INTERNASIONAL - Bulan lalu, polisi di India menangkap seorang pria berusia 46 tahun yang diduga membunuh istrinya hanya karena masakan buatannya terlalu banyak garam.
"Nikesh Ghag, pegawai bank di Thane, di sebelah barat Kota Mumbai, mencekik istrinya yang berusia 40 tahun karena hidangan sabudana khichdi yang dimasak korban sangat asin," pejabat polisi Milind Desai.
Putra pasangan itu yang berusia 12 tahun, yang menyaksikan kejahatan tersebut, mengatakan kepada polisi bahwa ayahnya mengikuti ibunya, Nirmala, ke kamar tidur sambil mengeluh tentang garam dan mulai memukuli korban.
"Anak itu terus menangis dan memohon kepada ayahnya untuk berhenti," kata Desai, "tetapi tersangka terus memukuli istrinya dan mencekiknya dengan tali."
Setelah Ghag keluar dari rumah, anak itu memanggil nenek dan pamannya dari pihak ibu.
"Saat kami tiba di tempat kejadian, keluarganya telah membawanya ke rumah sakit, tapi saat itu dia sudah meninggal," kata Desai.
Tersangka kemudian menyerahkan diri di kantor polisi, dan dia memberi tahu petugas bahwa dia menderita tekanan darah tinggi. Dia lalu dikirim ke penjara.
Keluarga Nirmala mengatakan kepada polisi bahwa Ghag telah bertengkar dengannya karena "masalah rumah tangga" selama 15 hari terakhir. Desai sebelumnya belum menerima laporan apapun tentang hal ini baik dari korban atau keluarganya.
Pembunuhan atas seorang wanita oleh suaminya, yang dipicu oleh pertengkaran soal makanan, belakangan ini rutin menjadi berita utama di India.
Ada pula kasus-kasus lain:
Aktivis gender Madhavi Kuckreja mengatakan "kematian membawa perhatian" tetapi ini semua adalah kasus kekerasan berbasis gender yang sering "tidak terlihat".
Sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan di bawah istilah hukum "kekejaman oleh suami atau kerabatnya", dan secara konsisten menjadi jenis kejahatan atas perempuan yang paling banyak dilaporkan di India dari tahun ke tahun.
Sebagaimana dilaporkan dalam data kriminalitas terbaru pada 2020, polisi menerima pengaduan dari 112.292 wanita - yang terbagi menjadi sekitar satu laporan setiap lima menit.
Kekerasan seperti itu tidak hanya terjadi di India. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu dari tiga wanita secara global menghadapi kekerasan berbasis gender, sebagian besar dilakukan oleh pasangan korban. Kasus di India menyajikan angka yang serupa.
Para aktivis di India harus berjuang di tengah budaya diam yang melingkupinya dan - yang mengejutkan - persetujuan yang luar biasa atas kekerasan semacam itu.
Fakta itu muncul dari angka terbaru hasil Survei Kesehatan Keluarga Nasional (NFHS5), yaitu survei rumah tangga paling komprehensif atas masyarakat India oleh pemerintah.
Lebih dari 40% wanita dan 38% pria mengatakan kepada pensurvei dari pemerintah bahwa boleh saja seorang pria memukuli istrinya jika dia tidak menghormati mertuanya, mengabaikan rumah atau anak-anaknya, pergi keluar tanpa memberitahunya, menolak berhubungan seks atau tidak memasak dengan benar. Di empat negara bagian, lebih dari 77% perempuan membenarkan pemukulan atas istri.
Di sebagian besar negara bagian, lebih banyak wanita daripada pria yang membenarkan pemukulan atas istri dan di setiap negara bagian - satu-satunya pengecualian adalah Karnataka - lebih banyak wanita daripada pria yang berpikir tidak apa-apa bagi seorang pria untuk memukuli istrinya jika dia tidak memasak dengan benar.
Jumlahnya telah turun dari survei sebelumnya lima tahun lalu - ketika 52% wanita dan 42% pria membenarkan pemukulan terhadap istri - tetapi sikapnya tidak berubah, kata Amita Pitre, yang memimpin program keadilan gender di Oxfam India.
"Kekerasan terhadap perempuan - dan pembenarannya - berakar pada patriarki. Ada penerimaan yang tinggi terhadap kekerasan berbasis gender karena di India, perempuan dianggap sebagai gender subordinat," katanya dirilis BBC.
"Ada gagasan sosial yang permanen tentang bagaimana seorang perempuan harus berperilaku: dia harus selalu berada di bawah pria, selalu tunduk dalam pengambilan keputusan, harus melayani dia dan dia harus berpenghasilan lebih rendah dari pria, di antara banyak hal lainnya.
Dan penerimaan untuk situasi kebalikannya sangat rendah. Jadi, jika seorang wanita menantangnya, maka tidak apa-apa bagi suami untuk menunjukkan kepada dia 'posisi yang sepantasnya.'"
Alasan mengapa lebih banyak perempuan membenarkan pemukulan istri, katanya, adalah karena "patriarki memperkuat norma-norma gender dan perempuan menyerap gagasan yang sama, keyakinan mereka dibentuk oleh keluarga dan masyarakat".
Kuckreja mendirikan Vanangana, sebuah badan amal yang telah bekerja selama seperempat abad dengan para perempuan yang dianiaya di Bundelkhand di India utara - salah satu daerah termiskin di negara itu.
Dia mengatakan ada nasihat populer yang diberikan kepada mempelai perempuan saat baru menikah: "Kamu memasuki rumah tangga dengan tandu, maka kamu hanya boleh pergi dengan usungan keranda jenazah".
Jadi kebanyakan perempuan, bahkan yang sering dipukuli, menerima kekerasan sebagai takdir mereka dan tidak melaporkannya.
"Meskipun ada lebih banyak pelaporan dalam dekade terakhir, pemukulan istri masih sangat kurang dilaporkan di India. Kasus-kasus seperti itu sulit untuk dilaporkan dan dicatat. Kebanyakan orang masih akan mengatakan bahwa 'apa yang terjadi di rumah harus tetap di rumah'.
Jadi, perempuan tidak disarankan untuk melapor ke polisi," kata Kuckreja. Juga, mereka tidak punya tempat untuk pergi jika meninggalkan rumah tangga mereka, lanjutnya.
"Orang tua sering tidak menerima mereka karena stigma dan, dalam banyak kasus, karena mereka miskin dan tidak mampu memberi makanan tambahan.
Tidak ada sistem pendukung, beberapa rumah penampungan dan kompensasi yang diberikan kepada wanita terlantar sangat sedikit - seringkali dalam kisaran 500 hingga 1500 rupee (sekitar Rp284 ribu), yang tidak cukup bagi seorang wanita untuk bertahan hidup, apalagi memberi makan anak-anaknya."
Pushpa Sharma, yang mengepalai Vanangana, memberi tahu saya tentang dua kasus yang dia terima bulan lalu di mana perempuan dipukuli dan kemudian ditinggalkan oleh suaminya, bersama dengan anak-anak yang masih kecil.
"Dalam kedua kasus, suaminya menyeret korban keluar dari rumah dengan menjambak rambutnya dan menyerangnya di depan para tetangga. Suaminya mengklaim bahwa dia tidak memasak dengan benar, tetapi itu selalu menjadi bagian dari serangkaian keluhan. Makanan hanyalah pemicu."
Seorang wanita, katanya, dapat "dipukuli karena melahirkan anak perempuan dan bukan 'pewaris laki-laki', atau karena dia berkulit gelap atau tidak cantik, atau dia tidak membawa mahar yang cukup, atau suaminya mabuk, atau dia tidak menyajikan makanan atau air dengan cukup cepat ketika dia kembali ke rumah, atau dia menambahkan lebih banyak garam ke dalam makanan, atau lupa menambahkannya".
Pada tahun 1997, Vanangana meluncurkan drama jalanan berjudul Mujhe Jawab Do [Jawab Saya] untuk menyadarkan masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga.
"Ini dimulai dengan kalimat, 'Oh tidak ada garam di daal [sup miju-miju],'" kata Kuckreja.
"Setelah 25 tahun kampanye kami, ada sedikit yang berubah. Dan itu karena pandangan yang kami berikan pada pernikahan. Bahwa kita harus melakukan segalanya untuk menyelamatkan pernikahan - itu sakral, itu harus bertahan selamanya. Pikiran itu perlu diubah. Kita harus memberdayakan perempuan. Mereka tidak perlu harus tahan diri dipukul," katanya. (*)
Tags : Pernikahan, Hak perempuan, Kejahatan, India, Hukum, Perempuan, Gender, Istri Tewas Dipukuli Suami, Istri Tewas karena Masakan Kebanyakan Garam,