Headline Linkungan   2021/03/26 16:34 WIB

Karet Terancam Habis, Perlukah Mencari 'Alternatif'?

Karet Terancam Habis, Perlukah Mencari 'Alternatif'?
Karet alam adalah sumber daya yang tak ternilai harganya karena berbagai macam sifat, dari elastisitas dan kemampuan isolasi hingga anti air.

LINGKUNGAN - Perubahan iklim, kapitalisme dan penyakit memberikan pukulan mematikan bagi pohon karet dunia. Apakah kita perlu mencari sumber karet alternatif sebelum terlambat?

Karet alami adalah bahan unik yang kuat, fleksibel, dan sangat tahan air. Menjadi ban pada kendaraan kita, sol sepatu, segel untuk mesin dan lemari es, mengisolasi kabel dan komponen listrik lainnya. Karet alami dipakai untuk kondom dan pakaian, bola olahraga dan karet gelang sederhana.  Selama setahun terakhir, perannya sangat penting dalam pandemi, pada alat pelindung diri yang dipakai oleh dokter dan perawat di seluruh dunia.

Faktanya, karet dianggap sebagai komoditas yang sangat penting secara global sehingga dimasukkan dalam daftar bahan mentah penting oleh Uni Eropa. Sayangnya, ada tanda-tanda bahwa dunia mungkin akan kehabisan karet alami. Penyakit, perubahan iklim, dan jatuhnya harga global membahayakan pasokan karet dunia. Para ilmuwan berusaha mencari solusi sebelum terlambat.

Pasokan global karet alam, sekitar 20 juta ton per tahun, diproduksi hampir seluruhnya oleh petani kecil yang mengerjakan petak kecil di hutan tropis. Jutaan pekerja perkebunan di Thailand, Indonesia, China, dan Afrika Barat, dengan hati-hati mengupas kulit kayu dari pohon untuk menyadap getah putih susu yang dibentuk menjadi lembaran dan dikeringkan di bawah sinar matahari.

Para petani ini menyediakan 85% pasokan karet alam dunia. Tapi pasokan yang rapuh ini terancam. Berasal dari hutan hujan Brasil, pohon karet Hevea brasiliensis tidak lagi ditanam secara komersial di sana. Penyebabnya adalah penyakit hawar daun Amerika Selatan, patogen bencana yang mematikan industri karet Brasil pada tahun 1930-an. Kontrol karantina yang ketat menahan penyakit ini di Amerika Selatan untuk saat ini, tetapi penularannya di Asia dianggap hampir tak terhindarkan.

Sementara itu, para petani di tempat lain di dunia masih menghadapi patogen lokal seperti penyakit akar putih dan hawar daun lainnya, yang melompat dari perkebunan kelapa sawit tetangga. Perubahan iklim juga menimbulkan kerugian. Produksi karet Thailand dilanda kekeringan dan banjir dalam beberapa tahun terakhir. Banjir juga menyebarkan mikroba penyebab penyakit ke seluruh wilayah. Meningkatnya permintaan akan karet dan kekurangan pasokan seharusnya menjadi kabar baik bagi para petani, karena akan membuat menanam karet lebih menguntungkan. 

Sayangnya, bukan itu masalahnya. Harga karet ditentukan oleh Shanghai Futures Exchange, di mana para pialang berspekulasi mengenai nilai bahan ini, bersama dengan emas, aluminium, dan bahan bakar. "Penetapan harga tidak ada hubungannya dengan biaya produksi," kata Robert Meyer, salah satu pendiri perusahaan pembeli karet, Halcyon Agri dirilis BBC News Indonesia.

Karena pengaturan ini, harga karet per ton bisa berubah menjadi tiga kali lipat dari satu bulan ke bulan berikutnya, dan dalam beberapa tahun terakhir ditahan pada nilai yang sangat rendah. Situasi ini semakin membahayakan pasokan karet. "Menurut perhitungan petani kecil, pendapatan adalah harga dikalikan volume," kata Meyer.

Harga yang rendah membuat petani menyadap pohon mereka secara berlebihan untuk mendapatkan karet lebih banyak, sehingga melemahkan tanaman, menjadi lebih rentan penyakit. Harga rendah juga menghalangi penanaman pohon baru untuk menggantikan pohon yang sudah habis masa komersialnya. Banyak petani juga memutuskan untuk meninggalkan perkebunan.

Eleanor Warren-Thomas adalah peneliti di Bangor University, Wales, yang mempelajari dinamika perkebunan karet. "Kelapa sawit dan karet alam menghasilkan uang yang sama per unit tanah, tetapi tenaga yang dipakai untuk karet lebih tinggi," kata dia.

"Karena harga karet jatuh, petani beralih dari memproduksi karet ke menjual kayu untuk keuntungan jangka pendek, dan menanam kelapa sawit."

Gabungan faktor-faktor ini berarti bahwa dunia saat ini berada pada titik di mana pasokan karet alam tidak dapat memenuhi permintaan. Pada akhir 2019, Dewan Karet Tripartit Internasional memperingatkan pasokan global akan berkurang satu juta ton (900.000 ton) pada tahun 2020, sekitar 7% dari produksi. Kemudian pandemi melanda. Permintaan langsung berkurang, dan jarak tempuh (ukuran kunci untuk menghitung permintaan karet) turun saat negara-negara menutup perbatasan. Meski demikian, karet segera bangkit kembali. "Permintaan bahkan melampaui prediksi yang paling optimistis," kata Meyer. 

Setelah lockdown, warga China membeli banyak mobil baru, karena khawatir akan keamanan dalam transportasi umum. Pola serupa diperkirakan terjadi secara global. "Permintaan melampaui pasokan," kata Meyer. "Sekarang ada kekurangan akut (karet) di tempat tujuan, dan inventaris yang dimiliki oleh pembuat ban sangat rendah."

Meskipun karet sintetis dapat diproduksi dari petrokimia, karet alam punya sifat unik yang tidak dapat ditiru bahan sintetik. Sarung tangan lateks alam lebih tahan sobek daripada keret nitril. Ban pesawat menggunakan karet alam karena elastisitasnya yang tinggi dan ketahanan terhadap panas, yang dapat terbentuk dari gesekan selama pendaratan. Sebagian dari masalahnya adalah pekerja migran yang biasanya menyadap karet masih tidak dapat melintasi perbatasan, sehingga pohon-pohon tidak tersentuh.

Pabrik pengolahan karet menjadi produk yang dapat digunakan berhenti selama beberapa bulan tahun lalu.  Tetapi masalah yang lebih besar adalah bahwa kekurangan ini muncul sebagai akibat masalah struktural yang dalam yang tidak mudah diperbaiki. Tindakan darurat yang dapat menyelamatkan kita dari krisis karet pun dicari. Jawaban yang jelas mungkin dengan menanam lebih banyak pohon karet.

Namun begitu kekurangan karet mulai mencekik dan harga naik, petani membuka hutan hujan tropis untuk menanam lebih banyak karet. Meski perkebunan kelapa sawit mendapat perhatian yang jauh lebih besar, perkebunan karet bisa berdampak buruk bagi hilangnya keanekaragaman hayati, menurut Warren-Thomas. Lonjakan harga yang didorong oleh meningkatnya permintaan di China pada tahun 2011, menyebabkan deforestasi besar-besaran di Asia Tenggara karena pemerintah melepaskan lahan hutan untuk pembangunan guna memanfaatkan tren tersebut. 

Di Kamboja saja, perkebunan karet mengakibatkan seperempat deforestasi. Namun, butuh waktu lama sebelum pohon-pohon ini siap untuk disadap, pertumbuhannya memakan waktu tujuh tahun. Kita bisa mencoba memeras lebih banyak karet dari perkebunan yang ada. "Di Indonesia, ada peluang besar untuk meningkatkan hasil," kata Katrina Cornish, profesor bahan bioemergen di Ohio State University di AS. "Mereka menumbuhkan klon yang sama seperti Thailand dan Malaysia tetapi hasilnya jauh lebih rendah, pengelolaan tanaman bisa ditingkatkan. Kerugian bisa langsung bisa dikurangi dengan pohon yang ada," kata dia.

Salah satu pilihan adalah memberikan ethephon ke pohon, bahan kimia yang merangsang pohon untuk menghasilkan lebih banyak getah lateks. Tetapi terlalu banyak obat ini dapat mematikan pohon, sehingga banyak petani enggan menggunakannya. Pilihan lainnya adalah sama sekali tidak menggunakan Hevea brasiliensis. "Peningkatan produksi perlu diisi oleh alternatif yang bukan Hevea," kata Cornish.

Ohio State University adalah bagian dari program keunggulan alternatif karet alam (PENRA), kemitraan industri yang didedikasikan untuk mencegah krisis yang membayangi. Di sana, para peneliti menjajaki tanaman yang mungkin bisa menggantikan pohon karet. Salah satu tanaman yang diselidiki adalah Taraxacum kok-saghyz, tanaman kecil yang dibudidayakan oleh Rusia ketika pasokan karet Asia terancam selama Perang Dunia Kedua (AS juga bereksperimen dengannya sebagai tanaman karet darurat). "Tapi jangan menyebutnya dandelion Rusia," Cornish memperingatkan. "Tanaman ini dari Kazakhstan, mereka sangat kesal jika disebut dari Rusia."

Dandelion Kazakhtan menghasilkan karet sekitar sepersepuluh lebih banyak dari pohon karet dan diekstraksi dengan menghancurkan dan menekan akarnya. Tanaman ini siap dipanen dalam tiga bulan, dan menghasilkan benih dalam jumlah besar, sehingga mudah untuk ditanam kembali dan meningkatkan produksi. Tahun lalu, lembaga riset Jerman Fraunhofer ISC meluncurkan ban bernama Biskya, dari singkatan bahasa Jerman untuk Karet Sintetis Biomimetik. Terbuat dari karet dandelion, perusahaan mengklaim ketahanannya dari aus lebih unggul dibandingkan karet biasa.

Di OSU, Cornish dan rekan-rekannya mengembangkan varietas dan teknik budidaya, termasuk pertanian hidroponik dan vertikal, untuk membantu membuat karet dandelion bisa dikomersialkan. Pada sistem mereka, akar dandelion yang diisi getah dapat dipanen lima kali setahun. Yang juga menarik adalah guayule (diucapkan wai-oolie), semak kayu yang tumbuh di gurun yang berbatasan dengan AS dan Meksiko. Kekurangan karet selama Perang Dunia Kedua, AS secara sempat memasukkan guayule ke dalam produksi. Meskipun secara kimiawi mirip dengan karet alam, guayule tidak mengandung protein yang memicu alergi lateks.

Di bawah Proyek Karet Darurat, sekelompok kecil ilmuwan dan buruh bekerja keras untuk membudidayakan 13.000 hektar guayule, yang segera menghasilkan sekitar 393 ton karet setiap bulan. Semak membutuhkan waktu dua tahun untuk menghasilkan tanaman pertamanya, tetapi dapat diserbuki (memangkas cabang atas) dan dipindahkan ke panen tahunan setelah itu. Akan tetapi, setelah perang program tersebut ditinggalkan karena karet Asia yang murah kembali masuk ke pasar.

Saat ini hanya ada dua perusahaan yang memproduksi karet secara komersial dari guayule. Salah satunya adalah Yulex, yang menawarkan wetsuit yang sebagian bahannya adalah guayule melalui perusahaan pakaian Patagonia.  Produsen ban Bridgestone mengelola lahan percobaan guayule seluas 114 hektar di Arizona, dan memproduksi ban guayule pertamanya pada tahun 2015. Bridgestone dibantu oleh raksasa minyak Italia Eni, yang mengelola plot uji guayule di Sisilia.

Urgensi untuk meningkatkan upaya ini akan terus meningkat. Permintaan global akan karet alam akan terus meningkat, terutama karena negara berkembang semakin kaya. "Mobil adalah bagian terbesar dari pasar karet, dan jika setiap keluarga Afrika mampu membeli dua mobil, sangat banyak karet yang diperlukan," kata Cornish.

Ada tanda-tanda perubahan: banyak pembeli besar karet termasuk Bridgestone, Continental dan Goodyear telah mendaftar ke Platform Global untuk Karet Alam Lestari, yang melarang membeli karet yang ditanam di lahan yang baru saja digunduli. Meyer sekarang berkampanye untuk memperkenalkan harga minimum tetap untuk karet. Seperti skema Fair Trade untuk kopi dan kakao, ini akan menjamin mata pencaharian petani kecil di negara berkembang, dan membantu memastikan pasokan karet lebih kuat. "Saya tidak melakukan ini demi kekayaan atau agar saya tetap kaya selama satu atau dua kuartal. Saya perlu melihat jangka panjangnya," kata Meyer. "Yang saya cari adalah pasokan yang berkelanjutan, yang tidak bertentangan dengan hati nurani manusia."

Warren-Thomas menambahkan: "Kita harus mendukung petani kecil untuk melakukan yang terbaik yang mereka bisa, membuat mereka tahan terhadap guncangan harga. Caranya adalah dengan meningkatkan sistem produktivitas dan memungkinkan mereka memiliki tanaman sekunder". Pada akhirnya, penggundulan hutan untuk tanaman komersial adalah buruk bagi iklim, buruk untuk keanekaragaman hayati dan masyarakat, dan memang perlu dipikirkan dengan cermat.

Kedatangan penyakit hawar daun Amerika Selatan di Asia akan menjadikan kekhawatiran ini sebagai bahan perdebatan. "Kita bisa kehilangan seluruh spesies, miliaran pohon, dan tidak ada yang bisa mengganti ketika 40 juta ton karet mati dalam setahun," kata Cornish.

Cornish berpendapat bahwa jika setidaknya 10% dari karet yang digunakan di seluruh dunia berasal dari sumber alternatif, jumlahnya dapat ditingkatkan dengan cepat jika terjadi keadaan darurat seperti itu. Arizona sendiri memiliki lebih dari tiga juta hektar lahan gurun yang cocok untuk menumbuhkan guayule. Cornish mengatakan, krisis karet adalah kesempatan sekali dalam satu generasi untuk menarik investasi ke alternatif-alternatif ini. "Kami memiliki cukup benih dandelion untuk ditanam pada 40 hektar pertanian vertikal, dan 3.000 hektar guayule, tetapi kami membutuhkan dana untuk melakukannya," kata Cornish.

"Kita membutuhkan beberapa miliarder untuk ikut terlibat. Saya bertekad untuk melakukan ini sebelum saya mati. Kita harus mewujudkannya. Jika gagal, onsekuensinya bagi dunia yang tengah berkembang tak terbayangkan". (*)

Tags : Karet Terancam Habis, Perlu Cari Karet Alternatif,