Headline Sorotan   2021/09/03 14:22 WIB

Harga Tes Rapid Antigen Diturunkan, Tapi Masih 'Dikhawatirkan Kualitas tak Sesuai Rekomendasi WHO'

Harga Tes Rapid Antigen Diturunkan, Tapi Masih 'Dikhawatirkan Kualitas tak Sesuai Rekomendasi WHO'
Petugas kesehatan melakukan tes usap antigen Covid-19 kepada seorang warga di sebuah puskesmas, awal Juli 2021. (Foto. Robertus Pudyanto, Getty Images).

"Pemerintah menurunkan harga tes rapid antigen dan belum bisa dilakukan secara gratis, namun kualitasnya masih dikhawatir tak sesuai rekomendasi WHO"

eorang ahli penyakit menular dan pengamat kebijakan kesehatan berharap pemerintah diminta mengawasi secara ketat kualitas alat tes swab antigen di masyarakat, menyusul keputusan pemerintah menurunkan harga batasan tarif tertinggi pemeriksaan Covid-19 dengan metode tes rapid antigen. Kekhawatiran kebijakan penurunan tarif atas itu akan membuat pihak rekanan mengurangi kualitas alat tesnya agar tidak merugi. "Sehingga mereka mencari alat tes baru yang jauh lebih murah supaya bisa tetap menjaga keuntungan," kata ahli penyakit menular dari Fakultas Kedokteran UGM, Riris Andono Ahmad.

Sementara, pengamat kebijakan kesehatan dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, mengatakan, apabila alat tes antigen itu tidak berkualitas, dapat berdampak serius pada penanganan pandemi. "Pemerintah harus memastikan bahwa di lapangan kualitasnya [alat tes antigennya] benar, karena ini sangat berkaitan dengan efek domino," kata Olivia Herlinda dirilis BBC News Indonesia, Kamis (02/09).

Adapun Kementerian Kesehatan menjamin semua alat tes antigen yang beredar di pasaran sudah dilakukan validasi sesuai standar yang ada, kata salah seorang pejabatnya. "Jadi rapid diagnostik antigen yang memenuhi syarat tersebut itulah yang akan diberikan izin edar," kata Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menurunkan harga batasan tarif tertinggi biaya tes rapid antigen di Jawa-Bali Rp99.000 dan di luar Jawa-Bali maksimal Rp109.000. Akhir tahun lalu, pemerintah mematok harga tarif tertinggi tes rapid antigen di Jawa-Bali sebesar Rp250.000 dan di luar Jawa-Bali ditetapkan Rp275.000. Keputusan penurunan harga batasan tarif tertinggi itu didasarkan perhitungan beberapa komponen, kata Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir dalam jumpa pers secara daring.

Komponen itu seperti jasa pelayanan, komponen reagen, bahan habis pakai, biaya administrasi, serta biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Tes antigen sejauh ini masih menjadi salah-satu persyaratan bagi anggota masyarakat untuk melakukan perjalanan, selain tes PCR dan vaksinasi minimal sekali. Pemerintah Indonesia menyatakan sudah empat kali melampaui standar testing yang ditargetkan WHO per pekan ketiga Juli 2021 lalu. Indonesia dilaporkan melakukan tes virus Covid-19 kepada 23,3 juta orang pada Senin 19 Juli 2021 (termasuk tes antigen dan PCR), kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito, akhir Juli lalu. Jumlah itu, menurut Worldometers, terbilang masih rendah sehingga menempatkan rasio tes Covid-19 Indonesia di peringkat delapan dari sebelas negara Asia Tenggara. 

Ahli penyakit menular dari Fakultas Kedokteran UGM, Riris Andono Ahmad mengatakan, persoalan yang kemungkinan muncul setelah penurunan harga pemeriksaan tes antigen adalah kualitas alatnya. Dia khawatir bakal beredar di masyarakat alat-alat tes yang disebutnya kemungkinan "tidak sesuai rekomendasi WHO" atau "tidak ada dalam daftar pemerintah". "Sebuah kewajaran setiap layanan yang sifatnya berorientasi pasar 'kan mencari keuntungan," kata Riris Andono, ketika ditanya mengapa dirinya khawatr.

"Jadi kalau harga diturunkan, otomatis marjin keuntungan menjadi turun, sehingga mereka mencari alas tes baru yang jauh lebih murah agar bisa tetap menjaga keuntungan," paparnya.

Karena itulah, Riris Andono meminta Kementerian Kesehatan memastikan agar hal itu tidak terjadi di lapangan setelah ada kebijakan penurunan harga tertinggi tes antigen. "Sehingga mereka tidak bisa bebas memilih alat tes yang bebas beredar di pasaran," ujarnya.

Senada dengan Riris Andon, Direktur kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda mengatakan, pihaknya mendukung langkah Kemenkes itu, tetapi harus disertai pengawasan kualitas atas tes rapid antigen. "Jangan sampai seperti kasus-kasus tes rapid antibodi, yang murah, tapi kualitasnya tidak terkontrol," kata Olivia.

Dalam jumpa pers pada Rabu (01/09), seorang pejabat Kemenkes menyatakan saat ini sudah banyak alat rapid tes antitgen yang diproduksi di dalam negeri. Kenyataan inilah yang menjadi salah-satu pertimbangan pemerintah untuk menurunkan tarif tes antigen. Di sinilah, Olivia meminta Kemenkes harus mengawasi kualitas alat tes antigen, karena jika terbukti alatnya jelek, akan "berefek domino" pada penanganan pandemi Covid-19. "Jadi misalnya alatnya sudah jelek, terus rentetannyaa kasusnya tetap tidak ditemukan, penularan tetap tinggi, dan sebagainya."

Apakah pemerintah dapat menjamin kualitas alat tes antigen?

Kementerian Kesehatan menjamin semua alat tes antigen yang beredar di pasaran sudah dilakukan validasi sesuai standar yang ada, kata Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir. "Semua rapid diagnostik antigen yang beredar di pasaran itu dilakukan semacam validasi oleh Litbangkes sampai sejauh mana sensivitasnya. Standarnya itu di atas 95%," kata Abdul kadir. "Jadi rapid diagnostik antigen yang memenuhi syarat tersebut itulah yang akan diberikan izin edar," katanya.

Dengan demikian, Kemenkes dapat memberikan jaminan atas semua rapid diagnostik antigen yang beredar resmi di pasaran sudah mendapat izin edar. "Itu kualitasnya dapat dipertanggugnjawabkan," tegasnya yang juga menyatakan pihaknya akan melakukan pengawasan secara berkala.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia menjelaskan alasan kenapa baru sekarang pihaknya menurunkan harga batasan tarif tertinggi tes rapid antigen. Akhir tahun lalu, pihaknya sudah pernah mengeluarkan tarif, dan menurutnya semua itu dilakukan evaluasi secara berkala. "Melihat kondisi sekarang, kita juga melihat perubahan harga yang ada, karena ada 12 produk lokal dari rapid antigen, dan ada 102 produk antigen yang impor," jelasnya.

Bila dibandingkan pada awal pandemi, setidaknya pada Oktober tahun lalu, jumlah produknya masih sangat terbatas. "Tidak sebanyak sekarang," katanya. "Jadi otomatis dengan jumlah rapid antigen yang jumlahnya relatif lebih banyak, pasti juga akan mempengaruhi harga dari pemeriksaannya," papar Nadia.

Dengan harga yang relatif lebih murah, menurutnya, akan menambah akses masyarakat untuk melakukan pemeriksaan melalui metode antigen. Namun demikian, Direktur kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda mengatakan, walaupun harga tes antigen 'mandiri' diturunkan, tidak berarti pemerintah kemudian lepas tangan. "Pemerintah tidak bisa melepaskan tanggungjawab utamanya, yaitu melakukan tes secara massal dan gratis untuk masyarakat," kata Olivia.

Pemerintah disarankan tambah tes PCR gratis

Pemerintah disarankan agar melaksanakan pemeriksaan Covid-19 gratis secara lebih luas, mengingat jumlah tes di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan dengan angka penduduk. Pakar epidemiologi Laura Navika Yamani dari Universitas Airlangga, Surabaya mengatakan, minimnya jumlah tes berarti ada kemungkinan bahwa angka kasus sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.

Di tengah kurangnya jumlah tes yang dilakukan pemerintah - dibatasi terhadap mereka yang dalam penelusuran kontak - sejumlah warga berinisiatif melakukan tes di rumah sakit dengan biaya sendiri. Hal itu mendorong pemerintah menyusun standardisasi tes PCR, yang sedang dalam pembahasan di Kementerian Kesehatan. Jumlah kasus di Indonesia sendiri terus meningkat, dengan kenaikan par hari Senin (21/09), mencapai 4.176 - rekor tertinggi selama pandemi - dengan jumlah total sejauh ini mencapai 248.852.

Enam bulan sejak pandemi resmi dimulai, jumlah tes di Indonesia masih terbilang rendah. Menurut catatan portal data statistik Statista, angka tes Indonesia 10.660 per satu juta orang -- paling rendah di antara 30 negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak, ditambah China. Hal itu juga diakui pemerintah. Bulan lalu, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan jumlah tes Covid-19 di Indonesia baru mencapai 35,6% dari standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1:1000 penduduk per minggu. "Kemudian Indonesia dengan penduduk 260 juta jiwa, kami ingin memastikan mampu mencapai jumlah tes Covid-19 267.700 setiap pekan," ujar Wiku.

Ia menambahkan bahwa pemerintah juga berusaha untuk konsisten memenuhi target pemeriksaan 30.000 spesimen per hari. Sementara positivity rate - persentase hasil positif dibandingkan jumlah pemeriksaan spesimen - nasional sebesar 14,3% - jauh dari standar aman WHO yaitu 5%. Laura Navika Yamani, pakar epidemiologi dari Unair, mengatakan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tes seiring meningkatnya kembali pergerakan masyarakat di masa pandemi. "Yang terjadi sekarang, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diambil sebagai upaya untuk pengendalian kasus karena masyarakat harus mengutamakan sektor ekonomi, jadi harus terus bergerak. Artinya kapasitas pemeriksaan harus terus ditingkatkan," kata Laura.

Dengan minimnya tes yang dilakukan pemerintah, beberapa warga berinisiatif melaksanakan tes PCR secara mandiri ke rumah sakit. Salah satunya Binar, 25 tahun, yang mengaku mengeluarkan biaya sebesar Rp1,9 juta untuk tes swab di sebuah rumah sakit di Ciputat, Tangerang Selatan. Ia memutuskan untuk mengambil tes PCR sendiri karena ada beberapa orang di kantornya yang dinyatakan positif Covid-19. "Dari awal PSBB, saya sudah mulai kerja di kantor. Saya merasa terlalu lama diam di luar dan belum ada gejala sama sekali," ujarnya.

Binar memilih untuk membayar sebanyak itu karena paketnya menjanjikan hasil tes keluar dalam sehari. Ia mengatakan, ada paket yang lebih murah tapi hasilnya keluar lebih lama dan ia tidak yakin dengan kualitasnya. "Sekarang [paket tes PCR di rumah sakit] yang keluar harganya ada yang sampai Rp750.000, tapi apakah tingkat akurasinya sama dengan harganya yang lebih mahal?".

Selama ini, rumah sakit-rumah sakit rujukan pemerintah menyediakan layanan tes usap secara gratis. Sementara beberapa rumah sakit swasta menawarkan tes tersebut dengan tarif Rp1,7 juta hingga Rp4 juta, tergantung seberapa cepat hasilnya keluar. Menanggapi fenomena ini, pemerintah mengatakan bahwa mereka tengah menyusun aturan terkait standardisasi pemeriksaan Covid-19 dengan tes PCR. Aturan ini terutama terkait standardisasi harga dan mutu tes.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan, aturan ini dimaksudkan mempermudah masyarakat memperoleh tes swab secara mandiri dengan mudah, murah, dan cepat. "Kan ini untuk kepentingan bersama, jadi bangsa Indonesia harus berjuang bersama-sama bagaimana semua orang bisa memperoleh tes swab untuk dirinya sendiri atau untuk grupnya," kata Agus.

Sebelumnya dilaporkan bahwa aturan tersebut akan keluar pada hari Senin 21 Septeber 2021, namun Agus mengatakan bahwa ia masih dibahas di Kementerian Kesehatan. Beberapa rumah sakit telah dituding melakukan "komersialisasi" tes PCR, dengan mematok harga mahal. Namun Asosiasi Rumah Sakit membantah tudingan ini, mengatakan bahwa harga mahal itu dikarenakan pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes serta membayar tenaga kesehatan yang terlibat.

Laura Navika Yamani mengatakan tes mandiri bisa membantu penanganan Covid-19 di daerah karena datanya akan disampaikan juga kepada dinas kesehatan setempat, untuk keperluan contact tracing. Bagaimanapun, menurutnya pemeriksaan Covid-19 yang gratis perlu menjangkau ke komunitas secara luas. Di beberapa daerah, misalnya Jakarta, pemeriksaan Covid-19 gratis dengan tes PCR hanya diberikan pada orang-orang hasil contact tracing. Bahkan, kurang dari setengah tes PCR Covid-19 di Jakarta dilaksanakan secara gratis. Menurut Laura, pemerintah juga perlu menyediakan pemeriksaan gratis pada mereka yang tidak terkait dengan contract tracing. "Karena ini kan kepentingannya adalah menemukan kasus sebanyak-banyaknya di komunitas," ujarnya.

Kota Surabaya telah mencoba langkah ini, dengan menggratiskan tes swab di Laboratorium Kesehatan Daerah, meski warga harus memenuhi sejumlah syarat untuk bisa mendapatkan fasilitas ini. (*)

Tags : Virus Corona, Indonesia, Kesehatan,