Internasional   2021/04/07 21:28 WIB

Kalangan Pejabat Saudi Bantah Dugaan Berperan Krisis di Yordania

Kalangan Pejabat Saudi Bantah Dugaan Berperan Krisis di Yordania
Raja Abdullah dan istrinya Ratu Rania (kedua dari kanan) menghadiri upacara pernikahan Pangeran Hamzah dan istri pertamanya Putri Nur (kiri) bersama ibu Hamzah Ratu Nur (tengah) pada 2004.

INTERNASIONAL - Kalangan pejabat Arab Saudi membantah dugaan bahwa mereka berperan dalam upaya kudeta di Yordania. Pada hari Sabtu, mantan putra mahkota Yordania Pangeran Hamzah secara de facto ditempatkan dalam tahanan rumah dan dituduh mengganggu keamanan nasional setelah menghadiri pertemuan para pemimpin suku tempat Raja Abdullah, saudara tirinya, dikritik secara terbuka.

Pangeran Hamzah kemudian merilis dua video ke BBC yang menyebut pemerintah negaranya korup dan tidak kompeten, dan mengatakan bahwa orang-orang takut untuk berbicara karena takut mereka akan diganggu oleh pasukan keamanan. Krisis telah mereda usai mediasi oleh paman raja, namun telah tersebar spekulasi tentang peran Arab Saudi dalam krisis ini.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, terbang ke ibu kota Yordania, Amman, dengan seorang delegasi yang bertujuan, kata para pejabat Saudi, "mengungkapkan solidaritas penuh dengan Raja Yordania Abdullah dan pemerintahannya".

Ini, kata mereka, adalah satu-satunya posisi Saudi, dan anggapan bahwa Arab Saudi terlibat dalam upaya menggoyahkan negara tetangganya adalah "omong kosong yang dibuat-buat". Ketika krisis mencapai puncaknya selama akhir pekan, pemerintah Yordania mengatakan badan keamanan mereka sudah cukup lama memantau aktivitas Pangeran Hamzah dan belasan pejabat lainnya.

Mereka mengatakan "entitas asing" yang tidak disebutkan namanya terlibat dalam apa yang mereka sebut sebagai rencana untuk mengacaukan negara dan wangsa Hasyimiyah yang berkuasa - tuduhan yang dibantah oleh Pangeran Hamzah. Ternyata pada dasarnya ada dua masalah yang terpisah di sini. Masalah pertama adalah Pangeran Hamzah, putra sulung almarhum Raja Hussein, yang mengusik kepala keamanan Yordania setelah pertemuannya baru-baru ini dengan beberapa pemimpin suku yang merasa tidak puas pada pemerintah. Masalah lainnya melibatkan sejumlah pejabat yang diduga menjalin hubungan dengan setidaknya satu negara lain.

Salah satu tokoh paling terkemuka yang ditangkap pada hari Sabtu adalah Bassim Awadallah, mantan kepala Pengadilan Kerajaan Yordania yang sekarang menjadi penasihat ekonomi Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman. Dia mengantongi kewarganegaraan ganda Saudi-Yordania dan pernah muncul sebagai moderator di forum Inisiatif Investasi Masa Depan Arab Saudi.

Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa delegasi menteri luar negeri Saudi menolak meninggalkan Yordania tanpa membawa Bassim Awadallah kembali ke Riyadh bersama mereka. Ini tidak benar, kata pemerintah Saudi. Bassim Awadullah punya koneksi dengan sejumlah orang berkuasa di luar negeri. Selain posisinya yang dekat dengan Putra Mahkota Arab Saudi, ia memiliki hubungan dengan penguasa de facto UEA, Putra Mahkota Muhammad bin Zayid. Dia dikabarkan terlibat dalam pembelian tanah Palestina di sekitar Yerusalem yang didukung UEA baru-baru ini.

Arab Saudi dan Yordania, meskipun sangat berbeda dalam hal ekonomi, punya banyak kesamaan. Ikatan sejarah mereka yang dalam telah ada selama berabad-abad dan hubungan antar suku melintasi perbatasan kedua negeri padang pasir itu. Ketika di usia 20-an saya tinggal bersama orang Badui dari Bani Huwaitat di Yordania selatan, mereka sering pergi bolak-balik ke Arab Saudi, bertukar barang dan berita sambil menggembalakan domba, kambing, dan unta.

Saat kerajaan Arab Islam Sunni yang masih tersisa di belahan dunia lain diguncang oleh pemberontakan Arab Spring, penguasa kedua negara punya kepentingan untuk saling mendukung satu sama lain. Jelas sulit untuk melihat kemungkinan salah satu tetangga terkuat Yordania - Arab Saudi atau Israel - berniat mengguncang kerajaan kecil yang relatif miskin ini. Di bawah pemerintahan almarhum Raja Hussein dan sekarang putranya Raja Abdullah, kerajaan Yordania, dinasti Hasyimiyah, dapat bertahan dari hentakan angin politik Timur Tengah.

Perjanjian damai dengan Israel pada 1994, meskipun tidak populer secara domestik, telah membawa stabilitas regional. Namun Yordania memiliki sedikit sumber daya alam dan infrastrukturnya yang sudah terbatas kini harus menangani masuknya pengungsi dalam jumlah besar, pertama dari Irak dan kemudian dari Suriah.

Pandemi Covid-19 telah mematikan sementara industri pariwisata Yordania, memberikan pukulan lain pada ekonominya yang lemah. Sementara itu, ketidakpuasan pada apa yang dilihat masyarakat sebagai pemerintah yang salah urus terus berkembang.

Namun pemerintahan-pemerintahan di Jazirah Arab tahu jika kerajaan Yordania jatuh, ia dapat memicu rangkaian peristiwa berbahaya di wilayah itu. Karena itu negara-negara tetangga segera mengumumkan pernyataan dukungan untuk Raja Abdullah.

Sementara itu, menunggu dalam bayang-bayang, baik al-Qaeda maupun ISIS akan sangat senang melihat kekacauan di negara yang selama ini menjadi kunci stabilitas di Timur Tengah. (*)

Tags : Kalangan Pejabat Saudi, Bantah Dugaan Berperan, Krisis di Yordania,