya sebatas itu. "Perusahaan berhak mengasumsikan bahwa aplikasi dana yang dikelola oleh kementerian di pemerintah Myanmar sudah sesuai dengan ketentuan hukum di Myanmar, dan dengan demikian, tidak memberikan komentar tentang penggunaan sebenarnya dari pembayaran sewa yang wajib dilakukan," demikian pernyataan ETC dalam menanggapi pertanyaan dari SGX.

Perusahaan itu menangguhkan perdagangan di bursa awal Maret lalu sambil mengupayakan adanya tinjauan "independen" untuk mengklarifikasi kesepakatannya di Myanmar kepada para investor. Namun pihak ETC menolak permintaan untuk diwawancara. Begitu pula Kedutaan Besar Myanmar di Singapura yang tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar. Masalah terkait proyek Golden City itu mencerminkan terbelahnya sikap internasional atas kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari lalu.

Para aktivis bisa saja bikin pusing pihak ETC, namun perusahaan itu tidak bisa dianggap melanggar sanksi karena Singapura tidak menerapkan langkah demikian.
Baik kalangan pengritik maupun pendukung sanksi sepakat bahwa hingga kini, hukuman tersebut - yang hanya mengincar pimpinan elit junta militer Myanmar - masih tergolong lemah. "Militer Myanmar tidak akan terempas ke lantai, menangis sambil berkata, 'Ya ampun, saya tidak dapat visa ke AS, habislah saya.' Mereka justru akan tertawa," kata Kishore Mahbubani, mantan diplomat Singapura yang kini menjadi pengamat di Asia Research Institute di National University of Singapore.

Apalagi, ditilik dari yang sudah-sudah, penjatuhan sanksi tidak selalu efektif. Peneliti dari Peterson Institute for International Economics (PIIE) mengkaji 200 kasus penjatuhan sanksi dan ternyata hanya sepertiga di antaranya yang berjalan tuntas maupun sukses sebagian. Bahkan riset lain yang menggunakan data yang sama menunjukkan sanksi-sanksi itu hanya 5% yang dampaknya sesuai harapan, sambil menyatakan bahwa hasil riset dar PIIE itu terlalu lunak dalam menentukan keberhasilan sanksi.

Sementara itu, rekam jejak perusahaan-perusahaan tersebut di Myanmar - yang tidak termasuk dalam riset PIIE - masih diperdebatkan. Ada yang menyatakan bahwa mereka punya peran kunci dalam memaksa rezim militer untuk membebaskan Aung San Suu Kyi sekaligus membuka kembali negara itu satu dekade lalu. Ada pula yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan itu sebenarnya tidak punya peran signifikan namun menjadi penting saat pihak militer yang berkuasa saat itu berubah sikap.

Gary Hufbauer, yang memimpin riset PIIE, menyatakan bahwa penjatuhan sanksi cenderung lebih sukses diterapkan atas negara-negara miskin seperti Myanmar. Namun bisa jadi lebih sukses bila tujuan penjatuhan sanksi jadi lebih sederhana, dan negara sasaran tidak otokratis, dan tidak didukung oleh "kekuatan luar" yang mempengaruhi denyut nadi perekonomian negara yang bersangkutan.

Penjatuhan sanksi atas Myanmar di masa lalu mendatangkan dampak kemanusiaan. Contohnya, saat Departemen Luar Negeri AS memperkirakan bahwa larangan atas impor tekstil dari Myanmar pada 2003 mempengaruhi hingga 60.000 tenaga kerja di sana (meski tekanan sanksi diperlemah oleh masih adanya pesanan dari Uni Eropa).  Horsey khawatir bahwa rakyat biasa, bukan pemerintah, yang justru lagi-lagi bakal menderita, terutama bila sanksi-sanksi itu berlanjut pada upaya membangkrutkan negara.

Namun, kalangan aktivis HAM menyatakan bahwa penjatuhan sanksi baru-baru ini targetnya lebih jelas ketimbang di masa lalu. Mereka juga mengingatkan bahwa para aktivis demokrasi di Myanmar pun sudah memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait militer. Bila penjatuhan sanksi bertujuan hanya untuk melemahkan junta militer, dan tidak sampai menghancurkan ekonomi, pertanyaannya adalah apakah bisnis asing masih bisa beroperasi di Myanmar tanpa melibatkan dua perusahaan besar setempat?

Htwe Htwe Thein, pengamat bisnis internasional dari Curtin University di Perth mengatakan banyak perusahaan produk konsumen kemungkinan besar tetap bisa beroperasi. Tapi hal yang sama tidak berlaku bagi perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya di Myanmar. "Kepemilikan militer merajalela di sana, ada di mana-mana di sektor sumber daya," katanya. 

Namun bila sanksi itu memaksa perusahaan-perusahaan minyak dan gas dari negara-negara Barat untuk mundur dari Myanmar, Horsey memperkirakan bisa saja pebisnis dari China atau Thailand yang menggantikan mereka. "Bila perusahaan seperti Woodside dan Total dipaksa untuk divestasi, mereka bakal menjual aset-aset dengan cukup murah, dan sudah jelas siapa yang bakal membelinya," kata Horsey.

China dan Thailand menyumbang lebih dari setengah volume perdagangan di Myanmar, sedangkan Singapura merupakan investor asing terbesar di negara itu. Dalam lima tahun terakhir berhasil mendatangkan US$11 miliar, ungkap data pemerintah Myanmar. Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN), di satu sisi, sudah menyerukan adanya solusi damai atas krisis di Myanmar, namun mereka menolak menjatuhkan sanksi.

Mahbubani berpendapat bahwa diplomasi di balik layar bisa lebih efektif. "Itu adalah cara Asia Tenggara dalam menghindari konfrontasi. Sejujurnya, harus diakui cara itulah yang membuat Asia Tenggara tetap damai selama 30, 40 tahun terakhir, yaitu mencari solusi diplomatik, saling bicara satu sama lain sambil mengubah persepsi orang," katanya. 

Sedangkan Phil Robertson dari Human Rights Watch skeptis dengan cara ASEAN mengatasi masalah Myanmar, yang merupakan salah satu anggotanya itu. "Bila diserahkan ke ASEAN, tidak akan terjadi apa-apa," katanya.

"Bahwa gagasan mereka akan menjadi bagian dari solusi agak menggelikan". Mahbubani melihatnya dari sudut pandang berbeda. Menurut dia, pendekatan ala Barat yang kritis dan blak-blakan selama ini dalam krisis pengungsi Rohingya, lalu terang-terangan mengecam Aung San Suu Kyi atas keengganannya untuk bertindak bisa jadi membuat militer merasa bahwa mereka (negara Barat) sudah menentangnya sehingga dia tidak punya sekutu lagi. Dia pun menilai kecil kemungkinan penjatuhan sejumlah sanksi selama ini akan menundukkan sikap militer. "Mereka itu sangat keras kepala. Makin ditekan secara terbuka, makin keras pula sikap mereka," katanya. (*)

Tags : AS dan Inggris, Eropa Perberat Sanksi Perusahaan Besar Myanmar, Kudeta Myanmar,