Nasional   2022/01/12 21:34 WIB

Ekspor Batu Bara Dibuka Dikhawatirkan Tarif Dasar Listrik Naik dan Membebani Masyarakat

Ekspor Batu Bara Dibuka Dikhawatirkan Tarif Dasar Listrik Naik dan Membebani Masyarakat
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batubara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1).

JAKARTA - Pemerintah Indonesia merencanakan membeli batu bara sesuai harga pasar untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik dalam negeri setelah keran ekspor dibuka lagi secara bertahap mulai Rabu (12/01).

Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor batu bara secara bertahap mulai Rabu (12/1). Namun rencana itu dikhawatirkan dapat meningkatkan harga tarif dasar listrik yang dapat membebani masyarakat.

Pencabutan larangan ekspor akibat minimnya pasokan batu bara dalam negeri itu terjadi setelah pengusaha dan beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Filipina protes karena larangan diberlakukan secara tiba-tiba, sebab mereka mengandalkan pasokan batu bara dari Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, melalui PLN, pemerintah Indonesia berencana membeli batu bara sesuai harga pasar (per 10 Januari harganya US$170 per metrik ton) dan tidak lagi membeli berdasarkan harga patokan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) senilai USD$70.

Sejumlah pihak khawatir langkah itu akan mempengaruhi harga tarif dasar listrik yang pada akhirnya akan membebani masyarakat.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, nantinya, selisih harga DMO dan harga pasar akan dibebankan pada perusahaan tambang melalui skema Badan Layanan Umum atau BLU.

Namun, pelaku industri khawatir hal itu justru akan memberatkan mereka. Sinyal kekurangan pasokan batu bara sebenarnya sudah muncul sejak Juli 2021. Pemerintah mengaku sudah beberapa kali mengingatkan pengusaha untuk memenuhi kewajibannya memenuhi pasokan batu bara ke PLN sebanyak 25% dari total rencana produksi dalam setahun.

Hal itu kemudian dikatakan sebagai penyebab PLN mengalami kekurangan pasokan batu bara pada akhir 2021 sehingga menyebabkan pemerintah harus mengambil keputusan untuk melarang ekspor batu bara mulai tanggal 1-31 Januari 2022.

Namun baru 10 hari larangan itu berjalan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut larangan ekspor. Pemerintah berdalih alokasi pasokan batu bara dan ketersediaan transportasi untuk distribusinya sudah bisa dipenuhi.

Untuk solusi jangka menengah, pemerintah berencana membeli batu bara sesuai harga pasar. Menko Luhut meminta tim lintas kementerian dan lembaga untuk menyiapkan solusi BLU untuk pungutan batu bara yang dibebankan kepada perusahaan tambang. Namun skema lengkapnya belum ditetapkan. Pemerintah membutuhkan waktu tujuh hari untuk menyusunnya.

Dikhawatirkan berdampak ke masyarakat

Rencana pembelian harga batu bara sesuai harga pasar dengan skema BLU yang belum jelas membuat sejumlah pihak khawatir akan membebankan masyarakat.

Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis Elrika Hamdi mengatakan rencana tersebut dikhawatirkan berdampak pada kenaikan tarif dasar listrik karena biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik oleh PLN pasti akan naik.

"Apabila penetapan harga itu dihapuskan, BPP pasti naik. Ketika BPP naik, maka pilihannya ada dua, tarif listrik naik, atau subsidi atau kompensasi naik. Jadi, tergantung pemerintah mau yang mana?" kata Elrika dalam 'Diskusi Publik: Refleksi 2021 dan Proyeksi Kebijakan Energi Indonesia 2022'.

Namun dia memprediksi pemerintah tidak akan menaikkan tarif listrik di tengah situasi pandemi ini. "Kalau tarif listrik dinaikkan terlalu banyak dalam dua tahun ke depan, itu sama saja membunuh masyarakat karena masih banyak yang terdampak Covid. Menurut saya pemerintah tidak akan bisa bergerak seperti itu karena itu jadi political suicide."

Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo malah mengatakan pembelian harga batu bara sesuai harga pasar tidak sejalan dengan konstitusi yang menjamin masyarakat berhak menikmati hasil bumi.

"Ini jelas bertentangan dengan konstitusi. Harusnya DMO itu memastikan bahwa itu kekayaan negara. Sekarang seolah-olah produsen batu bara dengan negara itu posisi tawar-menawarnya hampir seimbang. Padahal PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara) sudah diganti dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang mana itu meredefinisi lagi posisi antara negara dan produsen.

"Jangan sampai negara kalah dengan tawar-menawar."

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pihaknya belum sempat melakukan diskusi terkait hal tersebut. Namun usulan itu dinilai memberatkan pengusaha tambang.

"Ya tentu dengan skema ini penambangan dirugikan. Tapi kan kita terima saja, kita patuh lah ya yang harga 70 itu. Cuma untuk mengatur skema agar seluruh penambang yang jumlahnya ribuan itu bisa comply dengan aturan ini kan tentu tidak mudah, dengan spread harga yang sangat lebar, itu kan yang menjadi kesulitan," kata Hendra seperti dirili BBC News Indonesia..

Dia mengatakan masih banyak hal detil yang harus dibicarakan. Hendra berharap skema tersebut harus diatur sebaik-baiknya sehingga penambang dan PLN tidak ada yang dirugikan.

Kementerian ESDM mengatakan kekurangan pasokan batu bara disebabkan ketidakpatuhan para pengusaha untuk memenuhi DMO. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan ada beberapa alasan yang menyebabkan pelaku industri tidak memenuhi DMO.

Pertama, terkait perbedaan harga yang begitu tinggi antara harga DMO dan harga pasar, "di mana ini sangat menguntungkan bagi para pengusaha untuk menjual ke luar negeri," kata dia.

Kedua, dari sisi kebijakan dan peraturan. "Denda pun tidak terlalu memberatkan bagi pengusaha karena dengan mereka hanya membayar selisihnya dengan total produksi, itu masih jauh menguntungkan mereka menjual ke luar," kata Mamit.

Yang ketiga, terkait dengan kontrak. Mamit mengatakan kontrak dengan PLN banyak yang tidak jangka panjang, terutama untuk perusahaan tambang yang skalanya kecil. Hal itu kemudian mempengaruhi waktu pengiriman yang sering tidak jelas. Hendra membenarkan beberapa perusahaan memang tidak mematuhi DMO, tapi tidak semuanya. Kata dia, perusahaan yang tidak patuh biasanya memiliki kualitas batu bara yang berbeda dengan PLN.

"Orang gak bisa jual batu baranya karena enggak bisa diserap PLN. Kalaupun mereka punya kualitas batu bara yang ada, slotnya juga terbatas. Ada yang patuh, mau jual, slotnya enggak ada. Ada yang slotnya ada, kualitasnya enggak bisa diterima," kata Hendra.

Dia juga menyinggung PLN. Menurut dia perencanaan, manajemen inventori, stockpiling, administrasi, dan logistik PLN harus diperhatikan. "Ada PR juga yang harus diselesaikan. Jadi harus match, enggak bisa dari satu pihak saja."

Krisis pasokan batu bara PLN ini membuat Menteri BUMN Erick Thohir mengganti direktur energi primer di PLN. Selain itu, Menko Luhut juga meminta Erick untuk membubarkan PT PLN Batubara yang dianggap menjadi penyebab kekurangan pasokan batu bara di PLN. (*)

Tags : Ekonomi, Energi, Indonesia,