SENI BUDAYA - Batik tulis merupakan simbol hubungan erat Tionghoa-Jawa dimana tradisi itu bagaikan tinggal nafas terakhir dan diambang kepunahan.
Pemilik salah satu batik tulis halus peranakan tertua di Pekalongan, Jawa Tengah, yang terkenal karena pembuatnya "perfeksionis" memperkirakan produknya tak bisa dipertahankan lagi alias akan punah dalam waktu dekat. Bagi para kolektor, batik tulis halus bukan hanya selembar kain, tapi simbol hubungan erat warga Tionghoa dan Jawa.
Tak ada papan nama Oey Soe Tjoen, usaha batik berusia hampir 100 tahun, di Jalan Kedungwuni, yang terletak sekitar tiga puluh menit jika berkendara dengan mobil dari alun-alun Pekalongan.
Yang ada hanya papan kecil putih dengan tulisan Traditional 'Batik Art', sehingga pengunjung dari luar kota mungkin harus tersesat beberapa kali sebelum menemukan tempat itu.
Kustinah adalah cucu dari pembatik yang sebelumnya juga bekerja pada Oey Soe Tjoen.
Meski dari luar tampak seperti hunian lainnya, rumah di balik terali cokelat khas Tionghoa itu adalah saksi bisu terbentuknya batik Oey, satu dari hanya dua usaha batik tulis halus peranakan yang masih bertahan di Pekalongan.
Di kalangan para kolektor, batik itu dikenal sebagai yang paling halus dan paling peduli pada detil, maka bisa dijual dengan harga hingga puluhan bahkan ratusan juta Rupiah.
Namun bagi Widianti Wijaya, generasi ketiga, atau mungkin yang terakhir, usaha itu tinggal menunggu "napas terakhir".
Widianti bercerita bagaimana mereka bertahan dengan bisnis itu selama 20 tahun dengan sosok para pembatik yang dia sebut menjadi "seniornya", karena mengajarinya memahami proses pembuatan batik dari nol.
Satu kain, tiga tahun
Jari-jari Widia tampak berwarna biru, seperti pewarna kain yang tengah dipakainya. Ia berdiri memegang satu sisi kain, sementara Kunirah, seorang pembatik yang berusia 53, memegang sisi yang lain, di tempat penjemuran batik di belakang rumahnya.
Kicauan burung-burung juga gonggongan anjing, mengiringi proses penjemuran itu, yang dilakukan sekitar pukul 10.00 pagi, saat matahari bersinar terang, tapi tak cukup terik untuk merusak kain.
Setiap beberapa menit, mereka dengan telaten membalik kain itu agar tiap sisi mendapat sinar mentari.
Tak lama, kain dengan gambar burung, kupu-kupu, dan bunga khas Oey Soe Tjun berubah warna. Dari yang tadinya kecokelatan, menjadi biru di pinggir-pinggirnya.
Selanjutnya, kain itu dibawa masuk ke dalam tempat pemrosesan batik, sebuah bangunan kecil dengan atap seng beralas bambu.
Tungku menyala berisi air membuat hawa di sana gerah, tapi tampaknya tak mengganggu Widia dan Kunirah, yang selanjutnya sibuk menyuci batik itu dengan air sabun untuk menghilangkan asam dari kain.
Setelah itu, pekerjaan dilanjutkan dengan pelorotan atau meluruhkan wax (lilin yang digunakan untuk menutup beberapa bagian kain) dengan air yang direbus dalam tungku.
Dalam proses itu, tangan Widia mengaduk-aduk kain dengan sebuah tongkat. Asap membumbung tinggi, menguras keringatnya.
Itu adalah bagian dari proses panjang pembuatan batik Oey. Selain dikerjakan ekstra hati-hati, cuaca dan kondisi pembatik juga berperan.
Saat musim panen, pembatik biasanya turun ke sawah. "Kalau mereka turun ke sawah, biasanya saya larang untuk pegang batik karena panas matahari siang akan mempengaruhi fungsi mata mereka. Itu terlihat pada hasilnya," kata Widianti seperti dirilis BBC Indonesia.
Hal-hal itu membuatnya membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk membuat sebuah kain, kalau semua sesuai rencana. Jika tidak, ia rela menghabiskan 10 tahun untuk terus menyempurnakann kainnya.
Apa yang dilakukan Widia, yakni meneruskan usaha yang dibangun kakeknya, lalu ayahnya, tak semata untuk mencari uang.
Meski satu kain bisa dihargai mahal, proses pembuatannya yang bertahun-tahun, membuat "perputaran uangnya susah untuk kehidupan dapur", kata Widia.
Batik memang tak jadi penghasilan utama karena Widia dan suaminya mengandalkan toko sembakonya untuk itu.
Widia bercerita, awalnya dia tak mau meneruskan usaha itu. Namun, beban meneruskan nama batik Oey Soe Tjoen, tiba-tiba jatuh ke pundaknya, dua puluh tahun silam.
Bagi keluarga Tionghoa, meneruskan usaha keluarga bukan hal yang aneh, tapi bagi Widia hal itu tetap terasa berat.
Saat itu, di usianya yang ke-26, rencananya adalah mengejar gelar magister manajemen, bukan menjadi penerus usaha keluarga.
Saat usianya SMA, Widia pernah melontarkan ketidaksukaannya pada batik keluarganya yang berdiri sejak 1925 dan sejak itu laris di kalangan para kolektor.
"Saya pernah bertanya, bagusnya tuh apa sampai orang mati-matian pingin punya batik OST (Oey Soe Tjoen)? Padahal kalau saya pribadi, nggak suka."
Namun, 'utang keluarga', yakni beberapa pesanan batik yang belum selesai harus ditunaikan.
Demi apa yang disebutnya "balas budi pada orangtua", ia memilih pasrah pada takdir yang menuntunnya menjadi penerus batik Oey.
"Saya punya komitmen, jangan sampai kebesaran Oey Soe Tjoen itu hancur di tangan saya. Jadi, saya berusaha, sekeras apa pun, saya tidak menghancurkan apa yang dimulai oleh papa atau kakek," kata Widia.
Namun, komitmen Widia bisa jadi tinggal komitmen karena ia tak paham proses pembuatan batik. Sepuluh warisan resep pewarnaan batik tinggalan ayahnya, misalnya, membuatnya bingung.
Tanpa tuntunan dari para pembatik, usaha Widia mungkin tak berlanjut sampai saat ini. Para pembatik kebanyakan perempuan-perempuan Jawa yang piawai melukis di kain dengan canting.
"Saya bilang pada mereka [para pembatik], 'tolong bekerja, anggap papa itu ada'. Dari situ saya melihat bagaimana mereka bekerja. Jadi, saya menganggap bahwa saya itu karyawan, pembatik adalah senior. Saya yang belajar dengan mereka sebagai bawahan," ujar Widia.
Dengan berkali-kali trial and error, ia mencoba membuat kain Oey hingga dirasanya "sempurna", hingga saat ini. Sama seperti usaha batik peranakan lainnya, tanpa keberadaan pembatik, usaha batik tak akan pernah lestari.
Rektor Universitas Ciputra, Surabaya, dan seorang peneliti batik, Yohannes Somawiharja, mengatakan batik tulis halus bukan hanya selembar kain, tapi lambang kerja sama yang erat antara warga Tionghoa dan penduduk Jawa.
"Batik tulis halus adalah gabungan antara keterampilan tangan yang sangat tinggi oleh para pengrajin batik, yang umumnya para perempuan Jawa yang sudah berpengalaman belasan bahkan puluhan tahun.
"Juga, disiplin pengorganisasian kerja yang luar biasa dalam mendesain pola, menjalankan usaha, dan penjualan. Zaman dulu, ini dilakukan oleh para keturunan Tionghoa sebagai pemilik perusahaan batiknya," kata Yohannes.
Ia mengutip berbagai literatur yang menjelaskan bahwa keterlibatan Tionghoa pada bisnis batik dimulai pada awal abad-19, dengan berperan sebagai penjual kain keliling.
Kemudian pada sekitar tahun 1870, orang-orang Tionghoa ini mulai menjadi produsen batik. Dimulai dari pembuatan pola-pola Jawa, mereka lalu membuat pola kombinasi Belanda-Tionghoa, lalu kombinasi Tionghoa-Jawa.
Saat itu, kebanyakan pengusaha batik adalah keturunan Tionghoa, sementara pembatik adalah mereka yang asli Jawa. "Nampaknya ini adalah sebuah sinergi partnership (kemitraan) yang berhasil, memadukan kelebihan-kelebihan kedua belah pihak. Hasilnya adalah sebuah produk seni fesyen yang luar biasa indah," ujar Yohannes.
Keberadaan para pembatik juga lah yang membuat nama batik Oey melegenda. Kebanyakan dari mereka bekerja turun temurun.
Kustinah, 49, misalnya adalah pembatik generasi kedua di batik Oey, yang sudah belajar membatik dari usia 17 tahun. Sebelumnya, neneknya adalah pembatik di tempat yang sama.
"Saat nenek saya berangkat kerja, saya ikut karena ingin belajar. Setelah itu, saya belajar sendiri, mengembangkan diri sendiri," ujar Kustinah dalam bahasa Jawa.
Kustinah adalah sosok di balik indahnya bunga dan motif 'semarangan' yang terlihat dalam batik-batik Oey. Canting yang digunakan adalah yang terkecil atau canting "nol".
Seorang pembatik bisa mengabiskan waktu yang panjang untuk memberi sebuah bentuk titik sempurna pada sehelai kain. Pembatik yang bagus membuat titik, tidak bertugas menggambar bunga atau daun, dan sebaliknya.
Maka itu, tak semua orang bisa membuat batik seperti itu, ujar Kustinah. "Harus sabar, kalau tidak sabar, tidak bisa," ujarnya.
Bagi pembatik Oey pun, hubungan yang terjalin sudah melampaui karyawan dan atasan. "Sudah seperti keluarga saya sendiri," kata Marliah, 56, seorang pembatik.
Meski tuntutan standar sangat tinggi, Marliah mengatakan ia selalu dibebaskan mengatur waktunya sendiri dalam menyelesaikan tugas. "Kalau saya capek ya berhenti. Kalau saya nggak capai membatik terus," ujarnya.
Kerja sama itu pun tergambar dalam motif-motif batik peranakan. Dalam hal batik Oey, ada kain yang disebut "Pagi Sore", yakni satu kain yang memiliki dua motif. Salah satunya motif Jawa, yakni cuwiri merak hati, yang berpadu dengan motif bunga mawar dan warna-warna peranakan.
Pembatik yang ahli membuat titik, tidak bekerja membuat gambar bunga atau daun. Batik Oey menerapkan spesialisasi dalam bekerja.
Perfeksionis demi batik 'sempurna'
Widia tidak bisa menjawab berapa modalnya membuat satu batik karena dia "tak menghitungnya".
"Untuk menjaga kualitas, kami tidak menghitung biaya. Contohnya pada saat pewarnaan dengan lima gram [obat pewarna], kami menghasilkan warna merah. Namun, ternyata merahnya bukan seperti yang saya kehendaki. Maka saya akan membuang obat pertama itu dan menggantikan dengan obat yang kedua. Itu kan mengeluarkan biaya lagi. Tapi, saya nggak menghitungnya," ujar Widia.
Lima tahun lalu, misalnya, setelah membuat sebuah kain batik pesanan selama tiga tahun, ia tak puas dengan hasilnya. "Anak saya malah mengiranya saya kenapa-kenapa. Saya sudah memberikan janji ke pelanggan yang mau memakai kain itu bulan depannya. Ternyata hasilnya di luar harapan dan itu karena kebodohan saya," ujar Widia.
Ia memutuskan untuk mengubah warna kain itu. Pesanan pun dibatalkan dan ia tak meminta pelanggan mengganti ongkos kerjanya. Dalam satu waktu, ia bahkan pernah menghabiskan hingga sepuluh tahun untuk satu kain karena ia terus menyempurnakan karyanya.
Yohannes Somawiharja mengatakan memang ada banyak batik peranakan di Indonesia, tapi batik Oey punya tempat spesial di kalangan pecinta batik.
"Orang-orang pencinta batik peranakan tulis halus mengakui batik ini paling halus. Ini disebabkan mereka sangat perfeksionis dan disiplin dalam menjaga kualitas."
Sebelumnya, dalam bukunya Batik: Fabled Cloth of Java, jurnalis foto dan desainer Amerika, Inger McCabe Elliott menyebut batik Oey Soe Tjoen sebagai batik terbaik di Jawa.
Diambang kepunahan
Meski demikian, sudah lima tahun belakangan ini, Widia hanya berkerja dengan sistem pesanan karena ia memilih bekerja tanpa tekanan. Ia pun yakin, nasib usaha batik itu usai dalam satu dekade ke depan. Salah satu alasannya adalah karena kondisi fisiknya yang menurun.
Ia pernah jatuh saat mencuci batik dan sejak saat itu kondisi tulangnya tak pernah benar-benar pulih. Matanya pun kian tak awas. Sementara itu, kedua putranya belum menunjukkan minat mereka pada usaha batik. "Sudah kayak orang jantungan, sudah tinggal napas terakhir," ujarnya tentang masa depan usaha batik tulis itu.
Faktor lainnya adalah para pembatik yang semakin tua dan tanpa penerus. Ia menetapkan standar yang sangat tinggi untuk para pembatik, yang membuatnya sulit menemukan pengganti.
Dari segi pembatik pun, batik tulis halus tak lagi populer. Kustinah, misalnya mengatakan anak-anaknya tak mau meneruskan menjadi pembatik. "Anak saya yang kecil, disuruh melanjutkan, nggak mau. Bilangnya 'kotor, malas'... 'Netes' terus. Sementara, anak saya yang besar, nggak bisa, sudah diajari. Bisa [membatik], tapi tidak baik [kualitasnya]," ujarnya.
Meski bermimpi terus membatik, salah satunya agar bisa terus mandiri secara finansial, Kustinah berusaha realistis. "Ya kalau sudah nggak bisa, nggak apa-apa. Kalau masih bisa ya kepengennya membatik terus," ujarnya.
Tanpa pembatik andal, Widia sulit membayangkan nasib usaha itu. Bahkan, jika putranya mau meneruskan bisnis itu, ia tak akan mengizinkannya membawa bendera Oey, tanpa kualitas setara. "Boleh usaha batik, tapi jangan pakai nama Oey Soe Tjoen kalau kualitasnya tidak bisa sama," ujarnya.
"Makanya dengan prediksi seperti itu, saya bisa mengatakan bahwa batik tulis halus Oey Soe Tjoen bisa habis atau bisa punah dalam waktu 10 tahun ke depan karena saya tahu kondisi saya," kata Widia.
Yohannes Somawiharja menilai sudah ada upaya pemerintah untuk mempertahankan usaha seperti ini, seperti dengan pemberian penghargaan dan modal. Ada juga usaha serupa yang berusaha bertahan dengan menjual batik yang lebih murah.
Motif buketan adalah kegemaran warga Belanda di masa lalu.
"Namun sayangnya upaya yang terkoordinasi masih belum dilihat oleh pengusaha batik sebagai sesuatu yang attractive (menarik) dan meringankan resiko.
"Entah ini menjadi tugas siapa. Jika masalah ini tidak terselesaikan dengan efektif, saya khawatir kita tidak akan bisa mempertahankan batik peranakan tulis halus lagi," ujarnya.
Padahal, kata Yohannes, batik tulis adalah salah satu produk kebanggaan Indonesia. "Batik tulis halus adalah adibusana mahakarya bangsa Indonesia. Tidak ada di tempat lain di dunia ini yang memproduksi produk batik se-bagus yang dari Indonesia. Ini tentunya menciptakan sense of identity, kebanggaan nasional.
'Juara tak terkalahkan'
Saat ini Widia mengatakan targetnya yang paling dekat adalah menggelar pameran batik Oey di tahun 2025 demi menunjukkan bahwa batik itu "pernah ada". Meski masa depan batik Oey terlihat buram, Widia menegaskan kompromi kualitas tak jadi pilihan.
"Seorang petinju, kalau dia menggantungkan sarung tinjunya dalam keadaan tidak pernah kalah, maka dia akan akan disebut juara tak terkalahkan. Jadi ketika saya gantung canting, posisi Oey Soe Tjoen adalah yang terbagus," ujarnya. (*)
Tags : Batik Tulis, Hubungan Erat Tionghoa-Jawa, Indonesia, Seni budaya, Batik Tulis Tinggal Nafas Terakhir dan Diambang Kepunahan,