Karier   2023/06/05 14:25 WIB

Etos Kerja Tidak Selamanya Dianggap Kesuksesan, 'yang Dibutuhkan Kombinasi Antara Bakat dan Kegigihan'

Etos Kerja Tidak Selamanya Dianggap Kesuksesan, 'yang Dibutuhkan Kombinasi Antara Bakat dan Kegigihan'

BANYAK yang percaya bahwa etos kerja menjadi penyumbang terbesar dalam kesuksesan seseorang. Namun, ternyata itu tidak selalu terjadi.

Di hampir setiap disiplin ilmu, kesuksesan datang dari kombinasi antara bakat dan kegigihan.

Namun, jika Anda mendengarkan sebagian besar tokoh terkenal menggambarkan perjalanan hidupnya, mereka lebih antusias menunjukkan kerja kerasnya dan anehnya mereka seperti meremehkan peran bakat alami atau kemampuan bawaannya.

Thomas Edison mungkin yang paling sering dikutip, dengan klaimnya bahwa "kejeniusan adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen kegigihan", tetapi ada banyak variasi lain.

Perhatikan saran Octavia Butler untuk penulis baru. “Lupakan bakat."

"Jika Anda memilikinya, gunakan. Jika Anda tidak memilikinya, itu tidak masalah. Sebab, kebiasaan lebih bisa diandalkan daripada inspirasi. Proses pembelajaran berkelanjutan lebih bisa diandalkan daripada bakat.”

Pesepakbola Portugal Cristiano Ronaldo juga menekankan darah, keringat, dan air mata yang mengalir dalam latihannya.

“Bakat tanpa kerja keras bukanlah apa-apa,” katanya ketika ditanya tentang rahasia kesuksesannya di lapangan.

Narasi semacam itu mungkin bermanfaat bagi tokoh-tokoh terkenal yang ingin tampil rendah hati dan membumi.

Namun, penelitian psikologis baru-baru ini menunjukkan bahwa terlalu menekankan pentingnya kerja keras dapat menjadi bumerang dalam banyak situasi profesional.

Fenomena ini dikenal sebagai “bias kealamian”, yaitu preferensi terhadap hal-hal yang dianggap alami, bawaan sejak lahir.

Studi-studi menunjukkan bahwa orang-orang lebih menghormati mereka yang memiliki bakat daripada mereka yang harus berjuang untuk kesuksesan mereka.

Bias kealamian dianggap berlangsung di bawah kesadaran, dan konsekuensinya bisa sangat tidak adil.

Dalam rekrutmen, misalnya, pewawancara mungkin lebih memilih kandidat yang kurang berkualitas jika mereka yakin pencapaian mereka muncul dari bakat alami.

Dan mereka akan mengabaikan kandidat yang lebih berhasil, yang menunjukkan kegigihan dan tekad.

Untungnya, para ilmuwan di balik penelitian ini memiliki beberapa saran agar kita dapat menghindari konsekuensi negatif dari kerja keras yang kita lakukan.
Jenius tulen

Dalam psikologi konsumen, istilah "bias kealamian" sering digunakan untuk menggambarkan preferensi kita terhadap sesuatu yang alami daripada sintetis.

Penulis Malcolm Gladwell tampaknya menjadi orang pertama yang menerapkan konsep tersebut pada kemampuan manusia, ketika dia melakukan presentasi di American Psychological Association (APA) pada 2002.

“Pada tingkat fundamental tertentu, kita percaya bahwa semakin dekat sesuatu dengan keadaan aslinya, semakin sedikit diubah atau dipalsukan, sesuatu itu semakin diinginkan,” katanya.

Dengan logika itu, dia mengusulkan, seseorang yang harus bekerja keras untuk mencapai kesuksesan pada dasarnya telah menentang “kodrat” mereka, dan prestasi mereka akan kurang dihargai.

Argumen Gladwell sebagian besar didasarkan pada pengamatan daripada bukti eksperimental.

Namun, Chia-Jung Tsay, seorang profesor di University College London School of Management, telah menguji ide tersebut dalam serangkaian penelitian.

Eksperimen awal Tsay, yang dilakukan saat dia berada di Universitas Harvard, meneliti persepsi orang tentang bakat dalam bermusik.

Semua peserta adalah musisi terlatih yang disuguhi dua klip berdurasi 20 detik dari penampilan Trois Mouvements de Petrouchka karya Stravinsky.

Kedua cuplikan musik itu dimainkan oleh pianis Taiwan Gwhyneth Chen – tetapi para peserta dibuat untuk percaya bahwa itu berasal dari rekaman dua pianis berbeda.

Para peserta diberi teks biografi singkat yang menekankan bakat alami pemain pada cuplikan musik yang pertama.

Sementara yang satunya lagi, informasi tambahannya menyebutkan bahwa kerja keraslah yang membantu pianis itu mengembangkan kemampuan seninya.

Setelah mendengarkan, mereka kemudian harus menilai kemampuan sang pianis, peluang suksesnya di masa depan, dan apakah sang pianis layak bekerja sebagai musisi profesional.

Secara teori, para peserta seharusnya menilai keduanya sama. Namun, kenyataannya mereka mengantongi informasi yang berbeda dari pertunjukan yang dilakukan oleh orang yang sama.

Tsay menemukan bahwa informasi biografis memiliki pengaruh penting pada penilaian mereka.

Para peserta memberikan peringkat yang jauh lebih tinggi setelah mereka membaca tentang kejeniusan bawaan sang pianis.

Sebaliknya, peringkat yang lebih rendah mereka berikan setelah membaca dedikasi pianis untuk melakukan latihan sehari-hari.

Anehnya, penilaian ini secara langsung bertentangan dengan keyakinan yang diungkapkan secara terbuka oleh para pemain musik tentang kesuksesan dalam bermusik.

Ketika ditanya langsung tentang faktor apa yang lebih penting untuk pencapaian dalam bermusik, sebagian besar memilih usaha daripada bakat.

Mengingat hasil ini, Tsay menduga bias kealamian mungkin merupakan hasil dari proses otak yang tidak disadari.

"Kita mungkin tidak menyadari keterkaitan yang hilang," katanya.
Terlahir hebat

Untuk mengetahui apakah bias kealamian dapat diterapkan ke domain lain, selain musik, Tsay merancang eksperimen serupa yang meneliti sikap orang-orang terhadap kesuksesan di bidang kewirausahaan.

Para peserta masing-masing diberi profil pengusaha pemula dan presentasi audio satu menit dari rencana bisnis mereka.

Informasinya identik dalam setiap kasus, selain dari beberapa kalimat yang menjelaskan bagaimana mereka mencapai kesuksesan mereka saat ini.

Untuk sebagian peserta, informasi biografisnya menampilkan orang tersebut sebagai seorang pekerja keras. Sementara sebagian peserta lainnya disuguhkan profil yang menggambarkan seorang dengan bakat bawaan.

Setelah membaca profil, para peserta kemudian mengevaluasi pengusaha dan proposal bisnisnya dalam berbagai skala.

Tsay menemukan penilaian yang sama seperti yang dia lihat dalam penilaian kemampuan bermusik.

Rata-rata, para peserta lebih menghargai pencapaian karena bakat, dan menilai rencana bisnis mereka lebih tinggi.

Dan keahlian tidak banyak mengurangi prasangka; jika ada, bias lebih kuat di antara mereka yang memiliki pengalaman kewirausahaan yang lebih besar, seperti mereka yang telah menjabat sebagai pendiri atau investor.

Pengambilan keputusan yang bias seperti itu dapat menimbulkan dampak yang signifikan. Dalam perekrutan pegawai, keputusan itu bisa mempengaruhi pengeluaran biaya.

Ketika diminta untuk membandingkan langsung beberapa kandidat, peserta Tsay bersedia berinvestasi pada pengusaha dengan skor tes kecerdasan yang lebih rendah (sebesar 30 poin IQ), pengalaman kepemimpinan yang lebih sedikit, dan modal yang masih harus dibayar $31.000 (senilai Rp463,5 juta) lebih sedikit – hanya karena disebutkan bahwa mereka telah mencapai kesuksesan saat ini karena bakat alami.

Bias kealamian muncul pada usia yang sangat muda.

Bekerja dengan rekan-rekannya di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, Tsay menemukan bahwa anak-anak berusia lima tahun menunjukkan rasa hormat yang lebih besar kepada mereka yang memiliki kemampuan bawaan alias bakat.

Dalam hal ini, para peserta diberi cerita tentang dua orang yang menggambarkan betapa mudahnya mereka berteman.

Mereka secara naluri lebih menyukai orang yang secara alami populer, dibandingkan dengan orang yang telah bekerja keras untuk membangun keterampilan sosialnya.

“Bias kealamian sangat dapat digeneralisasikan di seluruh domain, usia, dan budaya,” kata Tsay.
Perhatikan pola pikir Anda

Karya Tsay tentang bias kealamian bersinggungan dengan sejumlah besar penelitian psikologis tentang cara keyakinan pribadi membentuk pendidikan dan pengembangan profesional.

Menurut penelitian ini, orang-orang dengan "pola pikir tetap" percaya bahwa kemampuan mereka sendiri sudah tidak bisa diubah, sedangkan orang-orang dengan "pola pikir berkembang" cenderung melihat kemampuan mereka sebagai sesuatu yang masih bisa ditempa.

Secara umum, orang-orang dengan pola pikir berkembang lebih tahan terhadap kemunduran dan cenderung lebih bertahan dalam mencapai tujuan mereka – secara keseluruhan hasilnya lebih baik.

Mengingat penelitian ini, banyak sekolah dan organisasi kini mulai mengambil bagian dalam inisiatif yang mendorong pola pikir berkembang di kalangan siswa dan staf.

“Sebagian besar penelitian pola pikir yang ada di luar sana melihat pada apa yang saya pikirkan dan bagaimana hal itu membentuk cara saya bereaksi terhadap berbagai situasi dan hasil akhirnya,” kata Aneeta Rattan, seorang profesor ilmu organisasi di London Business School.

“Apa yang saya sukai dari karya Chia-Jung Tsay adalah bahwa hal itu benar-benar membalik perspektif ini dan melihat bagaimana kita menilai orang lain.”

Dia menduga para pemimpin mungkin memberikan basa-basi pada pola pikir berkembang sambil tetap menunjukkan preferensi bawah sadar untuk orang-orang yang tampaknya memiliki bakat bawaan.

Dia berharap para manajer sekarang dapat mencoba mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusan mereka.

"Kita perlu menyadarkan diri kita sendiri dan saling menyadarkan ketika kita terjebak dalam bias ini."

Perspektif yang seimbang

Pada tingkat individu, kehadiran bias kealamian dapat memengaruhi cara kita menampilkan diri kepada orang lain, sehingga pencapaian kita tidak terlalu diabaikan.

Pada konvensi tahunan Society for Personality and Social Psychology tahun ini, kolega Tsay Clarissa Cortland mempresentasikan hasil survei yang meneliti sikap 6.000 alumni universitas yang bekerja sebagai pemimpin bisnis.

Ketika diminta untuk menggambarkan perjalanan karier mereka, sekitar 80% responden lebih fokus pada upaya dan disiplin daripada bakat mereka.

Angka itu lebih besar lagi ketika mereka harus membayangkan menggambarkan perjalanan itu kepada orang lain.

“Ada pergeseran naluriah ke 'deskripsi keras' ketika motif untuk mempresentasikan diri tinggi,” kata Cortland.

Salah satu alasannya mungkin karena kebanyakan orang ingin menghindari kesan arogan, dan percaya bahwa berfokus pada kerja keras daripada bakat alami dapat membuat mereka tampak lebih membumi.

Arogansi adalah atribut yang tidak menarik dan selama wawancara kerja, misalnya, itu mungkin menandakan bahwa Anda tidak akan setuju dengan anggota tim Anda yang lain dan berjuang untuk mengikuti perintah.

Sejalan dengan itu, penelitian oleh Christina Brown, seorang profesor di Arcadia University di Pennsylvania, AS, menunjukkan faktor kontekstual tertentu dapat mengurangi bias.

Sementara orang-orang mungkin lebih menyukai orang-orang jenius alami untuk pekerjaan yang membutuhkan seorang pemain bintang untuk bersinar, Brown menemukan bahwa orang-orang cenderung lebih menyukai pekerja keras untuk tugas-tugas yang membutuhkan kerja sama.

Sebagian besar karier modern akan membutuhkan tingkat kerja tim tertentu – dan jika kita hanya menekankan kemampuan bawaan, kita mungkin terlihat seperti seorang diva yang akan kesulitan untuk berkolaborasi.

Maka, solusi yang paling cerdas adalah memberikan gambaran yang lebih bernuansa tentang kesuksesan kita, tanpa berfokus secara eksklusif pada satu elemen atau elemen lainnya.

Pada wawancara kerja, misalnya, kita bisa membahas bidang-bidang yang membutuhkan dedikasi ekstra sambil juga membuat daftar bakat yang telah membantu kita untuk maju.

“Boleh saja kita menekankan kerja keras dan pendidikan,” kata Tsay. “Tapi masih ada beberapa hal yang mungkin lebih mudah bagi kita, dan tidak apa-apa untuk menyeimbangkan narasinya.”

Apakah rasio inspirasi dan kegigihan adalah 99:1, seperti yang disarankan Edison, atau 50:50?

Anda dapat mengetahui bagaimana kedua karakteristik tersebut mempengaruhi kesuksesan Anda. Hanya dengan begitu Anda akan mendapatkan rasa hormat yang pantas Anda terima. (*)

Tags : etos kerja, kesuksesan, bakat dan kegigihan, pekerjaan, karir,