Sorotan   2021/01/31 11:33 WIB

China Cegah Mudik Massal Saat Imlek Ditengah Pandemi, Karena Dikhawatirkan 'Ajang Penyebaran Virus Corona'

China Cegah Mudik Massal Saat Imlek Ditengah Pandemi, Karena Dikhawatirkan 'Ajang Penyebaran Virus Corona'

"Mobilitas manusia terbesar sedunia baru saja dimulai di China, jutaan orang di negara itu akan mudik ke seluruh penjuru daerah melintas perjalanan sejauh ribuan kilometer untuk merayakan Imlek yang jatuh pada 12 Februari mendatang"

agi banyak penduduk China, Imlek adalah satu-satunya peristiwa dalam setahun untuk bertemu dengan keluarga. Hampir semua warga China tak ingin melewatkan perayaan ini. Namun muncul kekhawatiran bahwa musim mudik yang dalam bahasa lokal dikenal dengan istilah Chunyun ini bakal menjadi ajang penyebaran virus corona.

Seperti Musim mudik Imlek di China tahun lalu diyakini pemicu besar pandemi Covid-19. Saat ini pemerintah China menghadapi dilema. Dapatkah China meyakinkan warganya untuk tetap tinggal di rumah tanpa harus membatalkan perayaan tahunan terbesar mereka? Perayaan Imlek di China berlangsung dari 28 Januari sampai 8 Maret. Selama periode itu penduduk China diyakini bakal melakukan perjalanan ribuan kilometer, jelang dan setelah Imlek yang jatuh tanggal 12 Februari.

Pada masa-masa sebelumnya, terjadi hingga tiga miliar perjalanan pada musim mudik ini. Namun tahun 2020, saat virus corona mulai menjangkiti warga China dan pembatasan perjalanan diterapkan, jumlah perjalanan mudik turun lebih dari setengahnya. Sementara tahun ini, seiring kehidupan berangsur normal di berbagai wilayah China, otoritas lokal memprediksi selama periode Chunyun akan terjadi 1,7 miliar perjalanan mudik.

Sebelum arus perjalanan benar-benar bergulir, China berencana memberikan vaksin Covid-19 kepada 50 juta orang atau 3,5% dari total populasi. Pada saat bersamaan, muncul sejumlah klaster Covid-19 baru di China, terutama di pedesaan. Kota Tonghua di Provinsi Jilin yang memiliki populasi dua juta orang ditutup setelah muncul 13 kasus positif Covid-19 awal Januari lalu.

Orang-orang yang berada di wilayah dengan kasus positif Covid-19 mendapatkan pesan yang jelas, bahwa mereka tidak dapat melakukan perjalanan mudik pada perayaan Imlek ini. Dan penduduk di daerah yang tidak diisolasi secara ketat pun akan menghadapi kesulitan untuk mudik. Komisi Kesehatan Nasional China mewajibkan setiap orang yang kembali ke pedesaan untuk menunjukkan hasil negatif tes Covid-19. Hasil itu harus dikeluarkan tujuh hari sebelum keberangkatan mereka.

Orang-orang dalam kategori ini juga harus menjalani "observasi di rumah" selama 14 hari. Selama masa pengawasan ini mereka tetap dapat meninggalkan rumah, tapi wajib memantau suhu tubuh setiap hari. Namun selama masa itu, mereka tidak akan diizinkan mengikuti pertemuan yang dihadiri banyak orang. Setiap tujuh hari mereka juga harus menjalani tes Covid-19.

Di media sosial, banyak warga China menilai kebijakan itu akan sangat berdampak pada perantau, terutama yang bekerja di kota dan mudik ke desa. Kebijakan itu juga dianggap tidak praktis dan terlalu mahal. Meski begitu, otoritas China yakin ini adalah pencegahan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Seorang mahasiswa bernama Huang Jie, bukan nama sebenarnya, mengaku harus diwajibkan menunjukkan hasil tes asam nukleat. Kode kesehatannya, kata Jie dirils BBC.

Jie juga harus memiliki sertifikat penerimaan warga setempat yang diteken pejabat desa. Semua ini harus dia tunjukkan saat tiba di stasiun, sebelum perjalanan pulang ke kampung. Tapi Jie menilai seluruh kewajiban yang harus dipenuhinya itu sepadan. "Malam Tahun Imlek adalah momentum reuni. Saya harus merayakannya dengan orang yang saya cintai. Saya melewatinya dengan orang lain," kata Jie.

'Iming-iming manis'

Tapi apa yang diberlakukan untuk warga China yang kotanya tidak ditutup atau tidak berada di area dengan risiko tinggi penularan Covid-19? Pemerintah Kota Hangzhou, misalnya, memberikan 1.000 yuan (Rp2,1 juta) kepada pekerja migran yang memilih tidak mudik. Dua perusahaan di Zhejiang, Ningbo dan Quanzhou, juga memberikan angpau ini untuk pekerja mereka yang memilih tidak pulang kampung.

Banyak korporasi didorong menawarkan subsidi, makanan gratis, dan tur budaya singkat agar pekerja mereka tertarik untuk membatalkan mudik. Ada juga sejumlah pemerintah kota yang memberikan hak spesial untuk pekerja yang tidak mudik selama liburan ini. Hak khusus seperti tempat tinggal dan layanan medis itu biasanya hanya diberikan kepada pekerja yang lahir di kota tersebut.

Pemerintah kota Yiwu menawarkan tiket masuk gratis ke tempat-tempat budaya. Ada juga tawaran bagi anak-anak pekerja berupa tiket masuk menginap gratis di perkemahan musim dingin. Para pemilik usaha di kota itu juga diizinkan tetap beroperasi selama Imlek. Mereka juga didorong mengajukan permohonan subsidi ke pemerintah kota. Masyarakat sejumlah kota akan dibebaskan dari biaya pendaftaran layanan rawat jalan di rumah sakit dan mendapatkan diskon 50% untuk pemeriksaan kesehatan.

Dan jika semua tawaran itu tidak cukup untuk membujuk warga Yiwu untuk tetap tinggal, berbagai spanduk bertuliskan macam-macam juga telah dipasang. Spanduk di Beijing, misalnya, berbunyi "Jangan tinggalkan kota kecuali itu diperlukan. Jangan pergi ke luar negeri kecuali itu mendesak". Beberapa sektor usaha secara terang-terangan menerapkan membatasi pekerja untuk mudik. "Suatu malam minggu lalu, perusahaan kami tiba-tiba meminta kami menghadiri pertemuan online," kata Yufan Gao, bukan nama sebenarnya, yang bekerja di perusahaan milik negara. Pimpinan saya mengabarkan bahwa dia sangat merekomendasikan kami menghabiskan Tahun Baru Imlek di Beijing. Semua pegawai yang akan pergi diharuskan mengisi formulir permohonan. Tapi dia berkata kemungkinan permohonan itu dikabulkan sangat rendah. Hanya 20% pegawai yang diizinkan untuk mudik. Saya kecewa," ujarnya Gao.

Tapi apakah berbagai strategi itu akan berhasil? Mungkin saja. Tapi warga China seperti Liu, seorang pekerja di sektor ekspedisi di Beijing, berkata tidak akan ada yang akan menghalanginya mudik. "Istri dan anak-anak saya ada di kampung. Saya sudah tidak bertemu mereka selama enam bulan. Saya sangat merindukan mereka," kata Liu.

"Meski ada banyak hambatan, Anda tetap harus mudik karena inti dari bekerja di kota besar adalah mencari nafkah. Jika Anda tidak bisa melihat keluarga, tidak akan ada dorongan untuk bekerja," tuturnya.

Pelarian total

Beberapa tujuan wisata paling populer di dunia berada di sekitar China. Pada tahun 2019, masyarakat China melakukan perjalanan ke berbagai negara di Asia. Destinasi populer mereka antara lain Jepang dan Thailand. Imlek adalah salah satu periode paling populer untuk bepergian. Ctrip, agen perjalanan online terbesar di China, memperkirakan sekitar tujuh juta turis dari negara itu melakukan perjalanan ke luar negeri selama festival musim semi tahun 2019.

Jepang kedatangan 723.617 turis dari China, hanya selama Februari 2019. Namun saat pandemi Covid-19 muncul tahun 2020, jumlah warga China yang berplesir ke luar negeri turun drastis. Sejumlah turis dari China memang berhasil berpergian sebelum karantina total diberlakukan. Akan tetapi, tahun ini mereka tidak akan mendapatkan peluang itu sama sekali.

Thailand, Singapura, Vietnam, Jepang, dan Malaysia adalah beberapa destinasi paling populer di Asia. Namun mereka telah menutup perbatasan untuk para pelancong. Dan kalaupun warga China menemukan cara bagi untuk pergi ke luar negeri, mereka akan menemukan hambatan besar untuk pulang. Semua kedatangan ke China wajib melalui karantina selama 14 hari di lokasi yang ditentukan pemerintah. Orang yang datang dari luar negeri juga harus menjalani empat tes Covid-19.

Jika lolos, mereka kemudian masih harus menjalani karantina rumah selama tujuh hari. Tapi bukan hanya turis China yang merasakan kekecewaan ini. Anchalika Kijkanakorn, pendiri dan direktur AKARYN Hotel Group, operator resor mewah di Thailand, yakin Tahun Baru Imlek kali ini akan berlangsung lengang. "Selama beberapa dekade terakhir, dengan meningkatnya jumlah turis China, Tahun Baru Imlek mencuat menjadi periode puncak dalam kalender pariwisata Thailand," katanya.

"Pembatasan tahun ini belum pernah terjadi sebelumnya karena tahun lalu pandemi Covid-19 terjadi setelah Imlek berakhir. Pariwisata Thailand akan merasakan dampaknya," ujar Kijkanakorn. 

Bagaimana China mengatasi pandemi?

Satu tahun silam, pada 23 Januari 2020, karantina wilayah pertama untuk mencegah penyebaran virus corona diterapkan di Wuhan. Kota di Provinsi Hubei ini diyakini sebagai awal mula penyebaran virus corona. Pada waktu itu berbagai kalangan terkejut dengan pembatasan ketat yang dijalankan pemerintah China. Sejak Januari hingga Juni, Wuhan ditutup dari mobilitas orang yang hendak masuk atau keluar ke kota lain.

Walau kebijakan 'lockdown' itu memicu dampak di berbagai sektor untuk warga lokal, siasat itu terbukti sangat sukses untuk mengatasi penyebaran virus corona. Setahun setelahnya, China adalah satu dari sedikit negara yang memiliki kisah sukses menanggulangi pandemi.  Lantas apa saja yang sebenarnya diraih China dalam setahun terakhir? Dan bagaimana mereka mengatasi pandemi yang terjadi?

Otoritas China lambat menindaklanjuti laporan awal tentang penyakit misterius yang beredar di pasar basah di Wuhan, akhir tahun 2019. Ketika itu, mereka masih mengizinkan jutaan penduduk Wuhan berpergian keluar kota jelang tahun baru China, pada Januari 2020. Di China, perayaan Imlek setiap tahun menjadi periode dengan mobilitas penduduk tertinggi.

Awal pekan ini, dalam laporan sementara yang disusun panel independen yang ditunjuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kebijakan China itu dikritik. "Kebijakan di bidang kesehatan publik waktu itu semestinya bisa diterapkan lebih tegas," begitu bunyi laporan tersebut.

Namun kala itu otoritas China akhirnya menyadari masalah yang muncul. Mereka pun menerapkan pengetatan yang tegas. Pada 23 Januari 2020 atau dua hari sebelum Imlek, jalan-jalan di Wuhan berubah sunyi. Sekitar 11 juta orang dikarantina secara ketat. Penggunaan masker wajah dan jarak sosial menjadi hal wajib.

Ketika kapasitas rumah sakit di Wuhan mulai anjlok, China saat itu mengejutkan publik internasional. Mereka mendirikan rumah sakit darurat dalam beberapa hari. Namun beberapa warga Wuhan, salah satunya Wenjun Wang, saat itu mengaku cemas. Dia menceritakan bagaimana pamannya meninggal. Di sisi lain, orang tuanya yang jatuh sakit urung mendapatkan bantuan medis.

Pengetatan yang diterapkan di Wuhan pada bulan-bulan berikutnya diberlakukan di kota lainnya. China mengisolasi sejumlah kota besar seperti Beijing dan Shanghai. Tes Covid-19 juga digelar secara massal. Di sisi lain, arus masuk orang dari luar negeri ke China diperketat. Mereka yang baru tiba ke China pun diwajibkan menjalani karantina.

Namun pada periode itu, China juga berusaha mengendalikan penyebaran informasi. Persoalan yang disebabkan kebijakan sensor pemerintah China ini terus-menerus muncul hingga. Beberapa dokter yang mencoba mengingatkan publik tentang bahaya virus corona itu ditegur dan diperintahkan untuk tetap diam. Dokter yang paling mencuat adalah Li Wenliang. Belakangan dia dikabarkan meninggal setelah terpapar virus corona.

Media massa, yang awalnya diberi ruang untuk meliput di Wuhan, menghadapi sejumlah larangan baru. Sementara itu, jurnalis warga yang mencoba menyebarkan informasi tentang situasi terkini dari Wuhan juga dibungkam. Baru-baru ini, salah satu jurnalis warga itu dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun.

Walau karantina wilayah di China awalnya dianggap keras dan membatasi hak warga, data resmi yang dipublikasikan satu tahun setelahnya membenarkan kebijakan itu. Merujuk data medis resmi, jumlah kematian dan kasus positif Covid-29 di China relatif rendah. Hanya terdapat kurang dari 100.000 kasus positif. Jumlah kematian akibat Covid-19 di negara itu mencapai sekitar 4.800.

Setahun setelah karantina wilayah pertama, kehidupan di Wuhan hampir kembali ke kondisi normal. Pekan lalu BBC pergi ke kota itu dan berbincang dengan sejumlah orang tentang kehidupan mereka sekarang. Namun, kebijakan sensor informasi menyulitkan upaya memahami bagaimana Wuhan dan wilayah lain di China menghadapi karantina wilayah yang ketat.

Yang pasti, peristiwa setahun terakhir menimbulkan dampak psikologis, begitu kata beberapa warga Wuhan. Beberapa di antara mereka cemas jika terbukti berbicara dengan media internasional. "Pandemi pasti menimbulkan dampak, walau itu tidak terlihat di permukaan," kata warga Wuhan bernama Han Meimei. Tapi pastinya trauma mendalam dialami banyak orang di kota ini, termasuk banyak hal tahun lalu yang tidak ingin saya lihat sampai sekarang."

Namun, ada pula warga yang menilai kebijakan China menangani pandemi lebih baik daripada kebanyakan negara lain. Ini dikatakan beberapa warga Beijing. Warga China lainnya menyebut rasa persatuan dan hubungan yang lebih baik kini terjalin di masyarakat. "Sebelum pandemi, semua orang tampak agak pemarah, sering terburu-buru, tapi setelah pandemi, mereka menjadi lebih bersyukur atas kehidupan dan jauh lebih ramah," kata mahasiswa di Wuhan, Li Xi.

"Bencana seperti ini sebenarnya mempertemukan lebih banyak orang," kata Han. "Jika orang ada di sana, kota itu masih ada."

Pemerintah China kini mewaspadai munculnya sejumlah kasus positif baru di Qingdao dan Kashgar. Mereka menerapkan karantina wilayah dan tes massal di daerah itu. Meski jumlah kasus positif tetap sangat rendah, peningkatan kasus dalam beberapa pekan terakhir membuat otoritas di China cemas.

Awal Januari lalu, jumlah kasus positif harian terbesar terjadi dalam lima bulan terakhir. China kini fokus ke kawasan timur laut. Sekitar 19 juta orang di kota Shijiazhuang, sebagian provinsi Hebei, Jilin, dan Heilongjiang kini menjalani karantina wilayah. Pandemi dan karantina wilayah secara berkala juga berdampak signifikan perekonomian China. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi China mengalami periode terlambat dalam 40 tahun terakhir.

Namun, China pulih dengan cepat dan menjadi satu-satunya negera besar yang ekonominya bertumbuh pada tahun 2020. . Kehidupan di sebagian besar wilayah China hampir kembali normal. Perhatian kini kembali menuju peringatan tahun baru Imlek. Jutaan penduduk China kini bersiap mudik. Ada kekhawatiran bahwa periode mudik saat Imlek pekan depan akan memicu penyebaran Covid-19.

Jelang imlek, semua mata pun saat ini tertuju pada vaksinasi. Perusahaan farmasi milik China, Sinovac dan Sinopharm, pertengahan tahun 2020 sudah mendapatkan izin penggunaan darurat di tingkat domestik untuk vaksin mereka. Mereka memberikan vaksin itu kepada karyawan, pekerja medis, dan warga yang bersedia membayar sebelum uji klinis selesai.

Merekam peristiwa saat ratusan orang bergegas mendapatkan vaksinasi. Tingkat efikasi vaksin buatan Sinovac dan Sinopharm sangat bervariasi. Pejabat China di bidang kesehatan menyebut pihaknya akan memvaksin 50 juta orang sebelum Imlek. Di sisi lain, pemerintah China juga berusaha mengarahkan narasi tentang asal dan penyebab pandemi global ini.

Ada tuduhan bahwa China berusaha menutupi tingkat keparahan pandemi selama hari-hari pertama. China mulai mengklaim, meskipun Wuhan adalah tempat klaster pertama terdeteksi, virus corona belum berasal dari kota ini. Kantor berita milik China baru-baru ini menyebut pandemi ini mungkin bermula di Spanyol, Italia atau bahkan Amerika Serikat.

Berita itu juga telah mengklaim bahwa virus corona telah memasuki China melalui impor makanan beku. Banyak pakar meragukan pernyataan itu. Bagaimana klaster Covid-19 pertama muncul Wuhan.  Januari ini, tim WHO tiba di Wuhan untuk menelisik asal muasal virus corona. Tapi tetap ada kekhawatiran soal data dan akses yang akan diberikan otoritas China kepada mereka.

Beberapa pengamat juga khawatir, penyelidikan yang dilakukan satu tahun setelah kasus pertama di Wuhan tidak akan menemukan fakta yang komprehensif. (*)

Tags : Mudik Massal Imlek, China, Ditengah Pandemi, Angpau dan Layanan Kesehatan Gratis,