Agama   2023/10/08 10:51 WIB

Dalam Berumah Tangga Diperlukan Keterbukaan dan Komunikasi Baik Antar Suami-Istri

Dalam Berumah Tangga Diperlukan Keterbukaan dan Komunikasi Baik Antar Suami-Istri

AGAMA - Sejatinya, dalam berumah tangga itu perlu dibangun keterbukaan dan komunikasi yang baik antar suami dan istri. Sikap inilah yang diharapkan bisa melahirkan ketenangan dan keharmonisan.

Lantas, bagaimana jika seorang istri pergi ke luar rumah tanpa izin suaminya? Apalagi misalnya jika ia pergi berhari-hari hingga melupakan kewajibannya sebagai istri?

Di dalam Islam, sikap seorang istri yang demikian disebut sebagai nusyuz.

Seperti yang dilansir dari kitab Fiqih Sunah karya Sayyid Sabiq, nusyuz sendiri merupakan sikap membangkang dan tidak patuh kepada suami, atau menolak diajak berhubungan badan, atau keluar rumah tanpa seizin suaminya.

Seorang istri yang melakukan nusyuz, maka harus dinasihati oleh suaminya.

Jika misalnya sang istri masih tidak mau berubah, maka ada hal-hal lainnya yang bisa dilakukan suami agar istrinya bisa menyadari kesalahannya dan mau memperbaiki diri.

Cara menangani istri yang nusyuz ini diterangkan Allah Swt. dalam surah An-nisa’ ayat 34 berikut ini:

Allah Swt. berfirman, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”

Dari ayat di atas, seorang suami berkewajiban menasihati istrinya terlebih dahulu apabila diketahui secara pasti bahwa istrinya melakukan nusyuz.

Nasihat yang disampaikan suami tentunya mengingatkan dengan hukum Allah Swt., memberikan istri peringatan atas kewajibannya untuk taat kepada suami dan hak-haknya yang lain, serta mengingatkan istri akan dosa yang akan diterimanya apabila membangkang/nusyuz kepada suami.

Suami pun menyampaikan bahwa apabila istri melakukan nusyuz kembali, maka konsekuensinya istri akan kehilangan hak-haknya seperti nafkah dan pakaian.

Jika seorang istri setelah dinasihati mengakui kesalahannya, berubah, dan kembali menaati suami, maka suami berkewajiban untuk menerima maafnya.

Selain itu, suami pun tidak menyusahkan istri misalnya dengan syarat-syarat yang sulit dipenuhi istri sebagai bentuk hukuman.  

Namun, apabila setelah dinasihati misalnya istri kembali mengulangi nusyuz dan tidak sadar-sadar dengan kesalahannya, maka seorang suami berhak menghentikan nafkahnya.

Selain itu, suami pun berhak untuk melakukan hajr  (memisahkan) istri dari tempat tidurnya (tidak tidur bersama/pisah ranjang, namun masih satu rumah) dan tidak berbicara dengan istri/mendiamkan istri maksimal hingga tiga hari.

Terkait mendiamkan istri maksimal tiga hari ini ada dalilnya. Yakni dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Seorang muslim tidak dibenarkan melakukan hajr (menghindari bicara) terhadap saudaranya lebih dari tiga hari.”

Kemudian apabila sang istri masih saja melakukan nusyuz padahal sudah dinasihati, dihentikan nafkahnya, hingga pisah ranjang dan didiamkan/tidak diajak berbicara maksimal tiga hari, maka tahap selanjutnya suami diperbolehkan untuk memukul istrinya.

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunahnya mengatakan, bahwa ketika memukul istri yang nusyuz, seorang suami harus menghindari bagian wajah dan bagian tubuh yang rawan.

Pukulannya pun bukan untuk merusak tubuh dan membuat istri terluka. Namun, pukulannya bertujuan untuk mendidik.

Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu;awiyah Al-Qusyairi, bahwa ayahnya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri yang wajib ditunaikan suami?” Rasulullah Saw. menjawab, “Memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak boleh memukul wajah dan menjelek-jelekkannya, dan jangan melakukan hajr (memisahkan) terhadapnya kecuali di dalam rumah.”

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang istri yang keluar rumah tanpa izin dari suami itu dilarang. Sebaiknya sebelum keluar rumah istri izin dulu sebagai bentuk ketaatan dan adab terhadap suami.

Komunikasi mendekat dengan pasangan

John Defrain dan tim (2019) menemukan bahwa keluarga yang kuat (strong family) di semua negara memiliki enam ciri yang sama.

Pada budaya manapun keluarga itu, kalau termasuk kategori keluarga kuat, selalu memiliki enam ciri tersebut. Salah satu dari enam ciri keluarga kuat adalah adanya komunikasi positif.

Selain menemukan enam ciri keluarga kuat, Defrain dan tim juga menemukan beberapa prinsip strong family. Salah satu prinsip keluarga kuat, dinyatakan Defrain dengan ungkapan, "Hubungan yang kuat antara pasangan merupakan hal sentral di banyak keluarga".

Inilah makna penting komunikasi positif, yang akan menciptakan kekuatan hubungan antara suami dan istri.

Komunikasi suami-istri adalah hal teknis namun sangat penting dalam membangun keharmonisan keluarga. Pada kenyataannya, sangat banyak pasangan yang sudah saling berkomunikasi rutin setiap hari tapi tidak selalu memberi dampak penguatan hubungan di antara mereka.

Tak jarang, komunikasi yang mereka lakukan justru berdampak saling menyakiti dan saling melukai. Oleh karena itu, ketika membahas urgensi komunikasi dalam kehidupan suami istri, harus ada keterangan tambahan yang menyertai.

Tidak cukup kita mengatakan, "Suami istri harus memiliki kebiasaan komunikasi setiap hari", karena komunikasi tidak selalu berdampak menguatkan hubungan.

Maka yang harus menjadi nasehat adalah, "Suami istri harus memiliki kebiasaan komunikasi positif setiap hari". Jadi, bukan sekedar komunikasi, namun harus komunikasi yang positif.

Kitab suci Al Quran mengarahkan agar pasangan suami-istri saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan positif.

Pada perintah "Wa 'asyiruhunna bil ma' ruf" dalam surat An Nisa' ayat ke 19, kata bil ma'ruf dalam ayat ini bermakna baik, patut, dan menyenangkan.

Dengan demikian, perintah mu'asyarah tidaklah sembarang mu'asyarah, namun harus bil ma'ruf. Sebuah interaksi dan komunikasi yang positif antara suami dan istri.

Dari mana kita melihat nilai positif dari komunikasi? Sebuah komunikasi antara suami dan istri dikatakan positif, paling tidak bisa dilihat dari empat sisi berikut.

Pertama, Positif dari sisi Tujuan: Ada suami yang berbicara dengan ketus kepada istri, dengan tujuan untuk mempermalukan sang istri. Ia sengaja melakukan itu supaya sang istri malu. 

Ada istri berbicara dengan kasar kepada suami, dengan tujuan untuk menjatuhkan kehormatan suami. Ia sengaja melakukan itu supaya sang suami wibawanya jatuh. Ini contoh tujuan komunikasi yang dari segi tujuan jelas negatif.

Komunikasi pasangan suami-istri disebut positif apabila memiliki tujuan untuk menghadirkan kebaikan, kebahagiaan, dan kenyamanan hubungan bersama pasangan, juga bertujuan mewujudkan keharmonisan keluarga. Inilah komunikasi yang positif dari sisi tujuan.

Suami dan istri berkomunikasi untuk membuat mereka semakin dekat dan semakin taat kepada Tuhan. Suami dan istri berkomunikasi untuk membuat mereka semakin saleh dan salehah.

Bukan komunikasi yang bertujuan untuk menjatuhkan, menjelekkan, menyerang, atau mengalahkan pasangan. Bukan komunikasi yang bertujuan untuk pelanggaran terhadap aturan. Yang seperti ini menjadi komunikasi negatif dari segi tujuan.

Kedua, Positif dari Sisi Konten: Ada suami berbicara dengan istri, mengondisikan dan meminta sang istri untuk melakukan kejahatan. Ada istri berbicara dengan suami, meminta sang suami untuk melakukan penipuan.

Contoh kejahatan atau penipuan itu misalnya suami dan istri berdiskusi untuk merancang tindakan yang melanggar hukum agama ataupun hukum negara, seperti korupsi, menyuap, mengambil yang bukan haknya, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Ini adalah komunikasi yang negatif dari sisi konten atau isi.

Al Quran surat Al Maidah ayat ke-2 mengarahkan, agar ta'awun (kerja sama) harus dibangun di atas landasan kebaikan dan ketakwaan. Jika prinsip ini dibawa ke dalam aktivitas  komunikasi suami istri, maka komunikasi dikatakan positif apabila isinya alal birri wat taqwa, kebaikan dan ketaqwaan. 

Demikian pula dalam surat Al Ashr ayat 1 - 3, terdapat arahan agar komunikasi dilakukan untuk saling menguatkan iman dan amal saleh, serta saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Komunikasi tidak boleh berisi hal yang mendatangkan dosa (itsmi) dan permusuhan (udwan), sebagaimana arahan surat Al Maidah ayat ke-2. Ini adalah komunikasi yang negatif dari sisi konten atau isi, karena berisi dosa dan permusuhan.

Termasuk pula komunikasi yang isinya hal-hal kotor serta dilarang agama, seperti menggujing atau mengghibah. Ini masuk kategori komunikasi negatif dari segi isi.

Ketiga, Positif dari Sisi Cara: Ada suami yang berbicara dengan cara membentak-bentak istri, wajah merah serta mata melotot. Ada istri berbicara dengan nada tinggi dan emosi, sambil menuding-nuding suami. Walaupun isinya hal-hal yang positif, jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat, maka bisa menjadi komunikasi yang negatif.

Cara komunikasi positif adalah dengan santun, lembut dan bijak. Al Qur'an mengarahkan agar kita selalu berlaku lembut dalam interaksi dan komunikasi.

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS. Ali Imran: 159).

Hasan Al Bashri mengatakan, "Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini."

Oleh karena itu, hendaknya suami dan istri menghindari komunikasi yang dari segi cara membuat mereka saling bermusuhan dan berjauhan. Menurut John M. Gottman dan Nan Siilver, ada empat pemisah jarak suami istri, yaitu kritikan, celaan, saling menyalahkan pasangan dan membangun benteng.

Keempat, Positif dari Sisi Suasana: Komunikasi suami dan istri akan sangat optimal hasilnya, apabila didukung oleh suasana yang positif. Ada pasangan suami istri yang berkomunikasi dalam suasana banjir emosi, atau dalam suasana yang tergesa-gesa.

Dampaknya mereka tidak bisa berbicara dengan tenang dan lega, karena terbawa oleh suasana kemarahan, emosi, atau tidak enaknya suasana. Maka pilihlah suasana yang nyaman untuk berkomunikasi. Yaitu suasana tenang, damai, lapang, serta tidak terbanjiri emosi.

Suasana emosi sangat tidak tepat untuk melakukan komunikasi. Itulah sebabnya, orang beriman diarahkan untuk bisa mengendalikan kemarahannya. 

Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda, "Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah".

Menciptakan suasana adalah bagian dari keterampilan yang perlu dimiliki suami dan istri. Mereka harus pandai "membaca suasana", kapan bisa berkomunikasi secara lapang dan nyaman. Memilih waktu dan tempat yang tepat, bisa membantu terciptanya suasana yang positif untuk berkomunikasi.

Kelima, Positif dari Sisi Hasil: Ada pasangan suami-istri yang rutin berkomunikasi, namun selalu berujung kepada kemarahan dan sakit hati. Suami dan istri justru semakin menjauh, semakin berjarak, karena rutin mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari pasangan.

Untuk itu, komunikasi suami istri harus positif, yaitu komunikasi yang hasilnya mampu melegakan, mendekatkan, membahagiakan pasangan.

Komunikasi disebut positif apabila menghasilkan semakin kuatnya keimanan, semakin bagusnya ketakwaan, semakin indahnya hubungan dengan pasangan.

Komunikasi disebut negatif apabila menghasilkan semakin kuatnya kemarahan, kemaksiatan dan mencerai beraikan hubungan dengan pasangan. Komunikasi positif itu mendekatkan dan menyatukan. Komunikasi negatif itu menjauhkan dan memisahkan.

Demikianlah beberapa sisi yang bisa dihadirkan dalam komunikasi suami istri, agar bisa bernilai positif. Dengan komunikasi positif ini, hubungan dengan pasangan semakin kuat, dan akan menyebabkan ketahanan keluarga menjadi semakin kuat pula. (*)

Tags : berumah tangga, rumah tangga suami-istri, berumah tangga perlu keterbukaan dan komunikasi, komunikasi antar suami-istri, komunikasi, positif,