Sorotan   2021/02/12 14:15 WIB

Bicara Soal Vaksin, Bagaimana Program Penangananya?

Bicara Soal Vaksin, Bagaimana Program Penangananya?

"Bicara soal vaksin, muncul satu pertanyaan dari banyak orang: kapan saya mendapatkannya?"

endapatkan vaksin Covid-19 adalah persoalan hidup dan mati. Sejumlah negara sudah punya target yang rinci, namun untuk seluruh dunia gambarannya masih belum jelas. Jadi, apa yang sejauh ini kita ketahui?

Ini menyangkut proses-proses saintifik yang rumit: perusahaan-perusahaan multinasional, banyak janji pemerintah yang bertentangan, serta birokrasi dan regulasi yang terlampau banyak, dalam arti menentukan kapan dan bagaimana vaksin akan disebar luas ke seluruh dunia tidaklah mudah.

Agathe Demarais, direktur prakiraan global dari Economist Intelligence Unit (EIU) telah menjalankan sejumlah penelitian yang paling komprehensif soal topik tersebut.

EIU melihat pada kapasitas produksi global bersama dengan infrastuktur kesehatan yang diperlukan agar vaksin-vaksin ini bisa sampai disuntikkan ke masyarakat, ukuran populasi yang harus ditangani suatu negara dan, tentu saja, apa yang mereka bisa lakukan.

Banyak temuan dari penelitian itu tampaknya berada pada garis yang diprediksi antara kaya dan miskin.

Inggris dan Amerika Serikat untuk saat ini mendapat pasokan vaksin dengan baik, karena mereka mampu menginvestasikan banyak uang untuk pembuatannya dan itu yang membuat mereka di daftar antrean teratas.

Beberapa negara kaya lainnya seperti Kanada dan blok negara Uni Eropa sedikit berada di belakang.

Sebagian besar negara berpendapatan rendah belum memulai vaksinasi, namun ada beberapa kejutan, terutama di barisan tengah.

Berikut adalah program pendistribusian vaksin terjadi di seluruh dunia.

Berdasarkan data di bawah ini, sejauh ini vaksinasi di Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta dosis yang telah diberikan atau rata-rata 0,46 dosis per 100 orang, sementara negara tetangga Singapura mencapai 256.000 dosis atau 4,38 dosis per 100 orang. Malaysia dan Thailand akan memulai vaksinasi pada bulan Februari ini.

Kanada menghadapi kritis di akhir tahun lalu karena membeli lima kali lipat lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk rakyatnya, namun tampak negara itu tidak masuk golongan distribusi yang diprioritaskan.

Itu karena Kanada memilih untuk berinvestasi vaksin di pabrik-pabrik Eropa, setelah khawatir bahwa AS di bawah Donald Trump akan mengeluarkan larangan ekspor. Namun, akhirnya itu menjadi pertaruhan yang buruk.

Pabrik-pabrik di Eropa kesulitan untuk memenuhi pasokan dan baru-baru ini malah UE, dan bukan AS, yang mengancam bakal melarang ekspor vaksin.

"Selama pasar Eropa tidak punya cukup vaksin, menurut saya ekspor besar-besaran ke Kanada akan bakal tetap diabaikan," kata Agathe Demarais.

Namun ada juga beberapa negara yang justru bernasib lebih baik dari yang diperkirakan.

Saat artikel ini ditulis, Serbia berada di peringkat delapan dunia dalam persentase rakyatnya yang sudah divaksin, mengungguli negara-negara UE.

Kesuksesan Serbia sebagian karena vaksinasi yang efisien, juga karena menikmati hasil diplomasi vaksin, yang merupakan medan kompetisi antara Rusia dan China untuk menebar pengaruh di bagian timur Eropa.

Serbia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mendapat vaksin buatan Rusia, Sputnik V, dan juga SinoPharm asal China.

Di atas kertas, Serbia diberi pilihan vaksin apa yang mereka pilih - Pfizer, Sputnik, atau SinoPharm.

Nyatanya, sebagian besar rakyatnya sudah disuntik SinoPharm. Kemungkinan China menebar pengaruh jangka panjang di negara itu.

Negara-negara yang menggunakan dosis pertama dan kedua dari SinoPharm kemungkinan juga berpaling ke China mendapat dosis yang lebih banyak bila diperlukan di masa depan.

Uni Emirat Arab juga sangat bergantung pada vaksin SinoPharm - 80% dari total dosis yang diberikan di negara itu. UEA juga membangun fasilitas produksi SinoPharm.

"China datang membawa fasilitas produksi dan pekerja yang terlatih, sehingga akan memberi pengaruh jangka panjang bagi China," kata Agathe Demarais. "Dan akan sangat, sangat sulit bagi pemerintah penerima untuk bilang tidak kepada China atas hal apapun di waktu mendatang."

'Faktor India'

Walau menjadi kekuatan utama vaksin di dunia, bukan berarti rakyatnya yang lebih dulu disuntik.

Penelitian EIU memprediksi bahwa dua produsen utama vaksin di dunia, China dan India, mungkin tidak akan cukup vaksin bagi seluruh rakyat masing-masing hingga akhir 2022.

Itu karena dua negara itu punya begitu banyak populasi yang ditangani, tidak bisa diimbangi dengan terbatasnya tenaga kesehatan.

Suksesnya India sebagai produsen vaksin Covid sebagian besar berkat tokoh yang satu ini, Adar Poonawalla. Perusahaannya, Serum Institute of India merupakan pembuat vaksin terbesar di dunia.

Namun, pertengahan tahun lalu, keluarganya mulai curiga dia sudah kehilangan akal sehat. Dia pertaruhkan ratusan juta dolar untuk membuat vaksin yang belum terbukti apakah akan manjur.

Januari lalu, vaksin-vaksin pertama, yang dibuat oleh Oxford dan AstraZeneca, dikirim ke pemerintah India. Kini, dia memproduksi 2,4 juta dosis per hari.

Perusahaannya merupakan satu dari dua pemasok utama ke India dan juga mengirim vaksin ke Brasil, Maroko, Bangladesh, dan Afrika Selatan.

"Saya pikir tekanan dan semua kegilaan akan berakhir sekarang saat kita telah membuat produknya," kata dia. "Namun tantangan nyata adalah tetap membuat semuanya senang."

"Saya pikir akan ada banyak pabrikan lain yang mampu memasok. Namun, sayangnya, saat ini, setidaknya di kuartal pertama dan mungkin bahkan di kuartal kedua 2021, kami tidak akan melihat peningkatan pasokan secara berarti."

Menurut dia, produksi tidak bisa ditingkatkan dalam semalam. "Butuh waktu," kata Poonawalla. "Orang-orang pikir Serum Institute sudah punya ramuan ajaib. Betul, kami memang bekerja dengan baik, namun tidak ada yang namanya tongkat sulap."

Dia kini unggul karena mulai membangun fasilitas pada Maret tahun lalu dan Agustus lalu sudah menimbun barang-barang seperti bahan kimia dan gelas kaca.

Selama proses produksi, jumlah vaksin yang dibuat bisa bervariasi dan ada banyak tahap bila ada kesalahan. "Ini adalah seni sekaligus sains," kata Agathe Demarais.

Bagi kalangan pabrikan yang baru sekarang mulai produksi, perlu waktu berbulan-bulan untuk membuat vaksin. Ini juga berlaku bagi vaksin tipe booster yang mungkin dibutuhkan untuk mengatasi varian-varian baru.

Poonawalla berkomitmen untuk memasok vaksin terlebih dahulu ke India, lalu ke Afrika melalui skema yang disebut fasilitas Covax.

Covax merupakan suatu inisiatif yang dipimpin WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), aliansi vaksin Gavi, dan CEPI (Pusat Kesiagaan Epidemi). Tujuannya untuk menyediakan vaksin yang terjangkau kepada semua negara di dunia.

Negara-negara yang tidak mampu membeli vaksin akan mendapatkannya secara gratis lewat dana khusus. Negara-negara lain yang mampu tetap membayar, namun secara teoritis mereka akan mendapat harga yang lebih baik lewat negosiasi dengan blok tersebut ketimbang bernego sendiri.

Covax berencana mulai memasok vaksin di akhir Februari 2021.

Sementara itu, rencana Covax tersebut dipandang sebelah mata oleh fakta bahwa banyak negara peserta juga melakukan negosiasi sendiri-sendiri untuk dapat vaksin.

Adar Poonawalla mengungkapkan bahwa hampir semua pemimpin negara Afrika sudah menghubunginya untuk dapat akses vaksin secara mandiri. Pekan lalu, Uganda mengumumkan telah mendapat 18 juta dosis dari Serum Institute seharga US$7 per dosis - lebih mahal dari yang dibayar Covax sebesar US$4.

Serum Institute mengaku telah berbicara dengan pemerintah Uganda, namun menyangkal sudah tandatangani perjanjian. Poonawalla akan memasok 200 juta vaksin AZ ke Covax begitu mendapat persetujuan awal dari WHO.

Dia menjanjikan 900 juta dosis lagi, walau tidak memastikan kapan dikirim.

Walau berkomitmen pada skema tersebut, dia mengakui menghadapi sejumlah masalah. Covax menghadapi terlalu banyak produsen vaksin yang berbeda, ujarnya, masing-masing menawarkan harga dan jadwal pengiriman yang beragam.

Agathe Demarais dan EIU pun tidak begitu optimistis mengenai apa yang dapat dicapai Covax. Bahkan bila segalanya sesuai rencana, skema itu hanya mencakup 20-27% dari populasi suatu negara tahun ini.

"Hanya membuat perbedaan kecil saja, bukan perubahan besar," kata Demarais.

Dalam prakiraan Demarais untuk Economist Intelligence Unit, beberapa negara mungkin tidak akan seluruhnya divaksin pada 2023 atau setelahnya.

Vaksinasi mungkin bukan jadi prioritas bagi semua negara, terutama yang memiliki lebih banyak penduduk usia muda, dan bila tidak memiliki begitu banyak warganya yang sakit.

Masalah dengan skenario itu adalah selama virus corona dapat berkembang, maka akan mampu bermutasi dan migrasi. Varian-varian yang kebal vaksin juga akan terus ber-evolusi.

Tidak semuanya kabar buruk. Vaksin-vaksin kini tengah diproduksi lebih cepat, namun skala tugasnya, yaitu harus memvaksin 7,7 miliar jiwa, begitu besar dan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Demarais yakin bahwa pemerintah harus jujur dengan rakyatnya terkait apa yang mungkin terjadi.

"Sangat sulit bagi suatu pemerintah untuk berkata, 'Tidak, kami tidak akan mencapai imunisasi secara luas selama beberapa tahun.' Tidak ada yang mau bilang begitu," katanya. *()

Tags : Vaksin, vaksin covid-19, Bagaimana Program Penangananya,