Headline Nusantara   2021/03/18 18:13 WIB

Dua Pangeran Kraton Jogja Tak Lagi Bertemu-Berbincang dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X

Dua Pangeran Kraton Jogja Tak Lagi Bertemu-Berbincang dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X
GKR Hayu menilai perlakuan Kraton terhadap perempuan perlahan mengarah ke wacana pemberdayaan sejak kepemimpinan HB IX.

JOGJAKARTA - Dua pangeran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak lagi bertemu atau berbincang dengan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sejak 2015.

Keduanya berkeras, saudara kandung mereka yang juga menjabat gubernur provinsi di selatan Jawa itu telah melanggar titah agama dan adat istiadat. "Saya dan Gusti Prabu belum pernah ngomong dengan dia sejak sabda raja," kata Yudhaningrat di rumah dinasnya, Ndalem Yudhanegaran, Yogyakarta, pekan lalu.

Yudhaningrat merupakan putra ketiga dari istri ketiga HB IX. Adapun, Prabu yang disebutnya adalah Prabukusuma, kakak kandung tertuanya. Mereka merupakan saudara satu bapak dengan HB X yang bernama asli Herjuna Darpita. Dalam silsilah, HB X merupakan putra pertama dari istri kedua HB IX. Selama hidupnya, HB IX menikahi lima perempuan dan memiliki 21 anak.

Empat anak tertua HB IX adalah perempuan. Sementara HB X merupakan anak laki-laki HB IX yang paling tua. Yudhaningrat berkata, hubungan para pangeran dan putri Kraton dingin setelah HB X menganugerahkan gelar Mangkubumi kepada Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. HB X memberikan titel itu kepada Pembayun melalui dhawuh raja yang dibacakannya pada 5 Mei 2015.

Lima anak HB X dan istrinya, GKR Hemas, berjenis kelamin perempuan. Pembayun merupakan anak tertua mereka. Serupa Yudhaningrat, Prabukusuma merasa takhta kraton telah merenggangkan persaudaraan di keluarganya. Hampir tiga tahun sejak sabda dan dhawuh raja, Prabu mengaku masih belum mengetahui pola pikir kakaknya, HB X. "Saya kecewa. Saya dulu orang yang paling dekat dengannya, apapun saya lakukan untuknya. Saya itu konsultan, kongkonan (pesuruh) sultan," tuturnya seperti dirilis BBC News Indonesia.

Meski telah bergelar Mangkubumi, secara adat istiadat Pembayun sebenarnya bukan putri mahkota dan tak otomatis mewarisi takhta jika HB X wafat atau tak sanggup lagi memimpin kraton. Prabukusuma mengklaim, preseden itu setidaknya terjadi tahun 1988 ketika HB IX meninggal dunia dan kraton harus segera menetapkan pemimpinnya. Kala itu, Herjuna Darpita telah menyandang gelar Mangkubumi. Namun, kata Prabu, penentuan sultan ditentukan dalam musyawarah para tetua kraton. "Diadakan rapat keluarga di Gedong Kuning, kami bertanya ke Romo Purbaya, siapa yang dapat menggantikan sultan."

"Jawabannya, putra pertama para permaisuri. Saya tidak dipilih karena baru menikah. Adik saya (Pakuningrat) juga begitu. Kandidat tinggal dua orang, akhirnya dipilihlah Mangkubumi," kata Prabu.

HB X dikonfirmasi kisah ini memberi alasan kesibukan, ia tak menyanggupi permintaan wawancara. Meski begitu, GKR Hemas angkat bicara soal polemik suksesi kepemimpinan di Kraton. "Yang jelas sultan belum tentu laki-laki, tapi harus keturunan sultan," ujarnya.

Dua pekan lalu, GKR Hemas dan lima putri HB X menjadi figur penting dalam Tingalan Jumenengan Dalem. Prosesi itu digelar setiap tahun sebagai peringatan kenaikan takhta HB X. Di hari pertama, GKR Mangkubumi dan GKR Hemas memimpin prosesi ngebluk atau pembuatan bahan dasar kue apem. Mengenakan kebaya Jawa berwarna hijau dan sanggul, mereka menuang tepung dan tape singkong ke dalam tempayan besar. Bahan itu pada hari berikutnya diolah para abdi dalem perempuan menjadi apem.

Tak hanya dilabuh ke Gunung Merapi, Gunung Lawu, Dlepih, dan Pantai Parangkusuma, apem itu juga menjadi simbol khusus pada upacara sugengan. Dalam prosesi sugengan, keluarga HB X dipersilakan meminta maaf pada seluruh kerabat kraton--forum yang tak lagi dihadiri Prabu dan Yudha sejak sabda raja keluar. GKR Mangkubumi berkata, sejak kakeknya menjadi raja, perempuan kraton memiliki lebih banyak kesempatan tampil ke publik dibandingkan era sebelumnya. "Kami diberi kesempatan untuk maju," tuturnya.

"Kami didorong mandiri, tidak bergantung pada laki-laki, berdiri di kaki sendiri untuk survive," ucap Mangkubumi.

GKR Hemas berkata, ia dan HB X berupaya membentuk karakter mandiri itu dengan mengirim lima putrinya keluar negeri untuk pendidikan tinggi. "Ketika mereka berusia 15 tahun, saya ingin mereka belajar mandiri, saya ingin mereka keluar dari kraton," kata dia.

Tiga putri tertua HB X, yakni GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, dan GKR Maduretno tercatat meraih sarjana di perguruan tinggi Australia. Sementara itu, putri keempat dan kelimanya, GKR Hayu dan GKR Bendara, menyelesaikan studi di Inggris, Swiss, dan Skotlandia. Di antara kelimanya, GKR Hayu merupakan yang paling fasih berbahasa Inggris. Kini ia berstatus orang nomor satu di tepas tandha yekti, unit teknologi dan dokumentasi kraton yang juga mengurus arus informasi.

"Saya beruntung memiliki orang tua yang tidak pernah menyebut suatu profesi diciptakan bukan untuk perempuan. Tak semua orang setuju dengan pikiran itu, tapi ketika Sultan telah bertitah, anda harus menerimanya". "Itulah pentingnya laki-laki menyatakan bahwa sekarang bukanlah momen bagi perempuan terus berada di belakang," ucap Hayu.

Seperti Hayu, empat putri HB X lainnya juga diserahi jabatan di internal kraton. GKR Mangkubumi bahkan menjadi pimpinan beberapa perusahaan milik keluarga kraton. GKR Mangkubumi pernah menjadi komisaris utama PT Madubaru yang memproduksi gula dan spirtus. Jabatan yang sama dipegangnya di PT Mataram Mitra Manunggal dan PT Yogyakarta Tembakau Indonesia, termasuk PT Jogja Magasa Mining yang menambang pasir besi di Kulon Progo.

Kus Antoro, peneliti persoalan agraria yang kerap mengadvokasi korban penggusuran di Yogyakarta, mengutarakan pernyataan bernuansa konspiratif tentang relasi takhta dan usaha di internal kraton. Dalam tulisannya di situs milik Selamatkan Bumi, organisasi masyarakat yang bergiat di isu agraria, Kus menyebut pergantian sultan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak lepas dari kepentingan bisnis. "Sudah menjadi rahasia umum, bahwa terjadi persaingan bisnis dan politik," tulis Kus.

Hal itu juga diutarakan Prabukusuma. Ia menuding terdapat motif ekonomi di balik penanugerahan titel Mangkubumi kepada Pembayun. "Ada kepentingan bisnis, padahal Pembayun itu megang apupun tidak jalan. Jalannya tidak bagus," kata Prabu.

Sementara itu, Yudhaningrat menilai HB X memanfaatkan kraton untuk keuntungan pribadi. "Kalau bisnis menggunakan tanah kraton, harus ada pemasukan ke kraton, bukan ke pribadi. Sekarang tumpah tindih tidak karuan". Namun Yudhaningrat mafhum pernyataannya sulit dibuktikan dan cenderung konspiratif. "Kalau kami memberi tahu publik seperti ini, pasti dibilang mencari kesempatan dalam kesempitan."

Prabu dan Yudhaningrat memang tidak benar-benar lepas dari relasi kraton, birokrasi, dan bisnis. Prabu mengakui dirinya masih memimpin PT Yogyakarta Tugu Televisi, stasiun teve yang berjering dengan Bali Post dan mengudara di Yogyakarta. Adapun, Yudhaningrat Februari lalu baru saja pensiun dari jabatan Kepala Satuan Pamong Praja Provinsi DIY. Ia pernah menjadi calon bupati Bantul pada 2005, tapi kalah suara dari Idham Samawi.

GKR Mangkubumi tak menjawab tudingan konspiratif soal titel yang diterimanya dengan kepentingan bisnis keluarganya. Mangkubumi berkata, ia duduk di kursi pimpinan sejumlah perusahaan untuk melanjutkan rintisan ayah dan para pendahulunya. "Beban kami adalah menjaga adat istiadat untuk terus berjalan dan dilestarikan. Roda kehidupan kraton juga harus berjalan. Itu tanggung jawab kami". Bisnis untuk kraton ada yang incharge. Saya di satu tempat, itu tanggung jawab saya karena perusahaan itu bukan baru dirintis satu-dua tahun lalu. Itu untuk support keluarga kami," ujarnya.

Pada 7 Juli 2015, 15 putra-putri HB IX meneken surat berisi penolakan mereka atas sabdatama, sabda raja, dan dhawuh raja yang diucapkan HB X. Mereka menilai kebijakan HB X berpotensi melanggar adat istiadat (paugeran), terutama jika GKR Mangkubumi disahkan menjadi perempuan pertama yang memimpin Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. "Sebanyak 15 saudara HB X tidak setuju karena menganggap hal itu lepas dari adat, tradisi, budaya Yogyakarta. Ini kerajaan Islam. Hamengku itu laki-laki," kata Prabu.

Ketika ditanya soal kekerabatan di antara putra-putri kraton jika Mangkubumi naik takhta, Prabu mengutip kesepakatan yang diklaimnya antara seluruh keturunan HB I hingga HB IX. "Daripada ribut, lebih baik diamkan. Silakan dia mengangkat putrinya, terserah yang nomor berapa. Kami hanya menunggu Pak Sultan ke-10 wafat. Setelah dia wafat, sebagaimana kesepakatan kelompok masyarakat, mereka akan diusir. Anak dan istrinya," kata Prabu.

Di sisi lain, GKR Hemas dan GKR Mangkubumi menilai pemberdayaan perempuan yang begitu pesat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sepatutnya tak membuat kraton terpaku soal raja laki-laki. "Di Jepang dan Thailand, kita bisa lihat bagaimana keturunan laki-laki dipaksakan menggantikan raja. Ini suatu perubahan, bahwa perempuan bisa menjadi raja". "Kita pernah mempunyai presiden perempuan, seharusnya masyarakat harus memahami (perubahan)," kata Hemas.

Adapun, GKR Mangkubumi menganggap wajar gejolak di internal kraton terkait pergantian sultan, termasuk namanya yang disebut kandidat kuat menerima estafet Hamengku Buwono. "Kalau bicara kerajaan lain, Aceh punya ratu. Di dunia Islam juga ada ratu. Kita punya presiden perempuan, bagaimana sesama perempuan seharusnya punya hak yang sama," ujarnya.

Dalam sabdatama, HB X menyatakan estafet takhta di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan urusan internal. HB X kala itu berkata, ora isa sopo wae, ngungkuli utowo ndhuwuri mungguhing kraton. Artinya tidak seorang pun boleh melebihi kewenangan kraton. Namun merujuk UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, gubernur provinsi itu harus bertakhta sebagai sultan. Artinya, pemimpin kraton yang nantinya menggantikan HB X akan menduduki jabatan publik, memimpin 3,5 juta penduduk serta mengelola anggaran negara triliunan rupiah.

APBD DIY versi perubahan tahun 2017 berjumlah Rp5,1 triliun. Pada tahun yang sama, dana keistimewaan yang diserahkan pemerintah pusat ke DIY mencapai Rp800 miliar. Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2016, DIY merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa, yakni 13,2%. Pada 2017, jumlah warga DIY yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 494 ribu jiwa. Mereka hidup dengan uang kurang dari Rp374 ribu setiap bulan. (*)

Tags : Pangeran Kraton Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X,