"Semua kepala daerah dalam satu bulan ke depan diwajibkan mencabut peraturan yang mereka buat tentang pemakaian seragam dan atribut khas agama tertentu di sekolah"
ewajiban tentang pemakaian seragam dan atribut khas agama tertentu di sekolah kini disepakati pencabutannya oleh Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri, yang disahkan Rabu 3 Februari 20201. Namun ketentuan yang wajib dicabut itu tidak termasuk peraturan daerah (perda) yang disusun gubernur, bupati, atau wali kota bersama DPRD.
Masyarakat diminta menggugat ke Mahkamah Agung jika merasa dirugikan oleh perda yang bernuansa intoleran. Bagaimanapun, pegiat pendidikan menilai SKB tiga menteri soal seragam ini tidak cukup untuk menghentikan praktik intoleran di sekolah. Kebijakan yang komprehensif disebut penting untuk menjamin keberagaman di institusi pendidikan.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengklaim sudah tidak ada lagi peraturan setingkat perda yang mewajibkan pelajar memakai atribut agama tertentu. Kalaupun ada, kata Bahtiar, hanya Mahkamah Agung yang dapat membatalkan perda semacam itu. "Mahkamah Konstitusi menyatakan itu hanya bisa diuji di Mahkamah Agung, jadi kalau ada yang merasa dirugikan atau tidak setuju, silakan bawa ke sana," ujarnya seperti dirilis BBC News Indonesia, Kamis (4/2).
"Setahu saya tidak ada. Perda apa, nomor berapa? Kalau ada kejadian, itu bukan karena perda tapi kejadian insidental," kata Bahtiar.
Dalam hierarki peraturan perundang undangan, ketentuan soal seragam yang disasar SKB Tiga Menteri berada di bawah perda. Mengacu poin keempat surat keputusan itu, yang wajib dicabut adalah yang dibuat kepala daerah dan kepala sekolah, baik yang wujudnya peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan, maupun imbauan tertulis. Sementara merujuk catatan Kementerian Hukum dan HAM, ada delapan perda soal pakaian muslim/muslimah untuk masyarakat, termasuk pelajar. Lima di antaranya dibuat kabupaten/kota di Sumatra Barat, yaitu Agam, Lima Puluh Kota, Sawahlunto, Pasaman, dan Solok. Sementara tiga perda lainnya ada di Batam, Maros, dan Bulukumba.
Tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 perda yang mereka anggap bermasalah. Delapan perda soal pakaian muslim/muslimah tadi tidak termasuk di antaranya. Dan sejak Juni 2017, Mahkamah Konstitusi tidak lagi berwenang mencabut perda yang diproduksi oleh kepala daerah bersama DPRD. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Barat, Adib Alfikri, menyebut pihaknya akan menjalankan kewajiban yang diatur dalam SKB Tiga Menteri, tapi dengan penyesuaian tradisi di daerahnya. "Aturan itu akan segera kami sikapi dengan baik. Kalau memang sudah begitu aturannya, ya akan kami ikuti," ujarnya.
"Tapi tergantung pelaksanaannya, orang mau pakai jilbab atau tidak, tidak bisa juga kami halangi. Kami sedang mengkaji SKB itu. Mungkin nanti akan ada penyesuaian dengan kearifan lokal yang ada di Sumatra Barat," kata Adib.
Tapi apakah SKB Tiga Menteri ini cukup untuk mencegah intoleransi di sekolah? Menurut Muhammad Mukhlisin, pegiat pendidikan di Yayasan Cahaya Guru, perlu solusi yang komprehensif untuk menekan kejadian intoleran di sekolah. Salah satu strategi yang disebut Mukhlisin adalah memasukkan implementasi prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur UU Sisdiknas sebagai salah satu faktor dalam akreditasi sekolah.
Prinsip itu menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa. "Akreditasi sekolah memberikan porsi yang sedikit untuk itu. Selama ini hanya tentang fasilitas yang dimiliki sekolah," kata Mukhlisin. "Menteri Nadiem Makarim, misalnya, sekarang memperkuat penggunaan teknologi untuk pembelajaran jarak jauh. Teknologi itu sarana dan dapat berubah setiap waktu.
"Ki Hajar Dewantara pernah berakta bahwa harus ada yang berubah dalam pendidikan, tapi ada juga yang harus dipertahankan. Dan menurut saya, yang harus dipertahankan adalah nilai demokratis dan keadilan yang menjungjung tinggi kemajemukan," ujarnya.
Selain itu, Mukhlisin juga mendorong pemerintah membuat kurikulum khusus agar para calon guru dapat memahami dan mengelola keberagaman. "Toleransi tidak cukup diajarkan dengan memberi pemahaman, ajak calon guru bertemu komunitas yang berbeda agama dengan mereka. Kasus intoleransi di sekolah terjadi karena guru tidak terbiasa dengan keragaman. "Guru adalah ujung tombak pendidikan. Sejauh apapun peraturan intoleran ditertibkan, belum tentu berdampak jika guru tidak menyadari makna dari peraturan itu," kata Mukhlisin.
SKB tiga menteri soal seragam ini dibuat setelah seorang siswi di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, dipaksa mengenakan jilbab oleh pimpinan sekolahnya. Pimpinan sekolah negeri itu berdalih menjalankan Instruksi Wali Kota Padang tahun 2005 tentang aturan berpakaian muslim/muslimah bagi pelajar, yang sebenarnya tidak membebankan kewajiban bagi siswa-siswi non-Islam. Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan, larangan memaksakan atribut agama ini tidak berlaku untuk tenaga pendidik dan peserta didik beragama Islam di Aceh. Alasannya, provinsi itu diperbolehkan menerapkan hukum syariat Islam. (*)
Tags : SKB Tiga Menteri, Peraturan Soal Seragam Sekolah, Dimasa Pandemi Covid-19,