JAKARTA - Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta karena terbukti bersalah dalam korupsi bansos Covid-19. Di tengah wabah, bekas politikus PDI Perjuangan itu menerima suap lebih dari Rp32 miliar dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. Jatah bansos yang mestinya utuh diterima warga ditilap tiap paketnya.
Sedangkan warga yang mati-matian bertahan di tengah wabah, mendapati jatah bansosnya berkurang, kualitas yang sudah buruk kian memburuk, dan terpaksa mengolahnya karena hanya itu yang mereka punya. Skandal korupsi yang terungkap Desember 2020 ini juga menurut ICW mencatatkan sejumlah kejanggalan, mulai dari pengungkapan yang tak menyeluruh hingga penyidik KPK yang mengungkap kasus justru dipersoalkan atas tuduhan pelanggaran etik.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengganjar mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara Senin (23/08) dengan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan. Bekas politikus PDI Perjuangan ini dinilai hakim terbukti secara sah dan bersalah melakukan korupsi dengan menerima suap lebih dari Rp32 miliar dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. "Menjatuhkan pidana 12 tahun penjara dan pidana denda Rp500 juta subsidair enam bulan," kata Hakim Ketua Muhammad Damis membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta yang ditayangkan secara daring, Senin (23/08).
Hakim juga menghukum Juliari membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar subsidair 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik berupa dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun usai terdakwa menjalani pidana pokok. Atas vonis majelis hakim, pihak Juliari maupun jaksa penuntut umum KPK masing-masing menyatakan 'pikir-pikir' dan akan mempelajari amar putusan.
Putusan itu lebih berat dibanding tuntutan Jaksa KPK yang meminta hakim menghukum Juliari 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan. Juliari sebelumnya didakwa menerima suap miliaran Rupiah dari konsultan hukum Harry Van Sidabuke dan Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar. Keduanya masih menjalani proses persidangan dan dituntut masing-masing empat tahun penjara.
Skandal korupsi ini terungkap pada Desember 2020. Menurut KPK saat mengungkap konstruksi perkara, Juliari selaku menteri sosial diduga menyepakati adanya fee dari setiap paket bansos. "Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10.000 paket sembako dari nilai Rp300.000 per paket bansos," terang Firli dalam konferensi pers pada Desember tahun lalu.
Suara korban bansos
Dari duit-duit paket yang ditilap itu, ada warga yang betul-betul bertumpu pada bantuan sosial pemberian pemerintah. Sri Manah adalah satu di antaranya. Sri mengingat, ia sedang istirahat di rumahnya di kawasan Kampung Walang, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara ketika tetangga mengadu padanya tak mendapatkan bantuan sosial Covid-19.
Tahun itu 2020, bulan-bulan awal ketika Indonesia dilanda virus corona. Tetangganya itu berkeluh, tak kunjung dapat jatah bantuan sosial. Padahal sang tetangga baru saja dipecat dari pekerjaan di salah satu tempat wisata. Wabah yang mengakibatkan infeksi terhadap hampir empat juta orang di Indonesia itu merombak segala lini kehidupan, termasuk perekonomian warga. Pembatasan kegiatan demi mengerem laju penularan virus membuat beberapa usaha terpaksa gulung tikar, salah satu yang kena hantam adalah sektor pariwisata — ladang penghidupan bagi sebagian besar warga di kampung Sri.
Yang mengadu padanya bukan satu atau dua orang. Hampir setiap hari ada saja yang mendatangi rumahnya. Sri bukan perangkat desa maupun pengurus RT atau RW. Namun warga Kampung Walang sudah menganggapnya sebagai perpanjangan tangan ke pemerintah daerah atau perangkat desa. "Saya dianggapnya [oleh] orang sini itu jadi pengurus orang kampung sini. Jadi kalau ada kesulitan berobat atau apa begitu, seperti bansos, itu ke saya," cerita Sri seperti dirilis BBC News Indonesia.
Perempuan usia 53 tahun itu berjualan nasi uduk saban pagi, siangnya ia membuka warung makanan. Tapi sudah sebulan belakangan Sri berhenti berjualan karena sakit. "Terus, kalau jualan makanan mateng itu kan kalau udah prei beberapa minggu, sudah bingung lagi [mencari] modalnya. Jadi curhat kan," ucap Sri .
Tahun lalu, ibu empat anak tersebut menerima bantuan sosial berupa bahan pokok. Menurutnya, isi kantong bansos itu cukup untuk kebutuhan keluarga selama dua pekan--dengan empat orang anggota. Namun isi kantong bansos berangsur menyusut. Menurut Sri, perangkat desa menjelaskan jatah bansos satu orang harus dibagi dua, sebab ada warga lain yang tidak kebagian. Sehingga bantuan, menurut petugas RT lagi, harus dibagi rata. "Bu, saya diomelin orang banyak, warga saya sekian, dapatnya hanya sekian, jadi diparo-paro. Harus dibagi-bagi," tutur Sri menirukan petugas RT setempat.
Sama sekali tak terpikir di benak Sri bahwa ada korupsi 'pejabat tinggi' di balik berkurangnya jatah bansos yang ia terima. Semula malah ia hanya curiga, patgulipat dilakukan di tingkat pejabat bawah. "Pikiran saya ya hanya kecil-kecilan saja lah, pemikiran saya lho. Nggak nyampe pikiran itu sampai dikorupsi pejabat," ucap dia.
Hingga kemudian pada Desember 2020, dari layar televisi Sri Manah mendapati wajah seseorang yang belakangan ia ketahui sebagai Juliari Peter Batubara. Ia diringkus petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat masih menjabat Menteri Sosial. "Pas kebeneran sekalinya lihat TV, ada itu. Loh kok kayak gini sih? Pantesan banyak yang nggak dapat [bansos] ya," begitu batin Sri sesaat setelah melihat pemberitaan.
Sri masih tak habis pikir mengapa orang yang sudah lebih kaya dari dirinya tega menumpuk uang, padahal orang lain seperti dirinya susah payah melewati bulan-bulan di tengah wabah. "Buat apa ya itu dikorupsi segitu banyaknya? Sementara rakyat kayak kita itu kecekek, menjerit," kata dia setengah heran.
"Kalau kita pikir kan, kita kerja, kita usaha, mengharapkan bisa memberikan kebaikan. Kalau seperti itu… buat apa duit itu kita tumpuk banyak-banyak, sementara ngginiin [membuat sengsara] rakyat kecil, orang kecil yang menjerit kelaparan," sambung Sri.
Warga lain yang juga merasa dirugikan akibat korupsi bansos adalah Muhariyati, warga DKI Jakarta sekaligus perwakilan dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jakarta. "Saat masih baru, bantuan itu kualitasnya masih bagus, dalam artian kami dapat beras tapi ya ada batu, kutuan, dan pera. Tapi masih ada telur dan susu, meskipun susu dan telur itu seminggu kemudian batas kedaluwarsanya habis," cerita dia dalam diskusi daring 'Suara Masyarakat Sipil Jelang Putusan Juliari', Minggu (22/08).
Tapi kualitas paket bansos itu memburuk pada penerimaan tahap-tahap selanjutnya. Baik dari segi kualitas maupun jumlahnya. "Kualitasnya itu sudah buruk, dan ada penurunan nilai harga. Sudah tidak ada susu, tidak ada telur, beras dengan kualitas yang lebih buruk dari awal, minyak goreng juga merek yang tidak ada di pasaran, sardennya merek baru, baunya juga, maaf, amis sekali," terang dia.
"Beruntung, kita bisa tertolong ada bansos, meskipun tidak layak. Karena kami disabilitas kan sudah terbatas. Kami yang rata-rata pemijat, penjahit, berjualan ini kan tidak bisa karena PSBB," lanjut Muhariyati. Ya terpaksa dengan adanya itu, ya kami olah, karena memang begitulah keadaannya dan yang kami dapatkan. Ya tapi bagaimana, kami butuh makan, ya seadanya itu kami olah," paparnya lagi.
Yang dialami Sri juga Muhariyati, barangkali juga adalah cerita warga lain di beberapa daerah. Laporan koalisi masyarakat sipil yang mendampingi korban korupsi bansos--termasuk Sri — menerima pengaduan 17 orang. Mereka lantas mengajukan gugatan ganti rugi terhadap mantan Mensos Juliari ke pengadilan. Mulanya jumlah mereka 18 orang, di tengah proses permohonan pengajuan, seorang di antaranya meninggal dunia.
Sebanyak 11 orang merupakan warga Jakarta Utara, lima warga Kepulauan Seribu dan dua orang lainnya dari Jakarta Barat. Beberapa di antara mereka mengeluhkan turunnya kualitas bahan pokok yang diterima dari penerimaan tahap pertama ke tahap kedua dan ketiga. Selain itu, dari segi kuantitas pun berkurang. Misalnya bila pada tahap pertama mereka menerima minyak, mi instan dan masker, tahap kedua itu tak didapat.
Salah satu warga yang merasa dirugikan atas korupsi Juliari yang juga mengajukan gugatan ganti rugi adalah Eny Rochayati. Warga Kampung Marlina, Jakarta Utara, ini mengaku awalnya tak terpikir untuk mengajukan permohonan ganti rugi. "Walaupun kita nonton di TV dan media sosial itu bahwa bansos itu dikorupsi. Tapi tidak terpikir menggugat atau apa, karena kami kan nggak tahu juga jalurnya gimana," cerita Eny.
"Tapi pas kami kumpul dengan kawan-kawan perwakilan kampung, loh ternyata kok kita masalahnya sama ya," sambung dia.
Tujuan Eny tak muluk, ia ingin sekali gugatan itu mampu memberikan efek jera ke pelaku korupsi. Ia tak mau kejahatan tersebut berulang. "Kami sudah paham duluan, masyarakat kita ini kan bukan sekali dua kali dibohongin. Ibaratnya, kami sudah paham duluan. Apa sih yang nggak dikorupsi di sini?" tutur perempuan usia 52 tahun ini.
"Itu nggak satu dua orang ngomong begitu. Kami sudah terbiasa dan hapal betul dengan perilaku para pejabat pemerintah yang tidak bertanggung jawab," sambung dia.
"Nah ternyata betul, dikorupsi kan. Dan nggak tanggung-tanggung ngorupsinya. Sampai berapa T begitu kan," katanya lagi bersungut-sungut.
Sejak awal kasus bergulir sampai dengan tuntutan jaksa, kasus ini telah menyedot perhatian publik. Hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan yang dituntutkan ke mantan politikus PDI Perjuangan dianggap terlalu ringan. Mengingat, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dijadikan dasar mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar.
Lembaga yang fokus menyorot isu korupsi tersebut juga menilai skandal di kementerian sosial yang terkuak pada Desember 2020 ini sarat kejanggalan. "Sebetulnya kami apresiasi, KPK yang kemarin berhasil membongkar skandal besar di Kemensos yaitu korupsi paket sembako yang sebetulnya sudah lama kami curigai, karena potensi korupsi pengadaan darurat," ungkap peneliti ICW, Almas Sjafrina dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui YouTube Sahabat ICW, Minggu (22/09).
"Tapi sayangnya dalam proses penanganan masih banyak hal yang kami nilai janggal dan kurang maksimal," lanjutnya.
Misalnya, lanjut Almas, ada beberapa nama yang diduga terlibat dan terindikasi berperan dalam korupsi tersebut tapi tak kunjung ditindaklanjuti. Laporan Public Accountability Review yang disusun ICW menyatakan "penanganan korupsi bansos oleh KPK sangat terlihat jelas bahwa lembaga antirasuah itu tidak serius menuntaskan perkara". Apalagi belakangan, menurut ICW, kinerja penindakan korupsi KPK pun menurun drastis baik dari kualitas penanganan maupun kuantitas perkara.
Spesifik untuk korupsi bansos Covid-19, ICW memiliki setidaknya lima catatan, di antaranya korupsi Juliari dinilai tak hanya bersinggungan dengan pelanggaran suap melainkan juga pelanggaran aturan pengaturan barang dan jasa dalam kondisi darurat serta indikasi praktik nepotisme. "Kedua, ICW meyakini masih banyak pihak-pihak yang belum diusut keterlibatannya oleh KPK, terutama klaster politisi," demikian ditulis dalam laporan 59 halaman berjudul 'Korupsi Pengadaan Paket Sembako di Kementerian Sosial TA 2020 dari laman resmi ICW.
"Ketiga, dengan berbagai bukti yang diperoleh KPK, perkara korupsi bansos ini sudah terang benderang berdampak pada aspek kerugian keuangan negara."
Keempat, ICW menilai pangkal persoalan dari proses hukum perkara bansos justru datang dari internal KPK. Kesimpulan itu diambil dari indikasi di antaranya keengganan KPK memanggil sejumlah saksi, memaksimalkan penggeledahan dan dokumen hukum di persidangan. "Kelima, korupsi oleh Juliari dan kroni-kroninya menimbulkan kerugian langsung bagi warga penerima bansos di sekitaran wilayah Jabodetabek," terang ICW.
Penyidik pengungkap korupsi
Bukan itu saja dugaan kejanggalan yang terendus, hal lain yang juga dipertanyakan adalah saksi korupsi yang memperkarakan penyidik KPK. Dalam pelaporan ini, Dewan Pengawas KPK dianggap responsif dalam memproses pengaduan ini ketimbang laporan lainnya, hingga kemudian memutus dua penyidik KPK melanggar etik ringan.
Sidang etik Dewas KPK pada Senin (12/07) yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Harjono dengan dua anggota, yakni Albertina Ho dan Syamsudin Haris, memutuskan Praswad Nugraha disanksi sedang yakni pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama enam bulan. Sementara penyidik Nur Prayoga mendapat sanksi ringan berupa teguran tertulis pertama dengan masa berlaku hukuman selama tiga bulan. "Mengadili, menyatakan, para terperiksa bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Ketua Majelis Harjono dalam sidang yang disiarkan daring.
Sanksi itu dijatuhkan karena menurut Dewas KPK, kedua penyidik dinilai melakukan perundungan berupa mengucapkan kata-kata kasar saat menggeledah juga memeriksa saksi kasus korupsi bansos yakni Agustri Yogaswara atau Yogas. Pelaporan etik bermula dari pengaduan salah satu saksi korupsi bansos Covid-19 yakni Agustri Yogaswara alias Yogas. Dalam perkara ini, Yogas — sang pelapor — merupakan orang yang diduga menjadi operator lapangan anggota DPR Ihsan Yunus.
Ketika reka ulang KPK pada Februari 2021, salah satu tersangka yakni Harry Sidabuke tak hanya memberi uang kepada Juliari melainkan juga Agustri Yogaswara. Harry juga disebut kembali bertemu Yogas dan membherikan dua sepeda Brompton. 'Sudah dinyatakan tidak pancasilais, dinyatakan melanggar kode etik, apakah sebegitu jahatnya penyidik bansos ini?'
Penyidik KPK non-aktif Praswad Nugraha yang dijatuhi sanksi etik pun mempertanyakan keputusan Dewas. Ia heran mengapa Dewas seolah justru hanya mendengarkan keterangan Yogas dan seperti mengesampingkan bukti dan pernyataan saksi lain. Padahal, sidang etik itu juga memperlihatkan rekaman CCTV yang menunjukkan proses pemeriksaan penyidik KPK terhadap Yogas. Selain itu, menurut dia, pernyataan dari penyidik bansos lain dan para Ketua Satgas KPK pun menunjukkan bahwa yang dilakukan kedua penyidik KPK merupakan bagian dari metode penyidikan. "Keterangannya jelas dan clear bahwa ini adalah proses penyidikan dan interogasi, selama tidak ada kekerasan dan pemukulan, memang itu digunakan best practice di seluruh dunia," ungkap Praswad.
"Intonasi naik-turun itu memang dilakukan di seluruh lembaga penegak hukum di dunia. Tapi itu sama sekali tidak didengarkan majelis," kata dia lagi.
"Keterangan yang digunakan hanya keterangan Yogas. Ini yang jadi pertanyaan kami, keterangan orang-orang yang berintergritas kok justru tidak didengarkan," sambung Praswad.
Ucapan yang dianggap sebagai perundungan oleh Dewas KPK, menurut Praswad, dipotong-potong dan dilepaskan dari konteks kalimat utuh ketika pemeriksaan. Ia menambahkan, sikap itu ia lakukan karena sepanjang pemeriksaan Yogas selaku saksi dianggap tak kooperatif lantaran terus-menerus menyangkal dan memberikan jawaban yang tidak masuk akal. "Dalam konteks ini, saya jelas sekali dalam video pemeriksaan CCTV, saya jelas menggambarkan: Ini gila apa ya kondisi lagi bencana, kondisi lagi kesulitan, pandemi, orang-orang dipecat, kehilangan pekerjaan dan keluarganya bahkan meninggal, kok tega-teganya," ungkap Praswad menceritakan ulang.
"Karena saat itu terperiksa [Yogas] kan, kami mendapatkan informasi bahwa yang bersangkutan megang kuota hampir 4,5 triliun totalnya," terangnya lagi.
Alhasil, ungkap Praswad, berita acara pemeriksaan hari itu pun disebutnya 'tak berdaging'. Ini pula yang menjadikan runutan tuduhan terhadap penyidik KPK, janggal. "Orang BAP-nya kosong, masa kami mau mengintimidasi untuk BAP yang kosong?" katanya lagi.
Itu sebabnya Praswad curiga pelaporan itu tak lepas dari upaya 'serangan balik koruptor terutama dalam kasus bansos'. "Kami [Satgas Bansos KPK] juga, selain diperkarakan di pengaduan ini, Kasatgas saya juga di-TMS-kan [tidak memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan]. Saya juga, dinyatakan tidak pancasilais," tuturnya.
"Jadi sudah double ini lah, kami sudah dinyatakan tidak pancasilais, dinyatakan melanggar kode etik. Jadi sebegitu kah penyidik bansos ini?. Saya juga jadi, apakah sebegitu jahatnya kah? Yang jahat ini kami atau... kok jadi terbalik-balik. Kami yang membongkar korupsi bansos kok, kami jadi yang diposisikan sebegitu jahatnya. Ini ada apa? Kok bisa seperti ini? Kenapa orang yang membongkar kok malah jadi pesakitan," ungkap Praswad lagi.
'Kasus yang kental muatan politik'
Mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas menyebut perkara korupsi bansos Covid-19 ini kental muatan politik. Analisis itu ia sampaikan karena melihat tersangka dan sejumlah orang yang diduga terlibat skandal rasuah pengadaan proyek senilai total Rp5,9 triliun rupiah tersebut. "Kasus Bansos ini kan kasus kejahatan politik dan melibatkan tokoh-tokoh politik teras tinggi, yakni menteri. Kedua, melibatkan sejumlah nama tokoh politik yang lain, dan nama-nama di komisi DPR," terang Busyro.
Karenanya, menurut Busyro, 'muatan politik dalam kasus ini kental sekali'. Selain itu kejahatan korupsi ini terjadi di tengah krisis pandemi Covid-19. Dengan posisi kasus seperti itu, semestinya Dewas KPK bersikap lebih sensitif dan berhati-hati. Putusan pelanggaran etik terhadap penyidik KPK — yang mengungkap skandal korupsi bansos — tersebut menjadi 'sejarah buruk' sepanjang lembaga antirasuah ini berdiri. "Masak dalam situasi yang saya sampaikan itu [kasus yang kental muatan politik], justru memilih sikap terseret ke kasus yang sangat sangat kuat muatan politiknya daripada memilih kasus lain yang tidak politis," kata mantan pimpinan KPK tersebut menyayangkan sikap Dewas.
Atas pelbagai masalah yang disebut ICW sebagai sengkarut penegakan hukum korupsi bansos, lembaga sipil antikorupsi ini meminta KPK menulusuri keterlibatan pihak lain dalam perkara bansos, terutama yang berasal dari lingkup politikus. "Tidak hanya itu, opsi untuk memperlebar ke arah penyelidikan atas dugaan korupsi kerugian keuangan negara dan penindakan pencucian uang mesti segera ditindaklanjuti," tulis ICW.
Dewas KPK juga diminta proaktif mencermati setiap langkah KPK menangani perkara ini. Sementara hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta diminta untuk menerima permohonan penggabungan perkara gugatan ganti rugi yang diajukan korban bansos. Jauh sebelum vonis dijatuhkan pada Juliari, para korban bansos berharap mantan menteri sosial itu mendapatkan hukuman setimpal. Eny menginginkan Juliari dan kroni-kroninya kapok sehingga jera melakukan korupsi lagi.
Meskipun, dari harapan itu juga terbesit keraguan, apakah hukuman ini akan membuat jera pejabat koruptor atau justru sebaliknya — tak berdampak apa-apa. "Tapi saya kira hukuman buat pejabat itu, sepertinya juga nggak membuat jera, jadi saya juga bingung harus diapain," ungkap Eny.
"Kalau memang mereka dipenjaranya sesuai dengan perbuatan mereka dan sama dengan ketika memperlakukan rakyat kecil, saya kira nggak akan ada korupsi, takut orang dipenjara," katanya. "Tapi kan pejabat diperlakukannya istimewa, jadi rakyat kecil juga bingung, ini dikasih hukuman apa ya supaya dia jera," lanjut dia lagi. (*)
Tags : Hukum, Korupsi, Menteri Sosial Juliari P Batubara ,