JAKARTA - Wacana pengguliran hak interpelasi dan hak angket yang dimiliki oleh DPR untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu 2024, secara normatif, bisa dilakukan. Namun apakah upaya ini dapat memengaruhi hasil pemilu 2024 dan bahkan memakzulkan Presiden Joko Widodo, beberapa pengamat dan peneliti politik, pesimis melihat hal itu.
Seperti dirilis BBC News Indonesia melaporkan, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Aisah Putri Budiatri ragu jika hak interpelasi dan hak angket dapat dituntaskan di sisa waktu masa jabatan DPR dan pemerintahan yang berakhir pada Oktober mendatang.
Selain itu, pengamat politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat melihat peta partai politik di parlemen jugs cenderung sulit untuk solid dalam melaksanakan hak interpelasi dan angket, di tengah lobi-lobi politik untuk berkoalisi yang kini tengah berjalan.
Sedangkan, peneliti politik Indopolling Network, Dewi Arum Nawang Wungu menilai upaya politik di DPR ini tak akan berhasil jika tidak ada dukungan dari kekuatan masyarakat (people power).
Sebelumnya wacana penggunaan hak interpelasi dan hak angket digulirkan oleh Ganjar Pranowo, capres dari Kubu 03.
Isu ini pun mendapatkan dukungan oleh Anies Baswedan, capres kubu 01 dan bahkan dipersilakan oleh Presiden Joko Widodo.
Gaung hak angket DPR
Ganjar Pranowo mendorong partai pengusungnya di DPR, yaitu PDI Perjuangan dan PPP, untuk mengajukan hak interpelasi hingga hak angket. Hal ini, katanya, bahkan telah disampaikan dalam rapat tim pemenangan pada Kamis (15/2).
"Jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024," kata Ganjar dalam keterangan tertulis, Senin (19/02).
Ganjar mengatakan hak angket menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban KPU dan Bawaslu terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2024 yang diduga sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Usulan penggunaan hak-hak ini kemungkinan akan dibahas pada pembukaan sidang DPR pada Maret mendatang.
Gaung Ganjar ini disambut positif oleh Anies Baswedan. "Kami yakin bahwa Koalisi Perubahan, Partai NasDem, PKB, PKS, akan siap untuk bersama-sama," kata Anies di Jakarta, Selasa (20/02).
Pendamping Anies, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pun mengangguk setuju. "Siap, tiga partai solid, bukan hanya PKB," kata Cak Imin.
Namun, partai pendukungnya belum satu suara. Juru Bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan, partainya akan mengkaji dan membahas hak angket bersama partai lain di koalisi.
Begitu juga dengan Partai NasDem. "Bisa saja hak angket dilakukan. Tapi, kalau untuk NasDem, kita tunggu arahan Ketua Umum [Surya Paloh]," kata Bendum DPP Partai NasDem Sahroni, Selasa (20/2).
Di kubu seberang, cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka mempersilakan Ganjar bila ingin menempuh hak angket.
"Ya dilihat dulu lah. (Pak Ganjar yang mengajukan) Ya monggo (silakan)," kata Gibran di Solo, Rabu (21/02).
Sementara itu pengusung Prabowo-Gibran, Partai Golkar mengatakan penggunaan hak itu tidak diperlukan.
"Buktikan dulu kecurangannya apa? Apakah tidak sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pemilu? Kan ada Bawaslu. Bukankah penyelenggara pemilu ini juga produk dari DPR RI?" kata Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, Selasa (20/02).
Begitu juga dengan Partai Gerindra. "Saya kira, bagi kami, itu sesuatu yang tidak perlu untuk diajukannya hak angket," kata Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani.
Dari sisi eksekutif, Presiden Jokowi buka suara. "Ya itu hak demokrasi, nggak apa-apa, kan," kata Jokowi di Ancol, Jakarta Utara, Selasa (20/02).
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta semua yang merasa keberatan atas hasil pemungutan suara untuk menempuh mekanisme yang seusai dengan aturan.
Sejauh mana hak angket dilakukan?
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Aisah Putri Budiatri menilai pengajuan hak interpelasi dan hak angket mungkin dan dapat dilakukan.
“Tapi apakah itu mungkin berlanjut hingga disidangkan dan selesai, itu saya ragukan,” katanya.
Menurutnya, penggunaan hak interpelasi dan angket - yang kemungkinan bertujuan untuk menunjukkan terjadinya kecurangan dan memengaruhi hasil pemilu, bahkan memakzulkan presiden - membutuhkan proses politik yang panjang.
“Kurang dari satu tahun akan terjadi pergantian partai parlemen dan pemerintahan, sementara hak angket yang melakukan investigasi butuh waktu. Saya pesimis dari sisi waktu,” katanya.
Pengucapan sumpah anggota DPR dan DPD dilaporkan akan dilakukan pada 1 Oktober 2024, sedangkan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024.
Aisah lebih condong menganalisi bahwa gaung hak interpelasi dan hak angket untuk melihat arah peta koalisi dan oposisi di pemerintahan ke depan.
“Siapa yang akan menjadi teman atau oposisi. Jadi tanda-tanda posisi politik mereka ke depan,” katanya.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam bidang pengawasan, DPR dipersenjatai dengan tiga hak, seperti diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Pertama adalah hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak ini harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Usul itu dapat menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari satu per dua jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari satu per dua jumlah anggota DPR yang hadir.
Yang kedua adalah hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sama seperti hak sebelumnya, hak angket harus dihadiri dan mendapat persetujuan lebih dari setengah anggota DPR.
Jika hak angket diterima maka dibentuk panitia khusus untuk melakukan penyelidikan, dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia.
Apabila rapat paripurna memutuskan terjadi pelanggaran, DPR dapat menggunakan hak ketiganya, yaitu hak menyatakan pendapat.
Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam negeri atau di dunia internasional.
Hak ini juga dapat menjadi sikap atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum.
Jika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum maka DPR menyampaikan pendapat itu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan putusan.
Jika MK memutuskan pendapat DPR itu terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden kepada MPR.
Dari total 575 jumlah kursi DPR periode 2019-2024, PDI Perjuangan mendominasi dengan jumlah 128 kursi (19,33%), lalu disusul Golkar 85 kursi (12,31%), dan Gerindra 78 kursi (12,57%).
Setelah itu, Partai NasDem memiliki 59 kursi (9,05%), PKB 58 kursi (9,69%), Partai Demokrat 54 kursi (7,7%).
Lalu, PKS 50 kursi (8,21%), PAN 44 kursi (6,84%), dan PPP 19 kursi (4,52%).
Dari angka-angka itu, total dukungan koalisi partai pendukung Anies-Cak Imin di DPR adalah 167 kursi (29,04%), sedangkan Koalisi Prabowo-Gibran sebesar 261 kursi (45,39%).
Sementara, Koalisi Ganjar-Mahfud sebanyak 147 kursi (25,56%).
Hak interpelasi maupun hak angket dapat ditindaklanjuti jika mendapat dukungan lebih dari 50%.
Artinya, menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, hak-hak itu dapat berjalan mulus jika kubu 01 dan 03 secara solid bersatu.
“Jika partai-partai dari 01 dan 03 bergabung maka bisa berjalan. Sejauh ini yang bisa diprediksi solid adalah PDIP, PPP, dan PKS,” kata Cecep.
Sementara untuk NasDem dan PKB, menurut Cecep, masih bisa berpaling. Apalagi, katanya, kedua partai itu tidak memiliki pengalaman sejarah menjadi oposisi.
“NasDem dan PKB selalu dekat dengan kelompok pemerintahaan. Jadi kemungkinan cenderung main aman. Ini yang membuat peluang pengguliran hak interpelasi maupun angket sulit,” katanya.
Selain hitung-hitungan komposisi partai di parlemen, peneliti politik Indopolling Network, Dewi Arum Nawang Wungu, menilai upaya politik di DPR ini juga harus mendapat dukungan dari kekuatan masyarakat (people power).
“Bicara tentang dugaan kecurangan pemilu hingga pemakzulan pemilu itu harus ada people power. Namun, faktanya kesadaran tidak muncul di akar rumput, hanya di tingkat elit akademis dan politik,” kata Arum.
Arum melihat, perhatian masyarakat kini telah usai dalam pesta demokrasi. Menurutnya, masyarakat kini terfokus pada tantangan hidup sehari-hari yang dihadapi. “Seperti kenaikan biaya hidup, harga beras, dan bahan pokok lainnya,” tambahnya.
Sehingga, baik Cecep, Aisah, maupun Arum melihat, gaung hak interpelasi hingga hak angket kemungkinan besar tidak akan dapat memengaruhi hasil pemilu 2024, apalagi berujung pada pemakzulan Jokowi.
Mereka sepakat ujung dari wacana hingga penggunaan hak-hak ini adalah catatan buruk perjalanan demokrasi Indonesia, bahwa adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu 2024 yang terjadi di masa Pemerintahan Jokowi. (*)
Tags : Joko Widodo, Politik, Kejahatan, Pilpres 2024, Hukum, Indonesia, Pemilu 2024, Populisme,