AGAMA - Momen fajar menyingsing pada Senin (18/03) lalu, menandai dimulainya Ramadan sekaligus menghadirkan ironi yang kejam bagi penduduk Gaza. Bulan suci ketika umat Islam berpuasa di siang hari tiba di tengah bencana kelaparan yang mengancam.
Warga Gaza telah mengalami perang selama lima bulan terakhir. Seluruh penduduk di Gaza sudah bergantung pada bantuan pangan untuk bertahan hidup.
“Orang-orang di sini sudah berpuasa selama berbulan-bulan,” kata dokter Amjad Eleiwa, Wakil Direktur Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit al-Shifa, Kota Gaza.
“Masyarakat menjelajahi kota mencari makanan untuk bertahan hidup, tapi mereka tidak dapat menemukannya,” ujarnya.
Israel telah menghancurkan infrastruktur pangan dan lahan pertanian di seluruh Gaza. Berbagai badan bantuan mengatakan peningkatan pemeriksaan keamanan Israel pada truk pengiriman telah menciptakan hambatan dalam upaya mencapai bantuan kepada masyarakat.
Badan global yang bertanggung jawab untuk menyatakan kelaparan, Integrated Food Security Phase Classification (IPC), Senin (18/03) lalu menyatakan bahwa 1,1 juta orang – hampir separuh penduduk Gaza – sudah kelaparan.
Sebagian penduduk Gaza yang lain mungkin mengalami kelaparan pada Juli mendatang, menurut mereka.
Krisis pangan paling parah terjadi di Gaza utara. Berbeda dengan Ramadan sebelumnya, tahun ini penduduk di sana tidak bisa sahur atau berharap bisa menghilangkan rasa lapar mereka dengan berbuka puasa setelah matahari terbenam.
Dekorasi jalanan, penabuh genderang, dan kios-kios yang penuh dengan camilan telah digantikan oleh kehancuran, kematian, dan perjuangan sehari-hari untuk mendapatkan makanan. Harga tepung atau gandum yang tersedia telah meningkat lima kali lipat.
“Saya ingat Ramadan lalu, ada makanan enak – jus, kurma, susu, apa pun yang Anda inginkan,” kata Nadia Abu Nahel, seorang ibu berusia 57 tahun yang merawat keluarga besar dengan 10 anak di Kota Gaza.
“Dibandingkan tahun ini, rasanya seperti surga dan neraka,” ujarnya.
“Anak-anak sekarang menginginkan sepotong roti, itu adalah makanan yang mereka impikan. Tulang mereka menjadi lebih lunak. Mereka pusing, mereka kesulitan berjalan. Mereka menjadi sangat kurus,” kata Nadia.
Menurut badan amal kemiskinan Care, setidaknya 27 orang – 23 di antaranya anak-anak – meninggal karena kekurangan gizi atau dehidrasi di Gaza utara dalam beberapa pekan terakhir.
Jumlah sebenarnya, menurut dokter dari beberapa rumah sakit di wilayah utara, kemungkinan besar lebih tinggi.
Di antara mereka yang dirawat karena kekurangan gizi oleh dokter Eleiwa di Rumah Sakit al-Shifa baru-baru ini adalah seorang anak laki-laki berusia antara 10 dan 12 tahun yang meninggal minggu lalu selama bulan Ramadan.
Terdapat seorang anak laki-laki berusia sekitar empat bulan yang ibunya dibunuh pasukan Israel sehingga dia kekurangan susu padahal tidak ada yang bisa dibeli serta seorang gadis berusia 18 tahun yang menderita epilepsi.
“Dia sakit dan obat-obatannya tidak tersedia lagi dan keluarganya tidak punya makanan. Pada akhirnya tubuhnya sangat kurus, hanya tulang dan kulit dan tidak ada lemak,” kata dokter Eleiwa.
Di bawah perawatannya di al-Shifa pada hari Jumat, Rafeeq Dughmoush yang berusia 16 tahun terbaring miring, terikat di tempat tidur. Tulang Rafeeq terlihat dan salah satu kakinya diamputasi dari lutut ke bawah. Sebuah tas kolostomi dipasang di tubuhnya.
"Saya kehilangan tubuh saya," katanya, berbicara perlahan untuk menarik napas di antara kata-katanya.
“Saya sangat lemah sehingga saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya dari satu sisi ke sisi lain. Paman saya harus memindahkan saya.”
Rafeeq dan saudara perempuannya Rafeef, 15 tahun, terluka parah ketika serangan udara Israel menghantam rumah mereka, menewaskan 11 anggota keluarga, kata paman mereka, Mahmoud.
Yang tewas pada hari itu adalah ibu mereka, empat saudara kandung lainnya, serta keponakan-keponakan mereka.
Rafeeq sudah menderita kekurangan gizi sebelum serangan Israel yang melukainya.
“Kami tidak dapat menemukan buah apa pun untuk dimakan, tidak ada apel, tidak ada jambu biji, tidak ada daging, dan harga makanan apa pun di pasar terlalu mahal,” katanya.
Rafeef, yang kakinya patah akibat serangan itu dan terjepit, mengatakan dia telah meminta staf rumah sakit untuk memberikan buah atau sayuran apa pun untuk dia makan, "tetapi mereka tidak dapat menyediakannya".
Ramadan sebelum ini adalah saat yang penuh kegembiraan bagi Rafeef.
"Surga dibandingkan dengan sekarang," ujarnya.
"Masa itu sungguh indah," katanya.
“Tetapi masa-masa seperti ini tidak akan kembali lagi. Orang-orang terbaik dalam hidup kami telah menghilang,” ujarnya.
Para dokter di al-Shifa telah memindahkan banyak pasien anak-anak yang kekurangan gizi ke rumah sakit Kamal Adwan di wilayah utara, karena rumah sakit tersebut memiliki fasilitas anak yang lebih baik, namun jumlah anak-anak yang meninggal di rumah sakit tersebut juga tinggi.
Dokter Hussam Abu Safiya, kepala bagian pediatri di Kamal Adwan, mengatakan 21 anak meninggal di rumah sakit karena kekurangan gizi atau dehidrasi dalam empat minggu terakhir. Saat ini terdapat 10 anak dalam kondisi akut.
“Saya merasa tidak berdaya untuk menyelamatkan anak-anak ini dan ini adalah perasaan yang berat dan memalukan,” kata dokter Safiya.
“Saya memiliki perasaan yang sama terhadap staf saya, yang tidak dapat menemukan cukup makanan untuk diri mereka sendiri dan kadang-kadang tidak makan.”
Israel mengobarkan “perang dengan kelaparan,” katanya.
“Dengan sengaja merampas makanan anak-anak, membunuh mereka dengan kelaparan – tidak ada hukum di dunia yang mengizinkan penjajah melakukan hal ini.”
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell juga menuduh Israel sengaja membuat warga Gaza kelaparan.
“Di Gaza kami tidak lagi berada di ambang kelaparan, kami berada dalam kondisi kelaparan,” katanya Senin lalu.
"Ini tidak bisa diterima. Kelaparan digunakan sebagai senjata perang. Israel memicu kelaparan," ujarnya,
Israel membantah pihaknya sengaja membuat warga Gaza kelaparan. Mereka justru menyalahkan PBB, yang mereka tuduh telah menciptakan tantangan logistik dalam pengiriman bantuan. Israel juga menyalahkan Hamas yang menurut mereka telah mengambil alih bantuan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pekan lalu membantah bahwa warga Gaza kelaparan.
“Itu bukanlah informasi yang kami miliki, dan kami memantaunya dengan cermat,” katanya kepada media Politico.
Namun warga Gaza kelaparan. “Fakta-fakta sudah membuktikannya,” kata Abeer Etefa, juru bicara senior Program Pangan Dunia untuk Timur Tengah.
“Terdapat 1,1 juta anak di bawah fase 5 IPC – itu adalah bencana kelaparan. Dan lebih dari sepertiga anak di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi akut. Itu berarti mereka berisiko meninggal,” ujarnya.
Pada Jumat pekan lalu, 200 ton bantuan makanan yang disediakan oleh badan amal World Central Kitchen tiba dengan tongkang di dermaga yang baru dibangun di lepas pantai Gaza.
Badan amal itu membangun dermaga tersebut dari puing-puing bangunan yang hancur.
Bantuan itu diharapkan akan mengurangi kekurangan pangan yang parah di bagian utara dan tengah Gaza serta memberikan bantuan selama sisa bulan Ramadan.
Namun operasi bantuan amal tersebut telah menimbulkan tuduhan terhadap Israel bahwa mereka telah mengabaikan tanggung jawab kemanusiaannya terhadap penduduk sipil, sehingga menyerahkan tanggung jawab kepada badan amal dan negara lain untuk turun tangan mengisi kekosongan tersebut.
“Sebagai otoritas pendudukan, Israel berkewajiban memenuhi kebutuhan penduduk atau memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan,” kata Juliette Touma, Direktur Komunikasi Badan Pengungsi PBB, UNRWA.
“Dan mereka tidak melakukan hal itu. Tidak cukup.”
Pada hari Jumat, ketika kapal tongkang World Central Kitchen mendekati garis pantai Gaza, Khaled Naji, ayah enam anak, sedang membantu istrinya menyiapkan makan malam di reruntuhan rumah mereka di Deir al-Balah, Gaza tengah.
“Kami membutuhkan bantuan ini,” kata Naji.
“Mereka bicara tentang bantuan kemanusiaan tapi kami tidak mendapat apa-apa.”
Seperti banyak orang di Gaza, Naji dan keluarganya berusaha untuk merayakan Ramadan.
“Kami puasa karena Tuhan tapi tahun ini kami tidak bisa menjalaninya,” ujarnya.
“Bukan sahur, bukan saat kami berbuka, bukan ritual yang biasa kami ikuti. Kami tidak mendandani anak-anak kami dan mengajak mereka salat. Kami tidak mengajari mereka tentang keimanan.
"Kami harus memberikan makanan seadanya kepada mereka sembari cemas kalau-kalau ada bom jatuh di atas kepalamu," kata Naji.
Saat matahari terbenam tiba, Naji meletakkan selimut di atas lempengan beton dan duduk bersama keluarganya di tengah reruntuhan.
Mereka telah mengais sejumlah kecil makanan segar untuk makan malam. Pada beberapa hari sebelumnya, tidak ada satu pun.
“Situasi kami saat ini, di Jalur Gaza, membuat saya iri pada mereka yang tewas,” kata Naji.
“Kami tidak berada di bulan Ramadan tahun ini, sebaiknya kami mengganti nama. Kami berada di bulan kematian". (*)
Tags : Islam, Muslim, Israel-Palestina, Kelaparan, Timur tengah, Dunia Arab, Israel, Palestina, Agama,