AGAMA - Memasuki awal Ramadan, sikap tidak peduli pengelola masjid atas keluhan warga yang terganggu penggunaan "terlalu berlebihan" pengeras suara (speaker), kembali dipersoalkan. Peraturan yang "terlalu longgar" dianggap sebagai biangnya.
Apa jalan ideal guna menyelesaikan masalah yang dianggap sensitif ini?
Kritik terhadap sebagian pengelola masjid yang tidak memedulikan pedoman tentang pengelolaan penggunaan alat pengeras suara, muncul lagi di awal Ramadan ini.
Keluhan warga yang merasa terganggu atas suara speaker masjid "yang berlebihan" itu tak hanya disuarakan umat di luar Islam, tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri.
Ini disadari oleh Kementerian Agama yang kemudian melahirkan semacam imbauan yang mengatur tentang hal itu, belakangan.
Imbauan seperti ini diakui bukanlah pedoman baru, karena sudah ada peraturan serupa yang dibuat sekian tahun silam.
Dan faktanya, tidak semua masjid di Indonesia "mematuhi" peraturan tersebut, walau mendapat dukungan dari sebagian pimpinan masjid-masjid lainnya.
Sampai sekarang, ada sebagian masjid yang tetap menggunakan alat pengeras suara "secara berlebihan".
Ada anggapan imbauan itu tidak digubris, karena tidak ada sanksi tegas kepada pengelola masjid yang bandel.
Namun di sisi lain muncul pula penilaian bahwa upaya penyelesaian atas persoalan seperti ini tidak bisa hanya diserahkan kepada negara.
Sebuah lembaga yang peduli terhadap isu toleransi, SETARA Institute mengatakan, dibutuhkan peran kongkret para pemuka agama untuk melakukan peran persuasif demi mewujudkan nilai-nilai toleransi dalam aktivitas peribadatan di masyarakat yang majemuk.
“Saya cenderung lebih mendorong kesadaran dari masing-masing tokoh agama. Kecuali ini sudah sangat menganggu dan derajatnya sudah sangat tinggi, barulah regulasi itu penting,” kata Direktur Riset SETARA Institute Halili pada media, Selasa (12/03).
Beberapa masjid memang tidak mengikuti Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang tertera pada Surat Edaran No. 5 Tahun 2022.
Namun, ada pula yang mematuhinya, bahkan sebelum Surat Edaran terbit.
Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan turunan dari instruksi dirjen yang sudah ada sejak 1978.
Ia mengatakan Surat Edaran hanya berupa anjuran dan memang tidak mengandung sanksi.
“Surat Edaran itu bukan norma hukum. Artinya memang dia tidak mengatur soal sanksi. Surat Edaran ini mengikat secara internal dan dipatuhi oleh seluruh warga Kemenag di seluruh Indonesia,” ujar Anna.
Salah satu poin edaran tersebut mengatur agar penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Selain itu, pedoman pengeras suara juga mengatur meminta agar volume pengeras suara disesuaikan agar tidak melebihi 100 desibel (db).
Seperti warga yang tinggal di Beji, Depok, Dian Amalia, mengaku mendengar suara toa masjid paling tidak lima kali sehari. Ia mengatakan suaranya bertambah keras sejak memasuki masa Ramadan.
“Sebenarnya kalau suara keras tidak apa-apa, tapi jangan lama dan berulang kali. Dan digunakan memang seperlunya saja,” ujar Dian yang mengaku bisa mendengar suara masjid sampai berjam-jam dari kosnya.
Dian, yang memeluk agama Islam, mengambil contoh ketika dia mendengar suara orang mengaji di sebuah masjid, melalui pengeras suara. Dian berujar bahwa sebaiknya aktivitas itu dilakukan tanpa pengeras suara luar. Alasannya hal itu dapat menganggu ketenangannya.
“Kalau sudah cukup, sudah. Jangan sampai sejam tadarus-nya, atau membangunkan orang lain untuk sahur, karena orang juga beda-beda jam sahurnya,” sambungnya.
Senada dengan Dian, Sari, bukan nama sebenarnya, mengaku beberapa kali terbangun akibat suara-suara dari alat pengeras suara luar dari sebuah masjid di dekat rumahnya. Ini biasanya terjadi di pagi hari. Dia lalu bercerita, suara-suara itu kadang-kadang membuatnya "tidak fokus" ketika ibadah gereja online dari rumahnya.
“Sejujurnya sering merasa terganggu, terutama saat suaranya tidak tentu. Jam berapa pun bisa kencang suaranya, apalagi saat hari Minggu.
“Itu yang menurutku perlu dipertimbangkan, kita sebagai orang Kristiani seharusnya bisa beribadah, itu juga terinterupsi oleh suara dari masjid,” ungkapnya.
Meski begitu, ia memahami keperluan warga sekitar yang beragama Islam akan suara masjid yang menandakan waktu menjalankan ibadah atau berbuka puasa.
Namun, ia berharap ke depannya mereka juga memikirkan warga non-muslim yang tinggal berdampingan di daerah tersebut.
Pengurus Masjid Jami Al Ma'mur, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ghozi Abudan, mengatakan bahwa selama ratusan tahun, masjid Al Ma’mur sudah menggunakan pengeras suara dalam dan luar saat melakukan tarawih.
“Masjid ini sudah lama, warga sekitar juga banyak yang non-muslim. Tidak pernah ada apa-apa. Sudah ratusan tahun masjid ini berdiri dan selama ini enggak ada keluhan,” kata Ghozi.
Ia menjelaskan bahwa masjid perlu menggunakan pengeras suara luar untuk menandakan pada warga sekitar bahwa sudah waktunya tarawih.
Walaupun sudah ada pedomanyang mengatur tentang hal itu, Ghozi tidak merasa bahwa Surat Edaran dari Kemenag berlaku bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan suara masjid.
“Surat Edaran sudah lama itu dan enggak dipakai oleh masyarakat. Karena mereka tidak merasakan bagaimana [keinginannya] masyarakat, apalagi di daerah yang jauh-jauh. Bagaimana masjid bisa terdengar?” ujar Ghozi.
Sementara, salah seorang pengurus Masjid Agung Jami di Malang, Jawa Timur, Zaenal Fanani, mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menggunakan pengeras suara luar, baik untuk tarawih maupun tadarus.
Bahkan, katanya, mereka sudah menggunakan pengeras suara dalam jauh sebelum Kemenag mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 tahun 2022.
“Sudah dari dulu, kebijakan para kyai-kyai terdahulu, karena kebetulan di kota besar di sini dan juga, orangnya majemuk. Dan kita kebetulan sampingnya juga ada gereja,” ujar Zaenal.
Ia mengatakan bahwa sampai sekarang, pimpinan masjid meneruskan kebijakan itu dan menggunakan alat pengeras suara (speaker) untuk dikonsumsi orang-orang di dalam masjid semata. Bahkan untuk aktivitas tadarus, mereka cuma menyiarkannya ke saluran radio dan disiarkan paling lambat sampai 21.30 WIB.
“Jadi enggak didengar orang di mana-mana. Orang di sekitar masjid juga tidak dengar,“ katanya.
Meski begitu, ia merasa bahwa kebijakan menggunakan pengeras suara dalam atau luar, tergantung pada pengurus masjid masing-masing.
Bagaimana peraturan tentang penggunaan pengeras suara masjid saat Ramadhan?
Dalam Surat Edaran Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, peraturan itu diperlukan untuk mencegah timbulnya “potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat.”
Dalam bagian Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara, pengurus masjid diminta untuk memisahkan antara pengeras suara untuk luar masjid dan yang digunakan di dalam masjid.
Kemudian, volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh melebihi 100 desibel (db).
Selama bulan Ramadan, pelaksanaan salat tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarus Al-Qur’an dilakukan dengan pengeras suara dalam.
Sementara, untuk takbir pada tanggal 1 Syawal atau 10 Zulhijjah dan pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha, masjid dapat menggunakan pengeras suara luar.
Kemudian, takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai 13 Zulhijjah setelah salat Rawatib, dapat menggunakan pengeras suara dalam.
“Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang,” demikian bunyi surat tersebut.
Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan bahwa secara hukum, Surat Edaran bukanlah sebuah regulasi. Sehingga, tidak ada sanksi yang tertera di dalamnya ataupun jaminan bahwa masjid harus mengikuti pedoman tersebut.
“Berbeda kalau itu dituangkan dalam bentuk peraturan menteri atau ketetapan menteri. Sehingga bentuk regulasi itu hanya anjuran,” kata Halili.
Meski begitu, ia mengatakan tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan kelonggaran regulasi tersebut, daerah-daerah yang padat penduduk yang tidak semua beragama islam, dapat merasa terganggu dengan suara masjid yang tidak sesuai pedoman.
Oleh karena itu, menurut Halili, diperlukan pendekatan yang berbasis kepemimpinan masyarakat alias social leadership untuk memastikan pengurus masjid dan masyarakat sekitar bisa saling memahami situasi dan menyesuaikan diri.
“Tidak perlu pihak eksternal melakukan pembatasan. Yang dibutuhkan adalah toleransi, itu sebenarnya sering kita sebut sebagai pengorbanan. Kita mesti mau berkorban untuk yang lain,” ujar Halili.
Apa sanksi terhadap masjid yang tidak taat?
Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menjelaskan bahwa Surat Edaran dalam sistem pemerintahan memang tidak memiliki keterikatan hukum, sehingga tidak ada sanksi yang diterapkan jika pedoman dalam Surat Edaran itu dilanggar.
“Karena kami kementerian, bukan penegak hukum. Kalau itu masing-masing ada fungsinya, ada aparat penegak hukum, kalau sanksi dan undang-undang ada di legislatif,” kata Anna.
Meski begitu, ia sebut Surat Edaran tersebut dibuat dengan alasan agar menjadi pedoman bagi penyuluh atau pembimbing masyarakat dalam mensosialisasikan tata cara tersebut kepada pengurus masjid.
”Surat edaran itu ada untuk mengingatkan bahwa ada pedoman itu, sehingga ketika mereka bersosialisasi dengan binaan mereka, mereka bisa menyampaikan hal ini,” ujarnya.
Anna menyatakan bahwa masjid atau musala biasanya dikelola oleh warga setempat untuk warga setempat. Sehingga, pendekatan yang bisa dilakukan adalah lewat para pembina masyarakat, dalam bentuk dialog.
”Dan perilaku sosial itu memang tidak bisa berubah langsung seketika. Kalau mau berubah langsung memang dengan sanksi hukum, tapi kalau perubahan sosial itu, dilakukan secara bertahap,” ungkap Anna.
Bagaimana tanggapan dari Dewan Masjid Indonesia?
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruqutni, mengatakan bahwa DMI tidak memandang imbauan menteri sebagai "pembatasan dakwah" lewat pengaturan pengeras suara masjid.
“Jadi memang ada efek, dalam arti pengurangan intensitasnya, karena jumlah masjid semakin banyak,” kata Imam.
Ia mengatakan terkadang jarak antar-masjid yang berdekatan juga membuat suara berbenturan.
Sehingga, Imam merasa pengaturan penggunaan pengeras suara diperlukan untuk menjaga “harmoni sosial dan kehidupan masyarakat”.
Meski begitu, ia menyadari bahwa tidak semua masjid mematuhi pedoman tersebut. Tetapi ia juga berharap akan ada "perkembangan proses budaya" yang dapat membuat masyarakat mampu menilai sendiri pentingnya menjaga kehidupan harmonis, khususnya di perkotaan.
“Kami tidak mengecam yang menggunakan [pengeras suara] atau tidak mematuhi, tapi mudah-mudahan mereka tidak menanggapinya sebagai- bahwa imbauan menteri itu dimaksudkan sebagai membatasi syiar-syiar agama islam,” ungkap Imam. (*)
Tags : Islam, Muslim, Indonesia, Seni budaya, Agama, Aturan Pengeras Suara Masjid, Imbauan Kemenag,