Internasional   2021/02/28 14:14 WIB

Ditengah Protes Anti-Kudeta, Apakah Asia Bisa Membantu Krisis Politik di Myanmar?

Ditengah Protes Anti-Kudeta, Apakah Asia Bisa Membantu Krisis Politik di Myanmar?
Menlu Indonesia Retno Marsudi (kiri) dan Menlu Thailand Don Pramudwinai (tengah) bertemu Menlu Myanmar Wunna Maung Lwin di Bangkok.

INTERNASIONAL - Kedatangan Menteri Luar Negeri Myanmar yang ditunjuk pemerintahan junta militer, Wunna Maung Lwin, ke Bangkok, Thailand, Rabu (24/02) lalu, menandai dimulainya upaya diplomatik yang pelik untuk Asia Tenggara.

Apa-apa saja yang dibahas Maung Lwin saat bertemu Menlu Indonesia, Retno Marsudi dan Menlu Thailand, tidak diumumkan ke publik. Seperti dirilis BBC News Indonesia, pembicaraan resmi pertama dengan seorang anggota senior pemerintahan junta Myanmar juga berlangsung begitu rumit. Ketika ditanya tentang kontak itu, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha bahkan sampai tidak bersedia mengkonfirmasi kontak itu benar-benar terjadi.

Untuk setiap negara yang memiliki kepentingan dengan situasi di Myanmar, krisis usai kudeta militer memunculkan persoalan yang sangat amat sulit. Respons negara-negara dengan kekuatan militer dan ekonomi adidaya menarik banyak perhatian. Sanksi dijatuhkan pemerintah Amerika Serikat. Uni Eropa juga tengah mempersiapkan sanksi untuk Myanmar.

Sementara itu, China mengeluarkan pernyataan diplomatis yang sebenarnya bisa ditebak. Mereka mendesak semua pihak untuk menyelesaikan persoalan secara damai. Namun China mendukung pernyataan Dewan Keamanan PBB versi revisi. Pernyataan itu tidak mengutuk kudeta, tapi menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan agar prinsip demokrasi kembali ditegakkan di Myanmar.

Bagaimanapun, itu menunjukkan bahwa China tidak sepakat dengan kudeta yang terjadi. Namun, baik AS dan China tidak memiliki banyak opsi untuk turut menangani krisis di Myanmar. Pengaruh AS sudah berkurang di Asia Tenggara, jauh lebih rendah dibandingkan saat terakhir kali mereka menjatuhkan sanksi ekonomi yang masif kepada Myanmar pada dekade 1990-an.

Namun sanksi memang melumpuhkan ekonomi Myanmar tersebut tidak terlalu mempengaruhi beragam keputusan yang diambil pemerintahan junta kala itu. Sanksi terbatas saat ini hanya menyerang pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kudeta dan juga bisnis angkatan bersenjata Myanmar. Namun sanksi itu juga tidak akan secara masif mengubah orang-orang yang kini berkuasa di Myanmar.

Krisis Myanmar terjadi pada masa-masa awal pemerintahan Joe Biden di AS, tepat ketika ia mulai merumuskan pendekatan baru terhadap kawasan Asia-Pasifik. Formula yang disusun Biden itu seharusnya menekankan nilai-nilai demokrasi dan juga kerja sama dengan mitra di kawasan, antara lain sepuluh anggota ASEAN. Meski begitu, seperti halnya China, ASEAN tidak akan menyetujui pendekatan berdasarkan sanksi dan kecaman terhadap junta militer Myanmar.

China terlihat seperti pemenang dari kudeta di Myanmar. Mereka adalah negara adidaya yang bersedia bekerja sama dengan rezim baru serta terus memasok senjata dan modal investasi. Namun, bukan rahasia lagi bahwa China lebih nyaman berurusan dengan pemerintahan yang dipimpin Suu Kyi, yaitu Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Hubungan China menjadi semakin hangat dengan NLD. Hal sebaliknya terjadi pada hubungan China dengan rezim militer yang tidak dapat diprediksi. Militer Myanmar secara historis memiliki ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pengaruh tetangga besar mereka ini, terutama soal keberadaan beberapa pemberontak bersenjata di garis perbatasan mereka.

Namun banyak orang di Myanmar yakin bahwa China mendukung pemerintah junta militer. Ini memicu sentimen anti-China di antara jutaan warga Myanmar yang sekarang memprotes kudeta. Situasi itu memaksa pemerintah China angkat suara untuk menyangkal rumor bahwa mereka membantu militer Myanmar membangun sistem keamanan jaringan internet atau mengirim pasukan khusus untuk turut menumpas pengunjuk rasa.

Penolakan menggebu-gebu terhadap kudeta juga menimbulkan momok berupa ketidakstabilan jangka panjang di Myanmar. Ini mengancam kepentingan ekonomi dan urusan strategis China yang substansial di sana. Atas semua alasan ini China berupaya melangkah secara sangat hati-hati. Sementara itu, PBB memiliki catatan tidak menyenangkan di Myanmar. Utusan khusus mereka gagal mempromosikan iklim demokrasi selama dua dekade terakhir, setelah pemberontakan tahun 1988.

Sebagian besar upaya pelapor hak asasi manusia PBB untuk Myanmar juga tidak membuahkan hasil. Ada pula kontroversi soal badan-badan PBB yang tutup mulut atas penindasan etnis Rohingya yang memicu eksodus massal tahun 2017. Utusan khusus PBB untuk Myanmar saat ini merupakan diplomat asal Swiss, Christine Schraner Burgener. Dia memiliki tugas berat untuk menemukan siasat kompromi yang dapat membawa mengeluarkan Myanmar dari konfrontasi militer dan sipil.

Burgener sedang berusaha bertemu perwakilan pemerintah junta militer. Akan tetapi, pertemuan itu akan sangat tergantung pada keberhasilannya menemui Aung San Suu Kyi. Lokasi penahanan pimpinan Partai NLD itu tidak diketahui publik. Dalam situasi seperti itu, Burgener tidak dapat memberi pengakuan formal apapun kepada junta.

Burgener juga membawa mandat dari Sekjen PBB, Antonio Guterres, yang menyatakan bahwa kudeta harus digagalkan. Pernyataan itu akan menyulitkan Burgener mendapatkan kepercayaan dari para jenderal. Tidak banyak kalangan percaya bahwa pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, bersedia membahas penyerahan kekuasaan yang baru saja dia rebut.

Beberapa bawahannya mungkin tidak setuju dengan kudeta tersebut dan menyadari risiko besar yang ditimbulkannya terhadap Myanmar. Namun perbedaan pendapat di internal angkatan bersenjata Myanmar jarang sekali terekspos ke publik. Aung San Suu Kyi, yang sikap keras kepalanya dapat mengatasi masa tahanan rumah selama 15 tahun mungkin lebih enggan berkompromi ketimbang para jenderal yang menggulingkannya.

Dampak negatif kudeta militer Myanmar yang mempersulit upaya negoisasi terlihat dalam upaya Indonesia memulai inisiatif ASEAN di Myanmar. ASEAN menghadapi tantangan berat dalammengatasi krisis ini. Asosiasi negara Asia Tenggara ini terikat pada mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Setiap anggota ASEAN juga tidak dapat campur tangan dalam urusan dalam negeri anggota lainnya.

Walau begitu, inisiatif harus diambil karena konfrontasi dan pertumpahan darah akan berdampak serius bagi stabilitas dan reputasi ASEAN, khususnya terhadap negara seperti Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Otoritas Thailand sudah menyiapkan kemungkinan muncul pelarian dari Myanmar yang melintasi perbatasan.

Thailand, Vietnam, Kamboja, dan pada awalnya bahkan Filipina, yang pernah menjadi negara anggota paling liberal dalam bidang hak asasi manusia dan demokrasi, menolak mengkritik kudeta itu. Mereka menggambarkannya sebagai masalah internal Myanmar. Singapura, investor asing terbesar di Myanmar, lebih tegas lewat pernyataan yang mengungkapkan "keprihatinan besar".

Singapura menyebut penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa sebagai tindakan yang "tidak bisa dimaafkan". Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN yang dulu kerap mengambil peran utama dalam penyelesaian masalah seperti konflik Kamboja pada 1980-an. Indonesia mulai melangkah untuk mencoba mencari jalan keluar dari krisis Myanmar. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah salah satu figur yang paling berpengalaman di kawasan ini. Dia aktif mencari solusi untuk krisis Rohingya empat tahun lalu.

Namun Indonesia jauh dari Myanmar. Indonesia tidak berbagi perbatasan dengan Myanmar dan tidak memiliki kepentingan ekonomi atau strategis besar di sana. Bagaimanapun, sebagai negara besar multi-etnis yang angkatan bersenjatanya pernah memainkan peran sentral dalam pembangunan bangsa, para jenderal Myanmar kerap menjadikan Indonesia sebagai acuan. Namun saat Retno Marsudi mulai menjajaki pertemuan khusus ASEAN terkait Myanmar, rincian proposal yang sedang mereka susun bocor.

Detail itu antara lain menyangkut usulan agar junta militer Myanmar berjanji menggelar pemilihan umum dalam setahun ke depan. Dokumen itu juga mendesak junta militer membebaskan Aung San Suu Kyi dan politisi NLD lainnya serta mengizinkan mereka untuk ikut serta dalam pemilu. Namun ide itu justru memicu kemarahan kelompok anti-militer di Myanmar. Mereka mendesak agar pemilu November lalu yang dimenangkan oNLD diakui. Kelompok penentang kudeta juga menilai pemilu baru adalah bentuk dukungan terhadap militer karena membatalkan hasil pemilihan yang sah.

Usulan ini, menurut mereka, hanya akan mendorong militer melakukan kudeta lainnya pada masa depan. Akibat eskalasi ini, rencana perjalanan Retno Marsudi ke Myanmar langsung dibatalkan.  Terlepas dari semua kelemahannya, ASEAN tetap menjadi satu-satunya forum di mana para pejabat senior Myanmar akan disambut. Forum ini adalah tempat di mana saluran komunikasi tetap terbuka.

ASEAN mungkin adalah forum yang paling tepat untuk memfasilitasi pesan seluruh dunia kepada para jenderal Myanmar, sekaligus mendengarkan pendapat mereka tentang cara menyelesaikan krisis. Sanksi yang diterapkan oleh negara-negara Barat pada tahap ini tidak akan mempengaruhi para jenderal Myanmar. Sebaliknya, penghentian sanksi akan mendorong militer Myanmar menghindari konfrontasi dan kekerasan.

Keterlibatan negara tetangga Myanmar di Asia juga tidak akan banyak menggerakkan para jenderal yang anti-asing itu. Namun tetapi jika upaya kawasan dikoordinasikan secara tepat dengan tekanan yang diterapkan negara Barat, hasil positif mungkin akan tercapai. Pejabat militer yang masih mendominasi pemerintahan Thailand memiliki kesempatan untuk menunjukkan kenegarawanan. Mereka juga bisa menggunakan hubungan dekat secara pribadi dengan Min Aung Hlaing untuk menjajaki diskusi.

Akankah China duduk diam, menunggu apakah militer Myanmar akan menggebuk pengunjuk rasa lalu melanjutkan bisnis seperti biasa? Atau akankah China bergabung dalam upaya negosiasi mencari jalan keluar? Sejauh ini China belum menunjukkan wajah mereka dalam permainan diplomatik yang sangat rumit ini. (*)

Tags : Protes Anti-Kudeta di Myanmar, Asia Bantu Krisis Politik di Myanmar,