"Bekas tambang batu bara yang sudah ditinggalkan perusahaan hingga kini belum direklamasi sempat menelan korban jiwa"
okasi bekas tambang batu bara berada di Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau hingga sampai hari ini ditengah pandemi masih terlihat dengan jelas menyisakan lubang-lubang kawah besar digenangi air hingga sempat merengut nyawa.
Perusahaan yang memiliki izin penambangan sudah hengkang dari Riau alias tidak melanjutkan penambangan, walau sisa izinnya masih ada tak bisa bertanggungjawab.
Lokasi tambang bak seperti 'danau biru' nan luas sedalam puluhan meter bahkan ratusan meter tidak kunjung ditutup.
"Kemampuan pemerintah untuk memaksa perusahaan tambang batu bara menjaga keamanan lubang bekas galian tambang pun tak kelihatan."
"Seperti bekas tambang batubara raksasa yang ada di Inhu itu," kata Abdi Haro ST MT, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadistamben) Riau dalam bincang-bincannya di kediaman rumah Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Investigation Corruption Indonesian [ICI] di Pekanbaru belum lama ini.
Bumi Inhu sebelumnya telah 'diduduki' 30 perusahaan tambang batubara yang beroperasi disana.
Sebelumnya telah tercatat dan terdata oleh pemerintah setempat termasuk masing-masing yang memilki luasan areal kerja.
Akan tetapi PT Riau Bara Harum (RBH) yang paling menonjol dan menjadi perhatian masyarakat dimana bekas lubang-lubang tambang batubara di Kecamatan Batang Gangsal yang pernah menelan korban jiwa sempat menjadi sorotan tajam.
Apa yang terjadi pasca ditinggalkan perusahaan?
Bekas galian tambang yang sudah ditinggalkan dua tahun silam hingga kini menjadi kubangan raksasa, diakui Abdi Haro dalam bincang-bincang sore itu dikediaman H Darmawi Werdana Zalik Aris Bakernas ICI.
Tak tanggung-tanggung, kedalaman galian tambang mencapai 100 meter di bawah permukaan tanah.
Tercatat, ada puluhan lokasi bekas tambang yang menganga yang statusnya di kawasan hutan produksi tersebut.
Perusahaan PT RBH telah membayarkan dana reklamasi kepada Menteri ESDM. Walau dana reklamasi sudah di tangan pemerintah pusat, namun hingga hari ini lubang raksasa itu dibiarkan menganga.
Sebelumnya, masa operasional perusahaan juga pernah terjadi 'ketegangan' dengan pihak Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Riau.
Disebutkan RBH absen mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Dishut mengimbau agar perusahaan menghentikan sementara operasionalnya. Masa Kepala Dishut Riau dijabat Zulkifli Yusuf mengakui, perusahaan PT RBH sejauh ini hanya mengantongi izin prinsip dalam operasionalnya.
"Namun perusahaan tersebut belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan yang menjadi kewenangan Menhut."
Waktu itu, Zulkifli juga mengakui izin prinsip perusahaan memang sudah dimiliki, namun yang namanya izin pinjam pakai kawasan hutan belum ada.
Hingga berakhir tim pun diturunkan ke lapangan [lokasi pertambangan batubara RBH yang dilokasi masih terlihat bekerja.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Riau, Hariansyah Usman juga sempat mendesak Polda Riau untuk segera mengusut tindak pidana bidang kehutanan yang telah dilakukan PT RBH.
Menurut Walhi, perusahaan ini telah beroperasi sejak tahun 2005 dengan luas konsesi sekitar 24 ribu hektar, dan ternyata tidak memiliki izin pinjam pakai hutan dari Menhut.
"Yang telah dilakukan PT RBH merupakan tindak pidana bidang kehutanan."
"Karena itu sudah semestinya Polda Riau mengusut masalah ini," pinta Hariansyah.
Pada lokasi pertambangan kini bagaikan lautan yang sangat membahayakan nyawa manusia.
Sampai sejauh ini pemerintah daerah melalui Distanben Inhu belum terlihat untuk mendesak pihak-pihak terkait untuk melakukan penutupan kawah atau sisa tambang batu bara milik PT RBH.
H Darmawi Werdana Zalik Aris SE dari Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Investigation Corruption Indonesian [ICI] juga mengakui dengan dibiarkan sisa penambangan yang menganga penuh dengan luapan air ini sangat berbahya sekali.
"Dengan tidak di timbun atau di beri pengamanan disekelilingnya jelas berbahaya."
"Distamben Inhu tidak memiliki niat kuat untuk mendesak perusahaan melakukan penutupan demi mejaga kelestarian lingkungan," sebut Darmawi menyikapi.
Menurutnya, sebagai intansi yang terkait seharusnya memberi teguran dan sanksi terhadap PT RBH yang telah merusak lingkungan.
Ungkapan Darmawi juga diamini Abdi Haro.
Abdi Haro sendiri menilai ada ratusan bekas galian batubara menimbulkan kawah yang besar kedalamannya mencapai puluhan hingga ratusan meter yang nyaris tanpa ada reklamasi kembali oleh pihak perusahaan.
"Perusahaan itu sudah hengkang dari Riau alias tidak melanjutkan penambangan."
"Walau sisa izinnya masih ada, saya pernah melihat beberapa lokasi bekas gilian tidak dilakukan reklamasi oleh pemerintah pusat," sebutnya membenarkan.
Abdi Haro mengaku lokasi itu sangat berbahaya. "Kita dapat laporan dari masyarakat setempat, bekas galian tambang batu bara itu sudah menelan korban jiwa," sebutnya.
"Pernah seorang warga tewas karena masuk bekas galian," kata mantan Kadistamben Riau ini.
Darmawi yang juga pernah melihat pada lokasi bekas tambang menimpali, bekas galian tambang batu bara itu bak menjadi danau kawah besar.
Galian yang dalam tertutup air, dan sekilas dilihat sepertinya dangkal, ujarnya.
"Padahal kedalaman galian rata-rata 100 meter. Ini sangat berbahaya sekali," ujarnrya.
Mestinya, sejak dulu pemerintah pusat bertanggung jawab untuk mereklamasinya demi keselamatan lingkungan," katanya lagi.
Beberapa aktivis lingkungan di Riau membawa persoalan itu ke pengadilan negeri setempat.
Mereka menggugat Menteri KLHK, perusahaan batu bara, Menteri ESDM dan Bupati Inhu. Sebagian gugatan pun dikabulkan mejelis hakim.
Atas putusan itu, Menteri ESDM pun banding. Di mana dalam putusannya PN Rengat pada November 2017 lalu, menghukum Menteri ESDM melakukan reklamasi dan penanaman kembali di lokasi eks tambang batu bara itu.
"Yang menjadi pertanyaan kita, dalam sidang itu terungkap, bahwa perusahaan sudah menyetorkan dana reklamasi ke Menteri ESDM."
"Lantas ke mana uang reklamasi itu," tanya Darmawi yang juga menyaksikan persidangan tersebut.
Yayasan Riau Madani melalui Surya Dharma Hasibuan SH MH pernah melakukan gugatan ke Pengadilan.
Riau Madani dalam tuntutannya menyalahkan tidak adanya standar keamanan di sekitar lubang-lubang bekas tambang yang sudah berubah mirip danau biru.
Aktivis itu mencatat, selain sudah merengut nyawa, bekas galian tambang lebih puluhan yang tersebar di lokasi.
Seorang pejabat Dinas ESDM di Riau mengatakan pemerintah telah meminta perusahaan melakukan pengawasan terhadap lubang-lubang bekas tambang namun mengakui bahwa "belum semua terjangkau".
Insiden hingga merengut nyawa dibekas galian tambang membuat sejumlah media lokal menyebut korban adalah pelajar SMP di Inhu.
Namun pihak ESDM setelah mendengar peristiwa itu langsung mengerahkan tim inspektur tambang untuk melakukan investigasi.
Peraturan Pemerintah 78 tahun 2010 menyatakan setiap perusahaan harus menyusun rencana pascatambang atau RPT.
Inspektor tambang juga telah memastikan dalam dokumen RPT apakah lubang yang ditinggalkan ini ada rencana ke sana untuk [obyek wisata], tanya para tokoh di Inhu.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Riau, Hariansyah Usman juga mempertanyakan jika pemerintah daerah ingin menjadikan bekas galian tambang yang sudah berubah seperti "Danau Biru".
"Jika dibiarkan terbuka menganga dikhawatirkan masyarakat setempat mengira dan dianggap sebagai obyek wisata."
Namun, berdasarkan pengamatan Walhi, tampak tidak ada pengawasan di wilayah tersebut. "Dari visual yang kami dapatkan, tidak ada protokol-protokol keamanan diberlakukan," katanya.
"Tidak ada papan peringatan yang menyatakan betapa berbahayanya kawasan tersebut jika dimasuki masyarakat, tidak ada pagar pembatas yang memisahkan dan menyulitkan masyarakat untuk mengakses, dan tidak ada pos jaga yang memastikan protokol keamanannya diberlakukan," sebut Hariansyah.
Padahal, standar-standar keamanan tersebut telah disepakati dalam Pakta Integritas yang ditandatangani pada tahun 2005 oleh pemerintah dan perwakilan perusahaan tambang.
"Tetapi kan faktanya di lapangan, setelah pakta integritas ditandatangani, hingga hari ini pada lokasi telah merengut nyawa yang menewaskan orang di lubang tambang yang tidak semua belum terungkap," sebutnya.
"Kita pertanyakan sejauh mana [Pakta Integritas] mampu memaksa perusahaan-perusahaan itu mematuhi komitmen mereka," kata pihak Walhi lagi.
Pasal yang menjadi 'mesin pembunuh'
Ketua Yayasan Riau Madani melalui Surya Dharma Hasibuan SH MH lebih jauh menyalahkan Undang-Undang Minerba atas masalah lubang tambang.
"Pasal 99 UU No. 3 Tahun 2020 dianggap memberikan celah bagi perusahaan tambang untuk tidak menutup seluruh lubang bekas tambang."
"Justru dengan adanya pasal tersebut itu menjadi 'mesin pembunuh' bagi rakyat di Inhu khususnya di Batang Gansal," kata Surya Dharma.
Selain itu, menurutnya, Keputusan Menteri ESDM tahun 2018 menyebutkan program reklamasi dapat dilaksanakan dalam bentuk revegetasi (penanaman tumbuhan kembali) atau peruntukan lainnya antara lain pariwisata, sumber air, dan area pembudidayaan.
Surya Dharma Hasibuan menuding beleid itu memungkinkan perusahaan untuk "lari dari tanggung jawab pemulihan" yang seharusnya dibebankan kepada mereka.
"Seharusnya reklamasi itu bentuknya adalah penutupan dan pemulihan namun dalam terjemahan yang baru itu Kementerian ESDM memberikan ruang agar tidak melakukan penutupan tapi bisa dijadikan peruntukan lain," dijalaskannya dimana menurut catatannya, pada tahun 2018 terdapat sekitar puluhan lubang tambang yang tersebar di kabupaten itu.
Pihak Dinas ESDM Riau juga diminta mencatat seluruh tambang-tambang di Riau yang izinnya masih berlaku diawasi secara periodik oleh inspektur tambang dari Kementerian ESDM.
Sementara di dalam perusahaan, kepala teknis tambang menjadi perwakilan pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap lubang-lubang yang masih ada di dalam konsesinya.
Surya Dharma Hasibuan berkata; pemerintah seharusnya mewajibkan perusahaan untuk memasang rambu-rambu seperti dilarang mandi, dilarang memancing, dilarang bermain di sekitar lubang tambang.
Untuk perusahaan-perusahaan yang masih aktif, tiap kepala teknis tambang melakukan monitoring secara kontinyu terhadap lubang-lubang tersebut. "Tapi memang kita harus akui belum semua terjangkau ya," katanya.
Bagaimanapun, Surya Dharma Hasibuan mengatakan bahwa insiden terbaru di Kabupaten Inhu menambah bukti bahwa kebijakan tidak menutup lubang tambang dan mengalihfungsikannya ternyata tidak menjadi solusi.
"Inhu itu darurat lubang tambang dan harusnya bukan ditambah tapi semakin dikurangi," tegasnya.
Ancaman lubang tambang
Di lahan yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pohon keras warga yang ditanam disebagaian lahan dibekas hutan produksi, kini ada lubang besar menganga.
Dameternya sekitar 30 meter dan memiliki kedalaman 15 meter, lubang itu dengan cepat terisi air.
"Lubang lubang itu bukan satu-satunya di dekat pemukiman rumah penduduk," sebut Hendri warga Desa Sungai Akar ini.
Dia juga terus menerus mengkhawatirkan akibat lubang kawah besar yang diduganya bekas tambang galian batubara yang digenangi air.
Tetapi genangan air di lubang mengeluarkan aroma zat yang bisa saja mengganggu kesehatan warga sekitar, sebut Hendrik.
Menurutnya, dalam waktu beberapa pekan, lusinan lubang serupa bermunculan di sekitar desa Sungai Akar dan tetangganya, di Desa Talang Lakat.
"Lubang yang ada di luar rumah muncul pada 5 Januari tahun silam, banyak lubang muncul di sekitar desa mengejutkan dan membingungkan warga."
"Bahkan ditengah wabah virus corona saat ini membuat genap lingkungan permukiman menjadi tidak sehat," kata Hendri menceritakan melalui ponselnya, Kamis (29/7).
Dia mengakui lubang besar masih ada yang menganga tersebar di area seluas 10 kilometer persegi, dengan lubang baru terus bermunculan.
"Lubang menganga itu mengubah desa kami menjadi layaknya 'keju Swiss' jika dilihat dari udara."
"Ada lubang membesar bahkan tiga kali lipat, saat pertama kali muncul, lebarnya hanya 10 meter, namun setelah itu kian membesar yang diperkirakan hampir 200 meter," kata Hendrik menceritakan.
"Istri saya berada di rumah sepanjang pagi, sesekali melihat melalui jendela, tetapi lubang lubang besar teta seperti semula," kata Hendri lagi.
Sesekali Ia bersama istrinya sekitar jam 2 siang melihat lobang besar yang mengaga itu.
"Kami pergi ke luar dan ada lubang besar di kebun kami. Selama satu tahun terakhir ini, ukuran lubang itu semakin besar tiga kali lipat," ujarnya.
Tetapi keluarga Hendri termasuk yang beruntung. Lubang yang tak jauh dari rumahnya di daerah itu menganga tidak sampai menimbulkan korban, namun diakuinya belum mendorong para pejabat untuk mempertimbangkan mengevakuasi desa.
Lubang yang lain muncul di desa diduga bekas galian tambang milik RBH diposisi bekas hutan dan ladang pertanian di sekitarnya, di mana salah satunya, menurut beberapa rumor lokal, hampir menelan petani lokal dan traktornya.
Jumlah lubang runtuhan yang luar biasa banyak di satu tempat telah menarik perhatian beberapa aktivis lokal dan provinsi yang ingin memahami bagaimana lobang yang begitu besar bagaikan danau biru.
"Tidak ada yang mengharapkan munculnya begitu banyak lubang bekas galian tambang, yang ada akan mengacam keselamatan nyawa orang dan merusak lingkungan," kata Darmawi menilai.
10 pengacara dampingi warga
Bagaimanapun juga lobang-lobang bekas galian pertambangan batubara selain merugikan warga setempat yang berakhir juga merusak lingkungan membuat sepuluh orang pengacara yang tergabung dalam tim Advokasi Lingkungan Hidup Riau pernah mendampingi gugatan warga empat desa di wilayah Batang Gansal, Indragiri Hulu, Riau, di mana sebelumnya di tempat tersebut beroperasi PT Riau Bara Harum (RBH).
Gugatan dilayangkan di Pengadilan Negeri (PN) Rengat ditujukan kepada empat unsur kuat pemerintah. Keempat instansi yang digugat yakni Kementerian ESDM bidang urusan energi dan sumber daya mineral sebagai tergugat I. Kementrian ESDM bidang urusan Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tergugat II, Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hulu.
Alasan gugatan antara lain, bahwa PT RBH merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industri batu bara dan memperoleh konsesi pertambangan seluas 24.450 hektar berdasarkan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan (PKP2B) pada tahun 1993-1996.
Selain itu Menteri ESDM telah menerbitkan keputusan No 464.K/40.0/M3P/2005 tentang permulaan tahap kegiatan PKP2B PT RBH. Tak hanya itu, sebagian besar wilayah RBH merupakan wilayah hutan, namun telah diterbitkan izin dari Menteri Kehutanan tahun 2005 terkait izin pemakaian kawasan hutan dengan status pinjam pakai selama 5 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan evaluasi.
Namun pada tahun 2014, aktifitas RBH telah berhenti dengan tidak adanya lagi kegiatan-kegiatan pada kantor-kantor RBH. Perusahaan itu telah meninggalkan 12 kolam bekas tambang yang terdiri dari 7 kolam bekas Kelurahan Pangkalan Kasai, 2 kolam di Desa Kelesa, 3 kolam bekas tambang di Desa Siambul.
"Setelah tidak lagi beraktivitas, RBH tidak menjalankan tanggung jawab mereka untuk melakukan reklamasi, bahkan satu aliran sungai yakni Kinutan telah tertutup, padahal banyak masyarakat menggantungkan hidup pada sungai tersebut," tegas tim Advokasi Lingkungan Hidup Riau atas gugatan warga negara (citizen law suit), Indra Wijaya SH MH didampingi rekannya lainnya di Pematang Reba, Senin (2/10) lalu.
Tidak adanya informasi akan bahayanya air kolam bekas tambang RBH tersebut bahkan akibat dari longsor bekas galian dan lobang, telah menewaskan satu warga tewas dan dua lainnya luka-luka dan sebagian besar galian berada dikawasan hutan yang izinnya dikeluarkan oleh tergugat II.
Akibat dari bekas tambang tersebut juga telah merugikan para penggugat dan masyarakat umum serta kepentingan kelestarian lingkungan hidup, seperti sulitnya air bersih.
"Padahal dana reklamasi yang ada pada kementrian ESDM sudah di cairkan, namun reklamasi tak kunjung dilaksanakan," sebut Indra.
Menurutnya, gugutan yang disampaikan ke Pengadilan Negeri Rengat (PN) LBH Pekanbaru kemarin itu merupakan perwakilan warga yang dikuasakankan kepadanya. Sehingga dari sidang yang begulir sejak Februari 2017 lalu sudah memasuki pemeriksaan saksi-saksi hingga berlanjut pada sidang memasuki agenda sidang lapangan.
Dalam gugatan atas penambangan batu bara yang mengakibatkan danau-danau yang cukup luas itu terdapat empat instansi pemerintahan. Diantara instansi yang digugat itu yakni Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Inhu.
Dimana pihaknya menilai instansi pemerintah tersebut telah lalai dalam pemberikan izin. Sehingga pihak penambang batu bara sejak tahun 1996 lalu hingga 2014 berakhirnya izin, tidak menjalankan tugasnya untuk melakukan reklamasi.
“Izin dalam bentuk Perjanjian Penguasaan Kerjasama Penambangan Batubara (P2KB) diberikan hingga tahun 2025,” ungkapnya.
Pencabutan izin baru dilakukan Kementerian ESDM pada tahun 2014 lalu, ketika pihaknya melayangkan surat atas kerusakan alam yang dilakukan oleh penambang batubara.
Sedangkan upaya reklamasi sejak dilakukan penambangan belum ada terlihat. Begitupun pihaknya juga dapat mengetahui adanya uang jaminan dari perusahaan untuk pelaksanaan reklamasi.
Bahkan dana tersebut sebagian telah dicairkan oleh pihak Kementerian ESDM, namun tetap saja belum dilakukan reklamasi.
Indra berharap putusan hakim hendaknya dapat memutuskan agar dilakukan reklamasi terhadap kawasan yang sudah menjadi danau tersebut. Karena hal ini dapat mengancam keselamatan warga disekitar lokasi bekas penambangan tersebut. (rp.sdp/*)
Tags : Lubang Tambang, Batubara, Bekas Lubang Tambang jadi Danau, , Inhu, Riau, Sorotan, Lubang Tambang Mengundang Maut, PT Riau Bara Harum,