Linkungan   2024/04/12 23:27 WIB

Cuaca Ekstrem Akhir-akhir Ini Sering Melanda Berupa Angin Kencang, Hujan Petir Hingga Banjir, Aktivis: Mengapa Selalu Terjadi dan Sampai Kapan?

Cuaca Ekstrem Akhir-akhir Ini Sering Melanda Berupa Angin Kencang, Hujan Petir Hingga Banjir, Aktivis: Mengapa Selalu Terjadi dan Sampai Kapan?

LINGKUNGAN - Sejumlah wilayah Indonesia bagian selatan dilanda cuaca ekstrem berupa angin kencang, hujan petir hingga banjir.

BMKG mengatakan cuaca ekstrem ini merupakan fenomena alam yang umumnya terjadi di masa peralihan musim alias pancaroba.

Namun, pemerhati lingkungan mengaitkan cuaca ekstrem dengan pesatnya pembangunan di perkotaan, dan dampak kenaikan suhu laut.

Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menilai seperti banjir dan angin kencang juga bisa terjadi di Pekanbaru, Ia mengaku merasakan hujan yang disertai angin kencang dan petir semakin sering terjadi di Riau.

"Kalau angin besar, lihat ada langit, takutnya ada puting beliung, kita agak parno (takut) juga," kata Ir Marganda Simamaora M.Si, Yayasan Salamba.

Namun, menurutnya, untuk urusan banjir sudah biasa seperti tahun-tahun sebelumnya ketika musim hujan hadir.

"Memang sudah langganan," katanya.

Ia merasakan petir di wilayahnya terdengar lebih keras dan intensif jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Kalau hujan deras dan jadi banjir, hal ini sudah biasa di Pekanbaru, tapi menurut saya petirnya juga sering lebih kencang suaranya. Petir makin kencang akhir-akhir ini," kata dia.

Ia juga mengaku trauma dengan kejadian angin kencang yang terjadi. Warga lebih sering memilih tidak keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak, demi keselamatan.

Begitupun cuaca ekstrem juga mendera daerah ini. Beberapa media melaporkan banjir melanda sejumlah daerah di Riau.

Hujan deras yang berdampak banjir terjadi di wilayah lainnya yaitu Pekanbaru, Inhu, Kampar, Bengkalis dan Kuansing.

Pemerintah setempat menetapkan status tanggap darurat karena wilayah banjir meliputi hampir seluruh daerah.

"Kalau sudah banjir, banyak rumah terendam."

“Banyak barang elektronik yang tak bisa diselamatkan, kayak TV dan kulkas,” kata Rani, warga di pinggir sungai siak, Pekanbaru.

Kawasan perumahan penduduk Melayu dipinggir sungai itu memang langganan banjir, tapi menurut Rani kali ini menjadi “banjir terparah yang pernah kami alami”.

Rumah Rani mengalami banjir lebih parah, tumpahan hujan sampai setinggi tiga meter menutup plafon rumahnya.

Warga yang tinggal di pinggiran sungai [Kampung Nelayan] mengatakan semua perabotannya rusak.

Wilayahnya juga sudah terbiasa terkena banjir hampir tiap tahun, tapi tingginya biasanya “sepinggang dan sedada”.

“Barang perabotan rusak semua, ada motor, laptop, ijazah, semua rusak,” kata Emir, warga lainnya di kampung melayan itu sambil menggelengkan kepala.

Tetapi menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) cuaca hujan disebut ekstrem ketika skalanya antara 2 sampai 2.000 kilometer.

Lalu, curah hujan lebat atau lebih 100 mm/hari, dan durasinya berjam-jam, serta waktunya berubah: biasa terjadi sore ke malam, justru terjadi di pagi hari atau dini hari.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan cuaca ekstrem yang terjadi beberapa pekan terakhir ini memang berpotensi besar terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan: Mulai dari wilayah Lampung, Pulau Jawa-Bali, hingga Nusa Tenggara.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati memperingatkan potensi cuaca ekstrem ini akan terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim panas (pancaroba).

BMKG mengestimasi waktunya berlangsung Maret-April 2024.

“Berdasarkan analisis dinamika atmosfer yang dilakukan BMKG, didapati bahwa saat ini puncak musim hujan telah terlewati di berbagai wilayah Indonesia, khususnya bagian Selatan Indonesia,” kata Dwikorita dalam keterangan resminya.

Hal ini, kata dia, mengindikasikan bahwa wilayah tersebut akan mulai memasuki peralihan musim di bulan Maret hingga April.

Kenapa hujan lebih sering sore hingga malam hari?

Menurut Marganda Simamaora, salah satu ciri masa peralihan musim adalah pola hujan yang terjadi pada sore hingga menjelang malam hari.

Biasanya, hujan akan didahului dengan adanya udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari.

“Hal ini terjadi karena radiasi matahari yang diterima pada pagi hingga siang hari cukup besar dan memicu proses konveksi (pengangkatan massa udara) dari permukaan bumi ke atmosfer sehingga memicu terbentuknya awan,” kata Ganda Mora sapaan namanya.

Karakter hujan pada periode ini cenderung tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat.

Apabila kondisi atmosfer menjadi labil maka potensi pembentukan awan konvektif seperti awan Cumulonimbus (CB) akan meningkat.

"Awan CB inilah yang erat kaitannya dengan potensi kilat/petir, angin kencang, puting beliung, bahkan hujan es. Bentuknya seperti bunga kol, warnanya ke abu-abuan dengan tepian yang jelas," jelasnya.

Curah hujan yang lebat ini kemudian memicu apa yang disebut sebagai bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Secara khusus di wilayah Jawa Barat, puncak musim hujan diperkirakan sudah berlangsung hingga Maret 2024 kemarin.

Apakah cuaca ekstrem kali ini lebih kuat?

Meteorologis dari ITB, Nurjanna Joko Trilaksono, mengatakan tak ada yang luar biasa dari cuaca ekstrem yang terjadi di sejumlah Indonesia tahun ini [2024].

Hal ini semua sangat bergantung dari pertumbuhan awan Cumulonimbus. Semakin besar pertumbuhannya maka ia akan membawa risiko petir, angin kencang, hujan lebat hingga hujan es di wilayah yang dipayungi.

“Jadi sebenarnya, ketika awan Cumulonimbus ini bisa tumbuh dan berkembang di wilayah kita, maka risiko-risiko tadi pasti ada,” kata Joko.

Saat ini, tambah Joko, matahari memang sedang mulai mendekati garis ekuator, tapi posisinya sekarang sedang cukup membuat wilayah Jawa Barat, dan selatan Indonesia pada umumnya menghangat. Akibatnya, uap air terangkat dan membentuk awan Cumulonimbus.

“Ini tentu saja memberikan pemanasan optimal di wilayah Bandung dan sekitarnya,” kata Joko.

Ia juga tidak menampik pengaruh pembangunan perkotaan di wilayah Bandung telah menyumbang pertumbuhan awan Cumulonimbus lebih besar lagi.

Karena dengan pembangunan dan hunian manusia suhu yang berada di permukaan akan menjadi lebih hangat, mendorong konveksi lebih besar.

“Tim kami lihat perbedaan suhu ini membuat aliran yang semakin kencang dan cepat. Pembentukan Cumulonimbus bisa sangat cepat,” katanya.

Apakah ke depan makin banyak cuaca ekstrem di wilayah perkotaan?

Cuaca ekstrem yang disebabkan awan Cumulonimbus, seperti angin kencang, hujan deras, petir, dan hujan es kemungkinan akan sering terjadi di wilayah perkotaan Indonesia.

Hal ini dikarenakan wilayah perkotaan identik dengan bangunan-bangunan yang terdiri dari beton, kaca, aspal dan sejenisnya.

Bangunan ini lebih banyak menyerap radiasi matahari yang diterima dibanding yang dipantulkan.

“Radiasi yang diserap ini akan dilepaskan dalam bentuk panas yang terasakan sehingga meningkatkan suhu permukaan,” kata ahli klimatologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani.

Ia melanjutkan, karena wilayah perkotaan ini suhunya lebih panas dibandingkan wilayah sekitarnya, maka udara mengalami pemuaian dan renggang.

Dengan demikian, tekanan udara berkurang menjadi bertekanan rendah. Wilayah ini menjadi daerah tujuan angin, yang membawa awan dan hujan.

“Sehingga kejadian-kejadian cuaca ekstrem akan sering terjadi di daerah perkotaan (urban)," jelas Emilya.

"Walaupun daerah urban tidak banyak pepohonan sebagai sumber uap air, tetapi banyaknya proses pembakaran (mesin, transportasi, ac, pemasakan), merupakan sumber uap air di daerah perkotaan,” tambahnya.

Kenapa di perkotaan terkadang terasa gerah meskipun hujan?

Dalam setiap proses radiasi matahari mencapai permukaan Bumi, ada sisa berupa radiasi Bumi yang tersimpan menjadi panas laten.

Jumlah panas yang tersimpan ini bertambah setiap waktunya seiring terjadinya perubahan tutupan lahan.

Pada hal idealnya, antara radiasi yang masuk dan keluar harus seimbang.

Ia menambahkan potensi cuaca ekstrem bukan persoalan di Bandung dan sekitarnya saja, tetapi hampir semua daerah perkotaan Indonesia, bahkan dunia.

“Fenomena yang mendahului disebut dengan urban heat island (pulau bahang perkotaan) akibat perubahan tutupan lahan dari alami menjadi lahan terbangun," jelas Emilya. 

"Di Yogyakarta, kejadian angin kencang, apakah angin puting beliung ataupun angin ribut, merupakan cuaca ekstrem yang sering terjadi,” tuturnya kemudian.

Bahkan mulai awal tahun ini, frekuensi kejadian hujan lebat yang didahului dengan angin kencang sering terjadi.

“Bahkan curah hujan yang lebat masih diikuti suhu yang cukup panas setelah hujan berhenti, tidak seperti dulu yang sering kali setelah hujan kita merasakan adem,” jelas salah satu penulis buku Gerakan Aksi Proklim Indonesia.

Menurut Emilya salah satu upaya untuk menurunkan panas di wilayah perkotaan adalah membuka lahan hijau dan menanam pohon lebih luas.

"Mitigasi ini akan berpengaruh jika dilakukan oleh semua penduduk Bumi, walaupun butuh waktu yang panjang," katanya.

Apakah cuaca ekstrem ke depan akan semakin intens?

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum lama ini mengeluarkan kajian perubahan iklim 2021-2050 khusus di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) dengan teknik dynamic downscaling.

Downscaling adalah metode untuk mendapatkan informasi iklim atau perubahan iklim beresolusi tinggi dari model iklim global (GCM).

Hasilnya menunjukkan, kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan.

Kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan berdampak di wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan.

Lalu, kekeringan ekstrem di masa depan juga diperkirakan berdampak di wilayah Kalimantan bagian tengah, timur dan selatan - termasuk Ibu Kota Negara (IKN). 

Adapun Kalimantan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari yang lebih basah.

"Untuk Pulau Jawa, sebagian besar wilayah terancam mengalami suhu maksimum yang lebih tinggi dan suhu minimum yang lebih rendah khususnya untuk pantura Jawa Timur," kata Peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin dalam keterangan resminya.

Dalam cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia belakangan ini, Erma menuturkan sumber utamanya adalah suhu laut yang semakin hangat.

“Nah, lautan ini berperan penting dalam menghasilkan cuaca ekstrem,” katanya.

Laut yang dimaksud adalah Laut China Selatan, Laut Samudera Hindia, dan Perairan Laut Banda.

“Energi yang terus disuplai, sehingga hujan tak berhenti,” katanya. (*)

Tags : petir, puting beliung, banjir, cuaca ekstrem melanda, indonesia, perubahan iklim, bencana alam, lingkungan, alam,