Kesehatan   2022/10/22 10:6 WIB

Gangguan Ginjal Akut Misterius Sudah Rengut Nyawa Anak, 'Akibat Konsumsi Salah Obat'

Gangguan Ginjal Akut Misterius Sudah Rengut Nyawa Anak, 'Akibat Konsumsi Salah Obat'

KESEHATAN - Gangguan ginjal akut misterius sudah merengut angka kematian disebabkan diduga konsumsi salah obat yang menyasar utamanya anak di bawah usia 5 tahun.

Peningkatan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Acute Kidney Injury (AKI)  yang tajam pada anak, utamanya di bawah usia 5 tahun telah diterima laporannya oleh Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak. Adapun angka kematian pasien yang dirawat di RSCM mencapai 65%.

“Dari hasil pemeriksaan, tidak ada bukti hubungan kejadian AKI dengan Vaksin Covid-19 maupun infeksi Covid-19. Karena gangguan AKI pada umumnya menyerang anak usia kurang dari enam tahun, sementara program vaksinasi belum menyasar anak usia 1-5 tahun,” kata juru bicara Kemenkes dr Syahril.

Kemenkes bersama BPOM, Ahli Epidemiologi, IDAI, Farmakolog dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.

Dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi oleh pasien, sementara ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan AKI.

Saat ini Kemenkes dan BPOM masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif termasuk kemungkinan faktor risiko lainnya.

Kemekes juga telah meminta kepada seluruh tenaga kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk cair/sirup. 

Instruksi ini disampaikan pada 18 Oktober 2022 melalui surat edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan provinsi dan direktur rumah sakit di Indonesia terkait kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal. 

Surat edaran tersebut juga ditujukan kepada seluruh apotek di Indonesia. 

“Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” sebut surat edaran yang ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, drg. Murti Utami.

Surat edaran Kementerian Kesehatan dirilis setelah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganjurkan para orang tua untuk tidak memberi obat sirup paracetamol kepada anak yang sedang mengalami demam sebagai langkah berjaga-jaga di tengah kemunculan kasus gagal ginjal akut.

"Dugaan dari Gambia, Afrika, ada kandungan dietilen glikol dan etilen glikol pada sirup obat. Untuk kewaspadaan dini, hindari dulu obat sirup, sambil diawasi ada tidaknya obat itu di Indonesia," kata Ketua Pengurus Pusat IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, dalam siaran langsung Instagram IDI, seperti dilansir Antara, hari Selasa (18/10).

Piprim menjelaskan saat ini sudah terlalu banyak produk obat antibiotik beredar di pasaran, termasuk yang mengandung paracetamol. Bahkan produk tersebut kerap menjadi jalan instan bagi orang tua dalam menurunkan demam anak.

"Yang dihadapi sekarang adalah obat sirup paracetamol atau obat pilek batuk lain yang ada campuran dietilen glikol dan etilen glikol," ujar Piprim.

Anjuran tersebut merupakan kewaspadaan dini yang bisa diterapkan para orang tua, dengan mengambil pelajaran dari kasus gagal ginjal akut di Gambia.

"IDAI merekomendasikan ke Kemenkes agar hindari dulu konsumsi obat tersebut," katanya.

Piprim menganjurkan pengobatan konservatif untuk menurunkan demam pada anak, salah satunya dengan memberikan waktu istirahat yang cukup dan tidak menggunakan antibiotik.

"Pakai cara konservatif dulu, kecuali ada komorbid seperti asma, pneumonia. Itu butuh obat serius. Kalau batuk dan pilek karena cuaca, cukup istirahat, jangan gunakan antibiotik" ujarnya. 

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan penelitian terhadap kasus-kasus yang ditemukan belum mencapai hasil yang konklusif karena “ada banyak aspek yang harus diperiksa”.

“Kan mesti mengecek riwayat obat yang diminum, kandungannya, dan perlu pemeriksaan lain seperti jenis virus sebagainya,” kata Siti Nadia Tarmizi seperti dirilis BBC News Indonesia.

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menyebut telah menerima 189 laporan kasus gagal ginjal akut dari 20 provinsi.

Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyatakan bahwa empat sirup obat batuk asal India yang mengandung etilen glikol --dan diduga sebagai penyebab gagal ginjal akut di Gambia—tidak terdaftar di Indonesia.

BPOM juga telah menetapkan persyaratan bahwa seluruh produk obat sirup untuk anak maupun dewasa tidak diberbolehkan menggunakan dietilen glikol dan etilen glikol.

BBC telah mencoba menghubungi Kepal BPOM Penny Lukito terkait kemungkinan keempat sirup obat batuk itu didistribusikan secara informal, seperti yang diperingatkan oleh WHO sebelumnya, namun belum ada jawaban sampai berita ini ditulis.

Merespons situasi ini, Kementerian Kesehatan sebelumnya sudah menerbitkan panduan untuk menangani penyakit yang diidentifikasi sebagai gangguan ginjal akut (acute kidney injury).

IDAI pada Jumat lalu mengatakan mayoritas anak yang terkena gangguan ginjal akut berusia 1-5 tahun.

Sebanyak 44 pasien anak dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang juga menjadi tempat penelitian penyakit yang masih digambarkan misterius itu.

Ketua Pengurus Pusat IDAI dr. Pimprim Basarah Yanuarso mengatakan jumlah itu bisa berubah-ubah, karena ada beberapa rumah sakit yang tidak melaporkan kasusnya karena dianggap rahasia.

Dari total 152 pasien anak AKI yang dihimpun hingga Jumat lalu, sebanyak 44,1% mengalami gelaja infeksi saluran cerna sebelum dinyatakan AKI.

Sementara itu 30,3% mengalami demam, 18,4% mengalami ISPA, sisanya mengalami gejala lainnya.

Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Lies Dina Liastuti, mengatakan pihaknya masih meneliti penyebab pasti gangguan ginjal akut misterius yang dialami anak-anak di 14 provinsi di Indonesia.

“Masih proses diteliti,” kata Lies, Rabu (12/10).

Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Syahril Mansyur, mengatakan hasil pemeriksaan laboratorium Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) “tidak ditemukan bakteri atau virus yang spesifik”.

Untuk menindaklanjuti temuan kasus gangguan ginjal akut itu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes telah menerbitkan Tatalaksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal sebagai panduan bagi fasilitas kesehatan untuk menangani pasien dengan kasus serupa.

"Fasilitas pelayanan kesehatan jangan sampai tidak tahu dengan keadaan atau gejala-gejala kasus ini, sehingga bisa dilakukan penanganan-penanganan lebih cepat dan intervensi supaya angka kematian bisa kita tekan," kata Syahril.

Dari lebih 150 anak yang terkena “gangguan ginjal akut” atau acute kidney injury (AKI) sejak Januari lalu, IDAI mengatakan ada beberapa pasien yang sudah sembuh, tapi ada juga yang masih menjalani perawatan.

“Dari Januari ke Juli itu pasien yang pulih, semua pulih sempurna. Di Januari-Juli itu angka kematiannya mungkin sekitar 30%,“ kata Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati, dalam jumpa pers pada Selasa (11/10).

IDAI mencatat, sejak Januari hingga Juli 2022, terdapat sembilan kasus yang “ditandai sebagai AKI“.

Pada Agustus, dr. Eka mengatakan mulai terjadi lonjakan kasus AKI pada anak-anak.

“Di Agustus ada 35 kasus, kemudian di September meningkat menjadi 71, di Oktober sampai tanggal 11 ini, 9 kasus,” ujarnya.

Mengapa penyakit itu misterius?

Belum diketahui pasti penyebab gangguan ginjal akut misterius yang menyerang ratusan anak-anak itu.

Dikatakan misterius karena investigasi yang dilakukan para dokter pun belum mendapatkan kesimpulan karena “tidak ditemukan penyebab yang biasanya timbul pada anak-anak yang mengalami AKI“.

Dokter Eka menjelaskan, biasanya AKI terjadi karena anak kekurangan cairan atau kehilangan cairan dalam waktu yang singkat, misalnya pada anak yang diare, mengalami dehidrasi, pendarahan yang hebat, atau pasien yang mengalami fase shock saat terkena demam berdarah dengue.

“Kondisi seperti itu, di mana terjadi kekurangan cairan yang masuk ke ginjal, itu akan menyebabkan AKI. Ada lagi infeksi yang berat, umumnya terjadi di rumah sakit, dalam perjalanannya, dia bisa mengalami AKI.

"Tetapi kami lihat bahwa anak-anak ini, dalam wawancara dengan orang tuanya mengenai riwayat penyakitnya, itu tidak jelas ada episode penyakit yang seperti itu, tetapi dia tiba-tiba mengalami penurunan jumlah urine atau air seninya. Jadi itu kita masih belum bisa mendapatkan apa penyebabnya,“ kata dr. Eka menjelaskan.

Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso juga mengatakan biasanya anak-anak yang mengalami AKI memiliki masalah ginjal bawaan, tapi pada kasus yang ditemukan di Indonesia kali ini, ginjal para pasien anak itu normal dan “tidak mengalami kelainan bawaan“.

“Ini masih merupakan hal yang perlu kita dalami lebih lanjut, yang jelas angka kematiannya cukup tinggi. Kita minta tetap waspada, namun tidak perlu panik berlebihan karena kepanikan itu juga akan membuat segalanya menjadi tidak terkendali," ujar Piprim.

Apa yang dialami anak-anak dengan kasus gangguan ginjal akut?

Dokter Eka menjelaskan, semua pasien anak yang dia tangani mengalami penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak buang air kecil. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, para dokter tidak menemukan jenis infeksi yang konsisten pada semua anak, sehingga mereka tidak bisa menyebutkan penyakit itu mengarah pada infeksi tertentu.

Namun, dr. Eka menjelaskan lebih jauh bahwa anak-anak yang menderita AKI itu tidak hanya mengalami gangguan pada ginjal, melainkan juga pada organ-organ lainnya.

“Ketika kami melakukan pemeriksaan secara mendetail, di laboratorium, dan kami mengamati gejala klinisnya, dalam perjalanannya di rumah sakit mereka ini sebetulnya mengalami apa yang kami sebut dengan peradangan di banyak organ," kata dr. Eka.

Jadi, ada tanda-tanda peradagangan di hatinya juga, kemudian ada juga gangguan dalam sistem darahnya, jadi ada penggumpalan darah yang berlebihan," sebutnya.

"Memang sepertinya ini bukan hanya melibatkan organ ginjal, meskipun manifetasi awalnya semuanya itu di ginjal, tapi yang kita dapatkan sebetulnya ada keterlibatan organ lain,“ ujar dr. Eka.

Selama perawatan di rumah sakit, dr. Eka menambahkan, anak-anak itu juga mengalami penurunan kesadaran.

Apa perawatan yang diberikan untuk pasien anak AKI?

Untuk pasien yang ginjalnya tidak memproduksi urine, para dokter memberikan terapi obat dan cairan. Cara itu berhasil dilakukan pada beberapa pasien karena terbukti mereka bisa kembali memproduksi urin.

Namun, untuk pasien yang sudah diberikan obat, tetapi ginjalnya tetap tidak mau memproduksi urin, dr. Eka mengatakan mereka harus menjalani cuci darah.

“Hemodialisis atau Peritoneal Dialisis, cuci darah dengan mesin atau yang melalui selaput perutnya pasien itu sendiri, atau metode lain yang advance, dialisis yang continue. Dan kami juga melakukan plasma exchange atau transfusi tukar,“ kata dia.

Apa gejala gangguan ginjal akut?

Sebelum diketahui mengalami AKI, pasien anak mengalami gejala infeksi seperti batuk, pilek, diare, atau muntah. Dokter Eka menyebut infeksi yang dialami pasien anak tidak berat dan “secara teoritis bukan tipikal infeksi yang menyebabkan AKI”.

Hal itu membuat para dokter heran.

“Dia hanya beberapa hari timbul batuk, pilek, diare, atau muntah, dan demam, kemudian dalam 3-5 hari, mendadak tidak ada urinnya. Jadi, tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi, anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan dengan tidak buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit.”

Pasien anak juga dikatakan tidak mengalami sakit perut karena tidak ditemukan sumbatan dalam aliran buang air kecilnya.

Gangguan ginjal akut misterius ini kebanyakan dialami oleh balita, tapi ada juga anak dengan usia delapan tahun dan ada juga yang berusia belasan tahun.

Apakah ada kaitannya dengan kasus di Gambia?

Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan global terhadap empat merek sirup obat batuk yang diduga berkaitan dengan gangguan ginjal akut yang menyebabkan kematian 66 anak di Gambia.

Hasil analisis laboratorium mengungkap empat sirup obat batuk buatan India itu mengandung dietilen glikol dan etilen glikol dalam takaran berlebih, yang bisa sangat berbahaya jika dikonsumsi manusia.

Keempat merek obat batuk itu adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.

Pihak berwenang India dan produsen sirup obat batuk, Maiden Pharmaceuticals, mengatakan sirup obat batuk itu hanya diekspor ke Gambia.

Melihat adanya kesamaan kasus, juru bicara Kemenkes dr. Syahril mengatakan sudah berdiskusi dengan tim dari Gambia untuk mencari tahu kasus itu lebih jauh.

“Hasil diskusi dengan tim dari Gambia yang mempunyai kasus serupa, dugaan ke arah konsumsi obat yang mengandung etilen glikol. Tapi, hal ini perlu penelitian lebih lanjut karena tidak terdeteksi dalam darah. Dugaan di Gambia mengarah ke intoksikasi,” kata Syahril, Rabu (12/10).

Dia juga menambahkan, saat ini Kemenkes sedang melakukan koordinasi dengan ahli dari WHO yang mengadakan investigasi kasus gangguan ginjal akut pada anak di Gambia, untuk mengetahui hasil investigasinya.

"Jadi, yang di RSCM ini sedang diteliti juga oleh ahli kita, tapi ini kan juga berskala internasional karena ada kemungkinan dikaitkan dengan di Gambia, maka harus diteliti juga oleh ahli internasional," ujar Syahril.

Sebelumnya, IDAI mengatakan tidak menemukan obat-obatan yang serupa dengan yang di Gambia karena obat-obatan yang berasal dari India itu tidak ditemukan di Indonesia.

Pihak Kemenkes juga menyebut obat-obat itu tidak ada di Indonesia. Namun, ketika ditanya soal kandungan obat yang sama, dr. Syahril mengatakan, "Masih dalam kajian IDAI, RSCM, dan Kemenkes".

Meski demikian, IDAI mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati lagi menggunakan obat, apalagi untuk anak-anak. Masyarakat juga diharapkan tidak sembarangan membeli obat-obat yang dijual secara daring, terutama obat-obat yang tidak dijual resmi di Indonesia.

”Seperti aturan umum, obat itu harus dikonsumsi dengan pengawasan dokter, apalagi pada anak-anak yang masih kecil diharapkan untuk tidak membeli obat sendiri, mengobati sendiri. Kemudian harus mengikuti anjuran terapi dari dokter karena untuk anak-anak yang masih kecil obat-obat itu menjadi lebih keras efeknya,” kata dr. Eka.
Orang tua harus waspada

IDAI mengimbau para orang tua memberikan jumlah cairan yang cukup untuk anak ketika anak mengalami batu, pilek, muntah, diare, dan demam.

“Bila tidak memungkinkan melalui minum, maka harus segera dibawa ke RS untuk diinfus,” kata dr. Eka.

Orang tua juga diminta memantau produksi urine pada anak. Ketika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil anak juga harus segera dibawa ke rumah sakit karena masalah ini tidak bisa ditangani sendiri di rumah.

Dalam kondisi normal, anak dengan berat 10 kilogram akan mengeluarkan 1 cc air seni per jam. Jika berat anak 10 kilogram, maka perjamnya dia akan memproduksi 10 cc air seni atau 240 cc (seukuran gelas air minum kemasan) dalam sehari.

Kalau batuk dan pilek karena cuaca, cukup istirahat, jangan gunakan antibiotik, kata pengurus IDAI.

Tags : Penelitian medis, Kesehatan mental, Tidur, Kesehatan, Sains, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,