Sorotan   2021/03/12 15:42 WIB

Ilmuwan Curiga Pasar Seafood Sebagai 'Titik Awal' Berjangkitnya Virus Corona

Ilmuwan Curiga Pasar Seafood Sebagai 'Titik Awal' Berjangkitnya Virus Corona
Perdagangan satwa liar China dituding mendorong beberapa spesies burung ke ambang kepunahan

"Pasar seafood di Wuhan dicurigasi sebagai titik awal berjangkitnya virus corona yang sudah menelan lebih dari 200 juta nyawa. Akankah wabah satwa liar bisa  menyelamatkan hewan-hewan "eksotis" yang terancam punah"

ara ilmuwan mencurigai sebuah pasar seafood di Wuhan sebagai titik awal berjangkitnya virus corona, virus yang hingga Jumat (31/01) sudah menelan lebih dari 200 nyawa.Pasar itu dikenal sebagai pasar yang memperdagangkan hewan-hewan liar seperti ular, rakun, dan landak. Hewan-hewan itu ditaruh dalam kandang dan dijual secara ilegal, untuk dijadikan makanan maupun obat, hingga akhirnya dihentikan setelah seluruh provinsi dikarantina karena virus corona. China adalah konsumen produk-produk hewan liar, baik legal maupun ilegal.

Pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sumber utama penularan kemungkinan besar adalah kelelawar. Tetapi mereka berpikir virus corona melompat ke hewan lain, yang belum diidentifikasi, sebelum menginfeksi manusia. China secara tradisional memiliki keinginan yang besar atas produk-produk satwa liar. Beberapa hewan dimakan karena rasanya yang lezat, sementara yang lain dikonsumsi sebagai obat tradisional.

Restoran di beberapa daerah di Cina dikenal menyajikan hidangan seperti sup kelelawar (dengan seluruh kelelawar di dalamnya), sup yang dibuat dengan testis harimau, atau bagian tubuh musang. Kobra goreng, cakar beruang rebus, anggur yang dibuat dengan menggunakan tulang harimau juga ada dalam menu restoran papan atas. Sementara pasar satwa liar di daerah kumuh memiliki tikus, kucing, ular, dan banyak jenis burung termasuk yang terancam punah.

Produk-produk satwa liar juga digunakan dalam banyak obat-obatan tradisional China, dengan keyakinan utama bahwa produk-produk ini memiliki kekuatan penyembuhan untuk berbagai penyakit, seperti impotensi pria, radang sendi, dan asam urat. Seorang penyelidik dari lembaga internasional ternama telah melakukan beberapa penyelidikan tentang perdagangan satwa liar di China. Penyelidik ini menyimpulkan, "Ada gagasan 'yewei' (secara harfiah diterjemahkan sebagai 'selera liar' dalam bahasa China) yakni terminologi rumah tangga dalam budaya di China yang maknanya campuran petualangan, keberanian, keingintahuan, dan hak istimewa."

Permintaan trenggiling untuk obat-obatan hampir memusnahkan hewan dari China. Trenggiling kini bahkan telah menjadi satwa liar yang paling banyak diburu di bagian lain dunia. Penggunaan cula badak untuk pengobatan tradisional China adalah contoh lain bagaimana praktik ini menjadikan badak menjadi spesies yang terancam punah. Semua ini terjadi, sementara lebih dari 70% infeksi yang muncul pada manusia diperkirakan berasal dari hewan, terutama hewan liar.

Wabah corona kembali menyoroti perdagangan satwa liar China, yang dikritik oleh kelompok konservasi karena mendorong sejumlah spesies ke ambang kepunahan. Segera setelah wabah terakhir, pihak berwenang Cina memberlakukan larangan sementara pada perdagangan satwa liar untuk memerangi penyebaran virus. Tetapi para kelompok konservasi menggunakan kesempatan ini untuk menuntut larangan permanen.

Bisakah wabah virus corona ini akan menjadi titik balik dalam upaya global untuk mengakhiri perdagangan satwa liar ilegal dan selanjutnya melindungi kesehatan masyarakat?. Para ahli mengatakan misi itu sangat menantang tetapi bukan misi yang mustahil. Virus yang menyebabkan Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS) juga diyakini berasal dari kelelawar, tetapi mereka menular ke manusia melalui kucing, musang, dan unta, menurut pejabat WHO. "Kami melakukan kontak dengan spesies satwa liar dan habitat mereka yang belum pernah ada di lingkup pekerjaan kami sebelumnya," kata Dr. Ben Embarek dari Departemen Gizi dan Keamanan Pangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dirilis BBC.

"Karena itu, kami menemukan sejumlah penyakit baru yang dikaitkan dengan kontak baru antara manusia dengan virus, bakteri, dan parasit yang sebelumnya tidak dikenal."

Analisis baru-baru ini terhadap hampir 32.000 spesies vertebrata darat menunjukkan sekitar 20%-nya dibeli dan dijual di pasar dunia, baik secara legal maupun ilegal. Ini artinya ada lebih dari 5.500 spesies mamalia, burung, reptil dan amfibi. Perdagangan satwa liar ilegal diperkirakan bernilai sekitar $ 20 miliar dan merupakan perdagangan ilegal terbesar keempat setelah narkoba, penyelundupan manusia dan pemalsuan.

World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan, "Krisis kesehatan ini harus berfungsi sebagai alarm untuk mengakhiri penggunaan hewan langka maupun bagian-bagian tubuhnya sebagai hewan peliharaan eksotis, untuk konsumsi makanan dan obat". Namun, pemerintah Cina telah menjelaskan bahwa larangan itu bersifat sementara. "Memelihara, mengangkut, atau menjual semua spesies hewan liar dilarang sejak tanggal pengumuman hingga situasi epidemi nasional berakhir," kata arahan yang dikeluarkan bersama oleh tiga lembaga pemerintah.

Beijing mengumumkan larangan serupa selama wabah SARS pada tahun 2002. Tetapi para pegiat konservasi mengatakan beberapa bulan setelah pengumuman pada tahun 2002 itu, pihak berwenang berubah ringan dan pasar satwa liar bangkit lagi di China. Pada bulan September tahun ini, Beijing menjadi tuan rumah pertemuan global tentang sumber daya alam dan biologi, yang dikenal sebagai Konvensi Keanekaragaman Hayati. Menurut laporan antar pemerintah yang dirilis tahun lalu, satu juta spesies terancam punah - jumlah terbesar dalam sejarah manusia.

Setelah wabah virus, tajuk di media yang dikontrol pemerintah China mengecam pasar satwa liar yang tidak terkendali di negara itu. "Kami melihat ini sebagai kesempatan untuk mengakhiri pemeliharaan, pengembangan, domestikasi dan pemanfaatan satwa liar secara permanen. Tidak hanya untuk keperluan daging tetapi juga untuk pengobatan tradisional," kata Debbie Banks, dari Badan Investigasi Lingkungan yang berbasis di London. Organisasi ini telah melakukan penyelidikan besar akan satwa liar di China.

Para ahli mengatakan wabah Avian Influenza atau flu burung membantu pelestarian banyak spesies burung di alam liar. Mereka juga menunjuk pada keberhasilan larangan yang dilakukan China terhadap impor gading, setelah bertahun-tahun ada tekanan internasional untuk menyelamatkan gajah dari kepunahan. Mereka, bagaimanapun, menekankan bahwa larangan dan peraturan tentang produk satwa liar harus bersifat global - dan bukan hanya di China. "Tapi sebagai pasar terbesar produk-produk margasatwa, China tentu bisa memimpin," kata para ahli.

Larangan perdagangan daging satwa liar 

Organisasi pelestarian lingkungan mengatakan kebijakan larangan permanen perdagangan daging satwa di China tidak akan efisien jika perdagangan satwa liar untuk kepentingan obat-obatan tradisional, pakaian, dan ornamen masih diperbolehkan. Pemerhati lingkungan mengatakan pengecualian larangan ini merupakan celah, yang berarti jual-beli daging satwa liar masih memungkinkan terjadi.

Larangan ini diterapkan pemerintah China pada Februari lalu setelah muncul kecurigaan bahwa satwa liar yang diperjualbelikan di sebuah pasar di Wuhan adalah sumber awal mula wabah virus corona yang sedang terjadi. Ada kekhawatiran bahwa pengecualian larangan ini berarti daging satwa liar masih dijual di pasar gelap. Satwa yang dilindungi seperti trenggiling dan macan tutul masih diperbolehkan untuk diperdagangkan dalam larangan tersebut, sehingga bagian tubuh mereka dapat digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok. "Meskipun manfaat obat dari banyak produk satwa liar belum terbukti secara ilmiah, kepercayaan pada sistem ini kuat," kata Terry Townshend, konsultan konservasi satwa liar yang berbasis di China dan pendiri Birding Beijing.

"Misalnya, saya tahu keluarga yang sangat berpendidikan yang memiliki dua anak, satu memiliki masalah kesuburan dan yang lainnya bekerja dalam konservasi satwa liar. Meskipun sangat menyadari kurangnya bukti ilmiah, anak yang memiliki masalah kesuburan menggunakan obat tradisional dari trenggiling 'sebagai upaya terakhir' karena mereka menyatakan telah mencoba yang lain."

Karena permintaan akan obat tradisional, trenggiling hampir punah di Cina dan sekarang menjadi hewan yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Para peneliti menemukan bahwa trenggiling mungkin menjadi pembawa virus yang berkaitan dengan virus yang menyebabkan Covid-19. Merujuk pada studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, penelitian ini juga menekankan peran hewan dalam wabah yang sedang terjadi belum bisa dipastikan.

Hampir 75% dari industri penangkaran satwa di China adalah untuk produksi bulu dari hewan seperti anjing ras dan rubah, menurut penelitian Chinese Academy of Engineering pada 2017. "Pada tahun 2018, sekitar 50 juta hewan dikembangbiakkan dan dibunuh demi kulitnya di China," kata Pei F Su, CEO dan salah satu pendiri ActAsia, sebuah organisasi yang berkampanye melawan industri bulu dari penangkaran satwa liar di Tiongkok.

"Daging anjing, rakun dan rubah yang diternakkan di penangkaran demi bulu mereka juga kemudian dijual."

Para akademisi Tiongkok sepakat ada celah seperti itu. "Karena produksi bulu menyumbang lebih dari tiga perempat perdagangan satwa liar, jika produknya tidak sepenuhnya dilarang dalam perdagangan bulu, maka kita nyaris tidak mengurangi penggunaan komersial akan satwa liar," kata Jiang Jin Song, asisten profesor di Universitas Tsinghua Di Tiongkok. "Semua upaya kita yang dilakukan untuk konservasi satwa liar akan sia-sia."

Investigasi oleh EIA pada 2012 menemukan bahwa pedagang yang secara legal membiakkan harimau demi kulit mereka juga secara ilegal menjual tulang harimau untuk obat-obatan dan anggur. Larangan baru ini juga mengecualikan penggunaan satwa liar untuk dekorasi. Misalnya, perdagangan daging trenggiling ilegal dilarang tapi kukunya boleh diperjualbelikan sebagai dekorasi, dan sisiknya bisa digunakan untuk obat-obatan. Selain peternakan harimau, beruang, dan ular python skala besar, China juga membiakkan buaya, salamander, dan hewan liar lainnya dalam jumlah ribuan.

Pemerhati lingkunan mengatakan ada hampir 30.000 beruang di peternakan pembibitan Cina. Mereka disimpan di kandang kecil dan empedu mereka diekstraksi dari kantong empedu melalui tabung logam yang menyebabkan rasa sakit dan infeksi yang parah. Para ahli mengatakan tabung logam dimasukkan melalui lubang yang sama berulang kali selama setiap sesi pengambilan empedu.

Pengembangbiakan beruang demi empedu ini diizinkan untuk digunakan dalam pengobatan tradisional China di bawah larangan itu. Para juru kampanye satwa liar telah melaporkan bahwa pedagang ilegal yang sama juga memasok bagian tubuh lain untuk dimakan. Sementara cakar beruang yang direbus dipandang sebagai kudapan lezat di beberapa daerah di China Industri pertanian satwa liar diperkirakan telah menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 14 juta orang dan bernilai lebih dari £56 miliar, atau sekitar Rp 1,1 triliun menurut penelitian oleh Chinese Academy of Engineering. Tapi pandemi corona mungkin telah mengubah selera terhadap daging satwa liar eksotis di China

Sebuah survei baru-baru ini di China menunjukkan bahwa mayoritas warga China sekarang mungkin menentang makan hewan eksotis. Dari lebih dari 101.000 responden, 97% mengatakan mereka menentang konsumsi produk satwa liar dan mayoritas juga mendukung larangan pemerintah terhadap perdagangan satwa liar. Mereka yang menentang larangan satwa liar menegaskan hal tersebut dapat berdampak pada peternakan satwa liar. Survei yang dilakukan oleh Universitas Peking dan tujuh perusahaan lainnya bisa jadi tidak mewakili seluruh populasi China.

Survei itu dilakukan secara daring dan melalui media sosial, jadi survei itu hanya dilakukan terhadap generasi muda China , yang sepertiganya berusia sekitar 19 - 30 tahun. "Para responden merupakan penduduk kota dan banyak yang berada di antara kelompok yang peduli lingkungan, jadi mereka mungkin lebih menyukai larangan daripada warga umumnya,"kata Townshend, konsultan konservasi satwa liar yang berbasis di China

"Saya pikir kita harus mendukung penghapusan produk satwa liar ilegal di pasar," kata Ji, seorang mahasiswa senior di Beijing yang meminta kami untuk tidak menyebutkan nama lengkapnya.

"Kami tidak memakan produk satwa liar dalam makanan sehari-hari kami. Beberapa kawan saya di wilayah yang berbeda di negara ini kerap kali ditawari sirip hiu, ular, atau cangkang kura-kura oleh keluarga mereka karena mereka berpikir hewan-hewan itu memiliki nutrisi yang bernilai tinggi," tambah perempuan berusia 21 tahun ini.

Ji berkata dia biasa makan katak yang dibiakkan secara artifisial ketika dia masih di sekolah menengah, tetapi dia berhenti memakannya setelah dia menemukan mungkin ada parasit di dalam katak. "Setelah wabah virus corona ini, lebih banyak anak muda di China akan meninggalkan praktik kuno makan daging satwa liar ini."

Pemerintah China memang melarang perdagangan satwa liar pada tahun 2003 setelah wabah SARS di Cina, tetapi mengendurnya dalam beberapa bulan. Kali ini, kata juru kampanye satwa liar, beberapa gerakan tampak lebih menjanjikan. "Sejak munculnya Covid-19, pemerintah China telah menyelidiki lebih dari 600 kasus kejahatan terhadap satwa liar, dan mudah-mudahan, fokus yang lebih besar pada penegakan hukum ini akan menjadi norma," kata Yuhan Li, seorang peneliti satwa liar di Universitas Oxford, yang telah mempelajari kebijakan margasatwa pemerintah Cina setelah wabah virus corona.

Namun, organisasi konservasi mengatakan pengecualian kebijakan ini untuk obat tradisional, bulu dan ornamen akan mendorong perdagangan daging satwa liar ilegal. "Itu adalah celah yang masih merupakan masalah serius. Kami sedang mengamatinya sekarang," kata Zhou Jin-Feng, sekretaris jenderal China Conservation and Green Development Foundation, sebuah organisasi yang didukung pemerintah. "Selain larangan makan satwa liar, semua penggunaan satwa liar lainnya harus dihentikan juga. Semua mata tertuju pada undang-undang perlindungan satwa liar China yang seharusnya segera diubah," kata White dengan EIA.

"Jika amandemen itu tidak membahas celah itu, ini akan menjadi peluang yang terlewatkan."

Kelompok konservasi internasional terkemuka, International Union for Conservation of Nature, setuju. "China harus memastikan bahwa undang-undang yang direvisi disertai dengan strategi penegakan yang diperkuat untuk mencegah perdagangan satwa liar ilegal terus berlangsung di bawah tanah," kata Aban Marker Kabraji, direktur regional untuk Asia. (*)

Tags : Ilmuwan Curiga Pasar Seafood China, Pasar Seafood Sebagai Titik Awal Berjangkitnya Virus Corona,