PEKABARU, RIAUPAGI.COM - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung 2024 kembali ramai diperbincangkan, tetapi fenomena dan fakta yang terjadi selama ini pilkada langsung masih dinilai tak seindah terbitnya matahari di ufuk timur.
Pemerhati Sosial menilai, menjadi kepala daerah gubernur, bupati dan walikota dituntut bisa melayani dan memberikan rasa kepuasan bagi masyarakat.
"Selama ini kebanyakan kepala daerah yang terpilih dari hasil pilkada langsung hanya indah di mata dan pahit di rasa."
"Perjalanan waktu 20 tahun reformasi telah memberi kita pengalaman yang bisa dilihat, pro dan kontra pada dua opsi yaitu pilkada langsung dan tidak langsung (oleh DPRD) terjadi sejak pada 2017 sebelum UU pemilu disahkan," kata Wawan Sudarwanto, Pemerhati Sosial dalam bincang-bincangnya menyikapi akan dilangsungkannya Pilgub Riau tahun 2024 nanti.
Jadi fenomena dan fakta, kata Wawan, bahwa pilkada langsung pernah diusulkan untuk dievaluasi pada 2017.
Pilkada tidak langsung dianggap "jadul" karena tidak melibatkan rakyat secara langsung dan merupakan warisan rezim masa lalu.
Pilkada langsung, kata Wawan, pada awalnya merupakan opsi terbaik seiring dimulainya era reformasi karena dianggap dapat memenuhi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
"Sementara masyarakat menginginkan segudang harapan memenuhi seiring kehidupan pada pemimpin terbaik hasil pilihan pemilik kedaulatan," kata dia.
Tetapi tidak dipungkiri, sebutnya, Pilkada langsung tetap saja memerlukan biaya sangat tinggi baik dari anggaran negara maupun dari calon kepala daerah.
"Calon kepala daerah seperti pemilihan gubernur riau (Pilgubri) 2024 nanti juga harus membeli perahu partai pengusung, membiayai mesin partai, dan membiayai relawan non-partai. Sehingga hanya calon kepala daerah yang memiliki pundi-pundi segudang bernilai miliaran bahkan puluhan miliar yang akan mampu maju pilkada," katanya memprediksi.
Lalu bagaimana dengan calon terbaik dengan kompetensi dan integritas?
Proses kampanye sangat menyita energi dan biaya yang sangat besar karena calon harus mampu menggerakkan seluruh elemen masyarakat sampai ke pelosok pedesaan.
Menurut Wawan, selama ini masyarakat tidak mendapat akses yang objektif tentang data riwayat hidup, prestasi, dan integritas calon.
Tetapi kata Wawan, masyarakat selama ini hanya ditiup dengan angin surga penuh keindahan oleh calon pimpinan, dan relawan yang begitu bersemangat menjual calonnya karena telah mendapat "biaya operasional".
Bahkan, hasil pantauannya, ada juga sang calon tiba-tiba menjadi sangat agamis, berbaju koko, mengenakan sarung, bahkan sorban masuk ke berbagai pertemuan pengajian.
Begitu saat mau hadir pada acara kenaikan kelas Madrasah Diniyah tingkat RT. Tiba-tiba menjadi sangat dermawan, menyumbang sana-sini dengan janji manis dan senyum pasti bak seorang aktor berkelas Piala Citra penuh akting.
"Masyarakat bersorak karena mendapat rezeki musiman lima tahun sekali, siapa yang memberi banyak, itulah pemimpin sejati."
Tetapi ketika amunisi kampanye habis, dimulailah pendekatan kepada para dermawan politik, melalui pengusaha atau kontraktor. Kontrak perjanjian ditandatangani dengan imbalan proyek dan kegiatan selama menjabat kepala daerah. Begitupun pendekatan kepada tokoh agama yang memiliki basis massa.
Selanjutnya, tibalah hari kemenangan bagi salah satu calon. Calon yang menang merayakan dengan penuh suka cita. Segala lelah dan utang sementara terlupakan oleh euforia kemenangan, menanti saat pelantikan tiba, sambil harap cemas menunggu pengaduan lawan ke MK, apakah money politic dia dapat dibuktikan oleh lawan yang kalah.
Sebulan telah menjabat, tiba-tiba kantor sang kepala daerah berubah wujud. Pegawai pemda hampir tidak kelihatan. Lorong dan halaman kantor kepala daerah biasanya penuh oleh tamu-tamu istimewa; ada yang berbaju koko, sorban, dan sarung; ada yang berkaos oblong, celana jeans; ada yang berjas dan berdasi.
Semua kompak membawa dokumen bernama proposal. Dengan tujuan menagih Janji, dengan dua pesan kunci: jasa pada saat kampanye, dan ancaman jika proposal tidak dikabulkan.
Di sinilah penyakit "vertigo" mulai dirasakan. Insomnia melanda. Amunisi pribadi habis. Sumbangan donatur politik habis. Gaji tidak seberapa.
Tim mulai bergerak. Sasaran pertama adalah calon pejabat dan pejabat lama yang ingin memperpanjang masa jabatan. Pendekatan dimulai dengan tema yang sama. Mau jabatan apa? Berapa kontribusi Anda? Sebab di era pilkada langsung terdapat "paradigma" pegawai yang menginginkan jabatan harus terlihat keinginannya, dan harus terlihat nyata kontribusinya saat ini dan pada pemilu yang akan datang.
"Itu semua adalah kontribusi politik."
"Tetapi inilah fakta dan fenomena hasil pilkada langsung. Dua tahun adalah masa balas budi, tiga tahun kemudian adalah masa mengumpulkan biaya dan penggalangan kekuatan untuk pemilu yang akan datang," sebutnya menggambarkan situasi politik
"Alhasil, KPK banyak menemukan kepala daerah dari 25 provinsi tersandung korupsi suap. Kepala daerah yang memenuhi harapan dan berprestasi dapat dihitung dengan jari. Yang lain biasa-biasa saja. Mungkin hanya beruntung tidak ketahuan oleh KPK."
Kembali Wawan menyikapi ini, dengan kondisi demikian, katanya, kelompok yang masih akan ngotot mempertahankan pilkada langsung kemungkinan adalah mereka yang mendapat keuntungan langsung.
Namun rakyat di akar rumput sebenarnya sudah muak dengan proses apapun, karena mereka merasakan hasilnya sama saja bahkan lebih parah; korupsi lebih parah dari zaman Orba karena korupsi sekarang dimulai dari pengusulan proyek, sampai di lapangan. Rakyat di tingkat bawah tidak peduli dengan proses; mereka hanya ingin melihat hasil pemimpin yang mampu, adil, dan bijaksana.
Menurutnya, ada pilihan jalan tengah untuk menutupi kelemahan pilkada langsung dan tidak langsung. Yaitu dengan pemilihan semi langsung di mana setiap partai mencalonkan anggota legislatif sekaligus dengan calon kepala daerahnya.
Masyarakat memilih anggota legislatif sekaligus memilih calon kepala daerah yang diusung partainya. Satu kali coblos dua tujuan. Maka caleg terpilih wajib memperjuangkan calon kepala daerah yang diusung partainya, karena telah mendapat mandat dari pemilihnya. Pemilihan dan penetapan dilakukan oleh DPRD. Hemat waktu, hemat biaya, konflik minimal. Kontrak politik pribadi menjadi berkurang.
Hilangkan syarat threshold (ambang batas) agar setiap partai dapat mencalonkan satu calon kepala daerah. Pelaksanaannya tidak perlu serentak, tahap demi tahap agar masyarakat tidak pusing dan terlalu gaduh. Dengan demikian masyarakat tidak terlalu sering beradu pendapat yang merusak persaudaraan dan kerukunan sesama masyarakat.
Jadi pilkada semi langsung bisa menjadi pilihan alternatif pemilu yang akan datang, ini memungkinkan agar pemilu bisa menjawab kedaulatan rakyat, hemat biaya, minim konflik, dan minim kontrak politik pribadi. Selain itu bisa menghasilkan pemimpin yang mendekati nilai ideal, berintegritas, kompeten, dan mendapat dukungan rakyat. (*)
Tags : Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada 2024, Fenomena dan Fakta Pilkada Langsung, Pilkada Langsung Indah di Mata Tapi Pahit di Rasa ,