Kesehatan   2021/12/02 21:2 WIB

Belajar dari Virus yang ada 'Memorakporandakan' Fasilitas Kesehatan, Omicron 'Jangan Terantuk Dua Kali'

Belajar dari Virus yang ada 'Memorakporandakan' Fasilitas Kesehatan, Omicron 'Jangan Terantuk Dua Kali'
Pada bulan Juli, lonjakan kasus yang terjadi di sebagian besar wilayah Jawa-Bali membuat rumah sakit kewalahan. (Foto. Getty Images)

KESEHATAN - Kemunculan varian baru virus corona Omicron mengembalikan ingatan pada pertengahan tahun ini ketika varian Delta membuat fasilitas kesehatan di Indonesia kewalahan, dengan masalah-masalah seperti kelangkaan oksigen, penuhnya rumah sakit, harga obat melambung, hingga kelelahan yang dialami banyak tenaga kesehatan.

Epidemolog mendesak pemerintah dan perhimpunan rumah sakit bekerja sama mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk kemungkinan terburuk jika terjadi gelombang ketiga dan varian Omicron menggila.

"Masa kita terantuk dua kali, dengan pengalaman kemarin [gelombang Delta], kita harus siap," kata epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo dalam keterangan pers nya, Kamis (2/12).

Guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia dan juga dokter spesialis paru-paru dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Faisal Yunus, mengatakan "porak-poranda" fasilitas kesehatan disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah dari awal.

"Kita harus belajar dari pengalaman dan dipersiapkan dari sekarang, jangan dianggap remeh seperti dulu," kata Faisal. 

Sementara itu pejabat di daerah mengatakan, fasilitas kesehatan di wilayahnya "terus mengalami perbaikan dan penambahan kapasitas", seperti di Padang, dan Semarang.

Puncak jumlah kasus aktif di Indonesia terjadi pada 24 Juli lalu sebesar 574.135 dengan angka kematian di atas 35.000 orang per bulan.

Pemerintah Indonesia telah melarang orang asing dengan riwayat perjalanan dari negara-negara Afrika bagian selatan dan Hongkong masuk ke wilayah Indonesia demi mencegah penyebaran varian baru ini.

'Jangan terantuk dua kali'

Gelombang varian Delta meledak pada pertengahan tahun ini dengan merenggut puluhan ribu jiwa dan juga menyebabkan fasilitas kesehatan kewalahan, atau mengutip LaporCovid-19 disebut "kolaps".

Epidemiolog dari Universitas Airlangga Widhu Purnomo mendesak pemerintah untuk belajar dari pengalaman masa itu, dengan mempersiapkan kemungkinan yang terburuk.

"Kita harus persiapkan dari sekarang. RS harus siap sedia kalau kebobolan, dan meminimalisir kejadian sebelumnya seperti oksigen kurang, kasur kurang. Jangan terantuk dua kali," kata Windhu.

"Yang ditakutkan, kalau karakteristik varian baru punya kemampuan immune escape, karena yang sudah punya antibodi bisa mengalami gejala berat. Tapi kalau sekadar lebih menular tapi tidak punya immune escape, itu aman," ujar Windhu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya memperingatkan bahwa varian virus corona Omicron berisiko menimbulkan lonjakan penularan di seluruh dunia.

Varian dengan kode B.1.1.529 pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.

Dua hari kemudian, tim peneliti independen Technical Advisory Group on SARS-COV-2 Virus Evolution (TAG-VE) melakukan penilaian dan memasukkan varian baru ini ke dalam kategori Variant of Concern (VOC).

Bukti-bukti awal menunjukkan bahwa Omicron menimbulkan risiko infeksi ulang yang lebih tinggi.

WHO menyebut varian baru ini telah mengalami sangat banyak mutasi, dibandingkan varian-varian lainnya — sekitar 30 mutasi yang terjadi pada protein spike.

Tim peneliti hanya butuh waktu 17 hari untuk menempatkan Varian Omicron ke kategori VOC. Pada varian-varian sebelumnya, tim peneliti membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meneliti dan menetapkan pada kategori VOC.

Misalnya, varian Delta yang ditemukan di India pada Oktober 2020. WHO kemudian memasukkan varian ini ke kategori VOC pada 11 Mei 2021.

Belajar dari pengalaman

Guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia, Faisal Yunus mengatakan, ketidaksiapan pemerintah dalam melakukan antisipasi menyebabkan fasilitas kesehatan "porak-poranda" saat diserang varian Delta.

"Pemerintah awalnya tidak siap, dan mengatakan vírus itu tidak mungkin masuk ke Indonesia. Nyatanya, varian itu masuk dan menjadi gelombang puncak," kata Faisal.

Petugas kesehatan memindahkan seorang pasien, di luar ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Semarang, Jawa Tengah, (02/07). (Getty Images)

Ketidaksiapan itu, tambah Faisal, menyebabkan rumah sakit kebingungan saat kasus memuncak. Sistem belum terbentuk dan koordinasi belum berjalan dengan baik.

Angka kematian tertinggi di Indonesia terjadi pada bulan Juli dan Agustus, di atas 35.000 orang per bulan, dan mengalami penurunan pada November menjadi 403 kasus. 

Faisal mengatakan, besar kemungkinan varian Omicron akan masuk ke Indonesia, melihat terbukanya pintu kedatangan dari luar negeri.

"Kalau kita tidak antisipasi pencegahan, masuk saja satu varian itu, maka bisa menyebar kemana saja," katanya.

Pengalaman sulitnya mengakses rumah sakit diungkapkan oleh Rumainur, warga Padang Sumatera Barat.

"Waktu itu tempat perawatan penuh, kondisi tidak nyaman karena menunggu seharian, waktu itu Covid sedang tinggi," katanya seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (30/11).

Bagaimana persiapan rumah sakit? 

Faisal Yunus yang berpraktik di RSUP Persahabatan, Jakarta, mengatakan, rumah sakitnya telah melakukan antisipasi dan persiapan menghadapi kemungkinan munculnya gelombang ketiga Covid-19, seperti Omicron.

"Ventilator ditingkatkan, personel terlatih ditambah, sistem diperbaiki, UGD dan ICU dimaksimalkan, itu semua pengalaman dari tiga bulan serangan varian Delta. Lalu oksigen yang dulu belum sentral sekarang sentral. Menurut saya rumah sakit sekarang lebih siap jika ada gelombang ketiga," kata Faisal.

Sementara itu di kota Semarang, Jawa Tengah, kapasitas rumah sakit dan fasilitas lainnya terus ditambah.

Pada Juni lalu, dari sekitar 20 rumah sakit rujukan Covid-19 di kota Semarang, hanya satu yang memiliki tingkat keterisian di bawah 80%, sisanya penuh.

"Di Kota Semarang kami masih menyiapkan tempat tidur isolasi sekitar seribuan. Nanti kalau ada ledakan, langsung bisa ditambah porsi tempat tidur dan ruang isolasi," kata Kepala Dinas Kesehatan kota Semarang, Abdul Hakam.

Pemkot Semarang juga membagikan oksigen konsentrat ke 32 rumah sakit dan puskesmas.

"Insya Allah, kalau misal ada [gelombang ketiga], tempat tidur, ruang isolasi, oksigen, tenaga kesehatan, kami sangat siap. Tapi mudah-mudahan hal itu tidak terjadi," ujar Hakam.

Sedangkan di Padang, Sumatera Barat, Rumah Sakit Umum Pusat M Djamil juga melakukan perbaikan dan penambahan.

"Awal Maret 2020, kami hanya memiliki empat tempat tidur [Covid-19] dan meloncat menjadi lebih 300 pada Agustus 2021. Lalu kami punya 68 tempat tidur untuk ICU saja," kata Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi RSUP M Djamil Padang Gustafianof.

RSUP M Djamil mengalami puncak pasien Covid-19 pada 1 Agustus lalu, dengan merawat 276 pasien positif.

"Kalau saat ini, pasien positif tidak ada lagi, yang ada hanya suspek beberapa orang saja," ujarnya.

Juru bicara Satgas Covid-19 Sumatera Barat, Jasman Rizal, mengatakan kesiapan rumah sakit di provinsi telah mencukupi untuk menghadapi kemungkinan datangnya gelombang ketiga.

"Kalau untuk rumah sakit, saat ini tempat tidur sudah cukup dan untuk fasilitas lain seperti oksigen sudah tidak ada masalah lagi," katanya.

Jasman menambahkan, penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi menjadi kunci melawan varian baru dan rumah sakit tidak akan mengalami lonjakan pasien.

Tingkat vaksinasi di Sumatera Barat sekitar 50%, dengan cakupan vaksinasi tertinggi di Jakarta dengan 136%, Bali 101% dan Jogja 96%.

Kota Padang menjadi kontributor besar kasus Covid di Sumatera Barat dengan korban jiwa sebesar 554 orang dari total lebih 2.000 yang meninggal di Sumbar.
Upaya pemerintah pusat

Juru Bicara dan Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah masuknya varian Omicron.

Pertama adalah dengan mengkaji ulang pembatasan pintu masuk negara.

Kedua adalah meningkatkan whole genome sequencing (WGS) atau pengurutan keseluruhan genom untuk mendeteksi varian Omicron.

"Ketiga, memastikan mobilitas masyarakat dilakukan dengan aman, keempat, memasifkan testing dan tracing utamanya pada perjalanan luar negeri," kata Wiku. 

Mobilitas penduduk telah meningkat tajam, seiring penurunan angka kasus positif baru.

Contohnya, pengguna kereta api meningkat lima kali lipat dari 100.000 pada Juli menjadi 572.000 pada November. Sedangkan pesawat mengalami kenaikan hingga 350% dari Juli sekitar 353.000 ke November sekitar 1,59 juta.

"Penerapan protokol kesehatan ketat juga harus terus dilakukan terlebih kita akan memasuki periode Natal dan tahun baru di mana aktivitas masyarakat berpotensi meningkat yang juga meningkatkan potensi penularan," kata Wiku.

"Meskipun hingga saat ini kasus positif di Indonesia masih menunjukkan penurunan, namun kita tidak boleh lengah karena belajar dari varian Delta pada periode Idul Fitri apabila tidak dipersiapkan dengan baik dan dibiarkan menyebar luas di masyarakat, … akan kembali meningkatkan kasus Covid-19," ujarnya. 

Apakah varian Omicron memang sangat berbahaya?

Penemuan Omicron, varian baru virus corona (SARS-CoV-2) di Afrika Selatan, kembali memicu banyak negara mengambil langkah cepat, antara lain dengan menutup perbatasan, dengan harapan menekan penyebaran varian tersebut.

Sejumlah negara telah melarang perjalanan udara dari dan ke Afrika Selatan dan para pakar mengisyarakatkan bahwa Omicron adalah "varian virus corona yang paling mengkhawatirkan sejauh ini".

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri menggolongkannya sebagai variant of concern atau varian yang diwaspadai.

Tetapi, dengan data yang tersedia, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut bisa diterima? Apakah pernyataan tersebut didasarkan pada bukti atau opini? Kapan kita bisa menggolongkan varian baru sebagai variant of concern?

Apa konsekuensinya bagi strategi menghadapi pandemi? 

Sekuens genomik varian Omicron (galur B.1.1.529 dalam sistem PANGO, atau galur 21K pada NextStrain) menunjukkan 55 mutasi jika dibandingkan dengan virus asli yang ditemukan di Wuhan, China.

Dari mutasi-mutasi ini, 32 di antaranya terkait dengan paku protein, yang berperan dalam infeksi sel dan respons kekebalan.

Sebagian besar mutasi ini sebelumnya telah dideteksi pada virus yang digolongkan variants of concern (VOCs) maupun variants of interest (VOIs), misalnya mutasi N501Y yang ditemukan pada varian Alpha, Beta, dan Gamma.

Stok oksigen di sejumlah toko isi ulang oksigen di Jakarta habis, di tengah meningkatnya jumlah isolasi mandiri (03/07). (Getty Images)

Kemudian mutasi T95I, T478K, dan G142D yang ditemukan di Delta.

Akumulasi mutasi bersama efek-efeknya yang telah diketahui, sudah menarik perhatian dan kewaspadaan. Namun, beragam eksperimen yang memadai belum dilakukan guna melihat efek-efek mutasi tersebut manakala mereka ditemukan secara bersamaan.

Efek dua mutasi tidak selalu berkaitan dan interaksi keduanya (epistasias dalam istilah teknis) bisa positif (meningkatkan efek satu sama lain) dan bisa pula negatif (mengurangi efeknya).

Sampai kita mendapat hasil laboratorium, epidemiologis,dan data pemantauan genomik yang memperlihatkan tingkat penularan lebih tinggi atau kemungkinan lolos dari respons kekebalan lebih besar, tidak beralasan meningkatkan taraf kewaspadaan.

Alasan WHO mengumumkan varian Omicron menjadi VOC adalah varian itu mungkin berkaitan dengan meningkatnya risiko penularan--meski belum ada informasi publik mengenai data klinis yang menyokong klaim ini.

Surveilans genomik Afrika Selatan

Tanda merah langsung dibubuhkan karena cepatnya peningkatan kasus yang disebabkan oleh varian ini di Afrika Selatan.

Sebenarnya tidak mencengangkan varian baru tersebut dideteksi di negara ini, karena Afrika Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan surveilans genomik virus corona terbaik dan juga karena tingkat vaksinasinya lebih baik dibandingkan negara-negara di Afrika.

Berkat surveilans mereka, sekuens virus yang menjadi penyebab wabah Covid-19 di Provinsi Gauteng dengan cepat bisa didapatkan, ketika tingkat infeksinya bisa dikatakan rendah, sekitar 10 kasus per 100.000 orang.

Jika sumber utama kekhawatiran adalah tingkat penyebaran, bukan berarti kita bisa menarik nafas lega.

Sekali lagi, kita harus bertanya, bagaimana virus dengan begitu banyak mutasi bisa muncul. Tidak ada jawaban yang pasti, tapi kecurigaan kita adalah, ia berevolusi pada seorang pasien yang sistem kekebalannya lemah dan terinfeksi dalam jangka waktu lama.

Setelah itu, virus ini menular ke orang-orang lain melalui pola mata rantai yang tidak kita ketahui untuk sementara ini. 

Apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi varian baru?

Saat ini, "senjata" yang kita punya tetap sama: vaksinasi, memakai masker, jaga jarak, dan membuka ventilasi pada ruangan tertutup.

Upaya-upaya ini diharapkan mengurangi paparan virus semaksimal mungkin dan secara bersamaan kita menambah jumlah orang yang divaksin di semua negara.

Harapan lain adalah, usaha ini membatasi kemungkinan adanya mutasi-mutasi baru virus corona.

Sampai kita mendapat hasil laboratorium, epidemiologis, dan data pemantauan genomik yang memperlihatkan tingkat penularan lebih tinggi atau kemungkinan lolos dari respons kekebalan lebih besar, tidak beralasan meningkatkan taraf kewaspadaan. (Getty Images)

Meski kita berpikiran bahwa setelah varian Delta mungkin sulit bagi virus corona "melahirkan" varian baru yang masuk dalam daftar perhatian (variant of concern, VOC), varian Omicron membuat kita semua terhenyak.

Terlepas dari apakah nantinya Omicron menimbulkan dampak-dampak serius yang menjustifikasi keputusan WHO menggolongkannya sebagai VOC, jelas bahwa evolusi virus corona mungkin akan melahirkan kejutan.

Semakin cepat kita memotong kemungkinan-kemungkinan tersebut, makin baik kita semua.

Fernando González Candelas adalah Profesor bidang genetika. Dia menjabat Ketua Unit Riset Gabungan "Infeksi dan Kesehatan Masyarakat" FISABIO-Universitat de València. Artikel yang dia tulis diterbitkan The Conversation.

Tags : Virus Corona, Vaksin, Virus Corona, Indonesia, Kesehatan,