Linkungan   2023/04/17 21:46 WIB

'Jalan kematian' yang Mengerikan Menyusuri Jalur Paling Berbahaya di Dunia

'Jalan kematian' yang Mengerikan Menyusuri Jalur Paling Berbahaya di Dunia
Karena sebagian jalan raya hanya selebar tiga meter, mengatur lalu lintas yang datang bisa jadi rumit.

LINGKUNGAN - Saat berkendara menyusuri "Jalan Kematian" yang terkenal mengerikan di Bolivia, para pelancong terbawa ke dunia di mana ada dua sumber daya yang memicu daya tarik, kesalahpahaman, serta kontroversi selama berabad-abad: coca dan emas.

Setelah melewati celah Cumbre sepanjang 4.800 meter, trufi (taksi bersama) yang kami tumpangi masuk ke awan kabut yang berputar-putar.

Di dalam kendaraan rasanya amat damai, seolah-olah kami terayun dalam gelembung, yang kemungkinan merupakan pengalaman paling menyenangkan, mengingat kami bepergian di sepanjang "Camino de la Muerte" atau Death Road - Jalan Kematian.

Membentang dari kota La Paz di dataran tinggi Andean ke kawasan subtropis, yaitu lembah Yungas, serta dataran rendah Amazon dan sekitarnya, kami melalui Jalan Yungas sepanjang 64km yang terdiri dari turunan tajam sepanjang 3.500 meter.

Di sini, lebar jalan raya hanya tiga meter; serangkaian belokan tajam dan tikungan dengan pandangan nyaris selalu terhalang; serta kehadiran air terjun yang percikannya menerpa permukaan batu-batu. 

Selama perjalanan, jarang terlihat pengaman jalanan - kami justru sering menjumpai tempat-tempat untuk berdoa di pinggir jalan: salib putih, seikat bunga, serta foto-foto yang sudah menguning.

Selama tahun 1990-an, begitu banyak orang tewas dalam kecelakaan di jalan raya ini - dibangun oleh para tawanan perang Paraguay setelah Perang Chaco (1932-1935), dan digambarkan oleh Inter-American Development Bank sebagai "jalan paling berbahaya di dunia".

Mobil yang kami tumpangi menurunkan kecepatannya dan pengemudi membungkuk ke depan, mengintip dari atas kemudi seperti sedang menguji mata, sebelum akhirnya kami tiba-tiba terpapar sinar matahari.

Di luar jendela, tampak turunan sepanjang 1.000 meter, nyaris vertikal, sementara di sisi berlawanan ada sepeda motor melaju melewatinya, mendahului kaca spion kami.

Tepat di depan kami, ada tiga orang pengendara sepeda yang dengan hati-hati menavigasi lubang seukuran kawah.

Meskipun jalan pintas telah dibangun di sekitar bentangan yang paling berbahaya, reputasi jalan yang mengerikan ini telah menjadikannya sebagai obyek wisata dan menarik arus pelancong yang ingin bersepeda menuruni jalur itu.

Rute tersebut juga merupakan pintu gerbang menuju wilayah yang selama ini diabaikan.

Yungas ("tanah hangat" dalam bahasa asli Aymara, dituturkan oleh sekitar 1,7 juta orang Bolivia) adalah zona transisi yang subur dan kaya akan keanekaragaman hayati.

Lokasinya terletak antara Andes dan Amazon, dan terkait erat dengan dua sumber daya alam yang membangkitkan ketertarikan dan pemujaan, kesalahpahaman, serta kontroversi: coca dan emas.

Setelah dua jam berdebar-debar di sepanjang Jalan Kematian, kami berhenti di Coroico yang dahulunya merupakan pusat penambangan emas dan saat ini menjadi kota tempat peristirahatan yang lesu.

Kota, yang letaknya di antara lereng hijau zamrud, ini beriklim sejuk dan panorama perbukitan bergelombang yang molek, juga tempat makan, minum, dan istirahat yang menyenangkan.

Coroico adalah tempat yang sulit untuk ditinggalkan, tetapi setelah menghabiskan satu hari untuk memulihkan diri dari perjalanan yang menegangkan, saya pergi ke pedesaan untuk mengetahui tentang bagaimana wilayah tersebut telah membantu membentuk Bolivia modern.

Tanah yang subur dan curah hujan yang melimpah menjadikan Yungas, yang membentang di sepanjang lereng timur Andes, sebagai pusat pertanian.

Saling bersilangan dengan rute perdagangan kuno yang pernah dilalui oleh karavan-karavan yang ditarik llama, wilayah ini merupakan lumbung suku Inca dan kerajaan sebelumnya seperti Tiwanaku.

Tradisi ini berlanjut hingga hari ini. Saat mendaki jalan setapak yang berusia berabad-abad menuju Río Coroico, saya melewati petak-petak di lereng bukit yang ditanami kopi, pisang, singkong, jambu biji, pepaya, dan jeruk.

Ada juga tumbuhan-tumbuhan lebat dengan cabang-cabang yang ramping, daun berbentuk lonjong, dan buah-buah beri yang kemerahan: coca.

Coca telah menjadi pusat budaya Amerika Latin selama ribuan tahun, dan Bolivia adalah salah satu produsen terbesar di benua itu, dengan ratusan kilometer persegi wilayah yang dikhususkan untuk tanaman itu, di mana dua pertiganya terletak di Yungas.

Mengandung vitamin dan mineral yang tinggi, daun itu bermanfaat sebagai stimulan ringan dan membantu mengimbangi penyakit ketinggian; mencegah lapar, haus dan lelah; membantu pencernaan dan bahkan menekan rasa sakit.

Selama 8.000 tahun, mereka telah digunakan dalam upacara keagamaan, sebagai obat, mata uang, dan pelumas sosial.

Bangsa Spanyol awalnya menjelek-jelekkan coca. Tetapi setelah menyadari dampak menguntungkannya terhadap masyarakat adat yang terpaksa bekerja keras di pertambangan dan di perkebunan, otoritas kolonial berubah pikiran dan mengkomersialkan hasil panen tersebut.

Ketertarikan pada coca perlahan tumbuh di luar benua. Referensi berbahasa Inggris pertama dipercaya sebagai puisi seorang warga London, Abraham Cowley, pada 1662, A Legend of Coca:

  • Endow'd with leaves of wondrous nourishment,
  • Whose juice succ'd in, and to the stomach tak'n
  • Long hunger and long labour can sustain

Coca, dan alkaloid psikoaktifnya, kokain, terbukti semakin populer di Eropa dan Amerika Utara selama abad ke-19, yang dicampurkan dalam minuman, tonik, obat-obatan, dan berbagai produk lainnya.

Di antaranya termasuk Vin Mariani, anggur Prancis yang mengandung lebih dari 200mg/liter kokain.

Iklan-iklan mengklaim produk itu "menyegarkan tubuh dan otak" dan disukai oleh Thomas Edison, Ulysses S Grant, Emile Zola dan Paus Leo XIII (yang bahkan muncul di poster promosi).

Di negara bagian Georgia, AS, kesuksesan produk-produk seperti Vin Mariani mengilhami para apoteker dan eks tentara Konfederasi, John Pemberton, untuk menciptakan Pemberton's French Wine Coca, yang aslinya mengandung campuran kokain dan alkohol, serta ekstrak kacang kola yang kaya kafein.

Ini kemudian berkembang menjadi Coca-Cola: sementara kokain dan alkohol telah lama dihilangkan, ekstrak daun koka bebas kokain masih digunakan sebagai penyedap rasa.

Kokain dan produk berbasis kokain adalah legal di seluruh Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga didukung oleh orang-orang seperti Sigmund Freud, yang menulis beberapa makalah tentang masalah ini dan bereksperimen pada dirinya sendiri: "[Satu] dosis kecil mengangkat saya ke ketinggian dengan cara yang luar biasa."

Tetapi obat itu tidak disukai, kemudian dikaitkan dengan kejahatan dan kriminalitas, dan akhirnya dilarang di sebagian besar dunia, seperti coca, meskipun coca tetap legal di Bolivia.

Ketika permintaan kokain melonjak lagi pada 1980-an, "perang melawan narkoba" yang dipimpin AS menghancurkan wilayah Chapare di dekat Bolivia, yang telah menjadi daerah penghasil utama koka: kegiatan anti-narkotika mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, aksi pemukulan dan pencurian.

Sebagai tanggapan, aksi protes yang populer oleh cocaleros - petani koka, yang sebagian besar memiliki warisan asli Quechua atau Aymara - membantu kebangkitan Evo Morales, pemimpin Enam Federasi Tropis Cochabamba, serikat pekerja yang mewakili petani koka.

Seperti yang ditulis oleh sosiolog dan sejarawan Silvia Rivera Cusicanqui di majalah ReVista, cocaleros (para petani coca) memainkan peran penting dalam "water war" di tahun 1999-2000, pemberontakan melawan privatisasi perusahaan pemasok air di kota Cochabamba, suatu peristiwa yang juga mendorong peningkatan semangat politik Morales.

Bersamaan dengan gerakan akar rumput lainnya, peristiwa ini "akhirnya mengarah pada pemilihan umum 2005... Morales, seorang penduduk asli Aymara, terpilih sebagai presiden pribumi pertama di benua Amerika".

Begitu menjabat, dia segera mengalihkan pendekatan pemberantasan dan pelarangan coca yang dipimpin AS menjadi kebijakan yang biasa disebut sebagai "Coca yes, cocaine no", yang mengizinkan petani untuk membudidayakan tumbuhan koka dalam batas yang ditentukan.

Tetapi intrik geopolitik ini terasa jauh saat saya berjalan melewati ladang koka yang tenang yang dipahat di lereng bukit di bawah Coroico, dedaunan lebat berguguran di tepinya seperti air pasang, sementara kicauan burung memenuhi udara.

Saat ini, coca dianggap sebagai tanaman suci oleh banyak warga Bolivia, sepertiga populasi menggunakannya secara rutin (bagaimanapun, kokain adalah benda ilegal).

Dalam bukunya Coca Yes, Cocaine No, Thomas Grisaffi menulis: "[Coca] diterima di sebagian besar sektor, wilayah, dan etnis… Sebaiknya dianggap sebagai kebiasaan nasional, seperti halnya minum teh untuk orang Inggris."

Akhirnya, saya mencapai Sungai Coroico yang bergolak, yang menjadi simbol sumber daya Yungas lainnya: emas.

Apa yang disebut sebagai "ruta del oro" (jalur emas) membentang sejauh 350 kilometer melalui jalur air di kawasan itu sampai ke wilayah Amazon, dan telah memikat para pencari emas selama berabad-abad.

Meskipun sungai, aliran, dan dasar sungainya terbukti kaya akan simpanan emas, mereka tidak pernah memuaskan selera para penakluk dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Akibatnya, banyak desas-desus tentang kekayaan yang hilang dan harta karun beredar di sekitar Yungas dan daerah sekitarnya.

Banyak mitos terkait dengan kelompok Yesuit, yang mengumpulkan kekayaan secara limpah ruah di Amerika Selatan dengan mengeksploitasi masyarakat adat, sebelum diusir pada 1767, setelah tumbuh terlalu kuat dan berpikiran mandiri di bawah pengawasan kerajaan Spanyol.

Apa yang terjadi dengan kekayaan di masa tersebut menjadi bahan spekulasi, dan hanya sedikit yang sesuai dengan kenyataan.

Percy Harrison Fawcett, penjelajah Inggris eksentrik yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjelajahi Amerika Selatan pada awal abad ke-20, memberikan tambahan sentuhan terkait demam emas ini.

Dalam bukunya Exploration Fawcett, dia menjelaskan sebuah cerita tentang "harta karun berlimpah" yang dipendam oleh kaum Yesuit di sebuah terowongan dekat Sungai Sacambaya, yang mengalir melalui selatan Yungas.

"Saat mengetahui mereka bakal diusir... emas [kaum Yesuit] dikumpulkan di Sacambaya... dan butuh enam bulan untuk menutup terowongan," tulis Fawcett.

Enam penduduk asli Bolivia yang menggali terowongan dan tujuh orang dari delapan pendeta yang mengetahui tentang keberadaannya kemudian dibunuh untuk melindungi rahasianya, tambahnya. (Fawcett sendiri akhirnya menghilang saat mencari kota 'Z' di Amazon).

Meskipun tidak ada bukti yang jelas, sejenis mitos yang menggiurkan ini terbukti sangat tangguh.

Di luar dongeng berlarat-larat itu, demam emas sedang berlangsung di beberapa bagian Yungas dan Amazon Bolivia, dipicu oleh kenaikan harga emas setelah krisis keuangan global 2007-2008.

Banyak pertambangan emas itu ilegal dan terkait dengan kejahatan terorganisir, aliran air beracun, dan peningkatan deforestasi, seperti yang disoroti dalam laporan tahun 2018 oleh Amazon Socio-Environmental Geo-Referenced Information Project, sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil.

Tapi hanya ada sedikit tanda akan hal ini di Coroico. Saat saya menyeruput secangkir teh coca, menunggu trufito saya terisi penumpang untuk perjalanan kembali ke Death Road, satu-satunya kilat keemasan dilemparkan oleh matahari yang terbenam di atas kaki bukit Andean seperti gumpalan dan kemudian perlahan terurai saat mereka jatuh ke dalam lembah. (*)    

Tags : jalan mengerikan, jalan menuju kematian, menyusuri jalur paling berbahaya ,