"Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Dumai dan Bengaklis akan menimbulkan kabut asap yang mengerikan tahun ini"
ara aktivis lingkungan dan pemerintah sama-sama khawatir musim kemarau yang lebih kering tahun ini akan meningkatkan kerawanan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bahkan aktivis khawatir kebakaran hutan dan lahan akan “lebih buruk ketimbang 2015 dan 2019“.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG) menyatakan musim kemarau tahun ini berisiko lebih kering dari tiga tahun sebelumnya karena fenomena La Nina—yang membawa hujan lebih banyak di musim kemarau—sudah menuju netral dan beralih ke El Nino—yang memicu kekeringan.
Tetapi Gubernur Syamsuar memang telah mengambil langkah cepat dengan menurunkan Tim Gabungan Pemadam Karhutla untuk melakukan pemadam Karhutla di Dumai dan Bengkalis demi menjaga kesehatan masyarakat sekitarnya.
Gubri Syamsuar langsung melakukan peninjuan sekaligus ikut melakukan pemadaman karhutla di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Rabu 26 April 2023 kemarin.
Pemerintah sudah menyiapkan “instrumen” pengendalian karhutla sejak akhir tahun lalu dan meminta pihak terkait untuk meningkatkan “kesiapsiagaan” jelang musim kemarau.
Per Maret 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas karhutla mencapai 12.666 hektare di 29 provinsi.
Padahal BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau pada kisaran April hingga Juni 2023.
Sedangkan, puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi baru akan terjadi pada pada kisaran Juli sampai Agustus 2023.
Apakah kondisi tersebut akan membuat karhutla semakin mengganas tahun ini?
“12.000 [hektare] bisa jadi pertanda buruk karena ini baru awal. Setidaknya musim panas ini baru sebulan terakhir, malah belum sampai sebulan, sudah 12.000 [hektare lahan yang terbakar], apalagi kemudian kalau durasi musim panasnya semakin panjang?” kata Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian.
Hasil pengamatan LSM Pantau Gambut juga menemukan titik api atau hotspot pada April saja “telah cukup tinggi”, dengan Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan “kerentanan yang paling dominan.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Dumai dan Bengaklis menimbulkan kabut asap.
Juru Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, mengingatkan, “jika situasi ini tidak diantisipasi akan sangat berisiko menimbulkan bencana ekologis, yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat seperti pada 2015 dan 2019”.
Tahun 2015 dan 2019 dianggap menjadi tahun-tahun karhutla dengan dampak terparah, dengan luasan kebakaran masing-masing mencapai 2,6 juta hektare dan 1,6 juta hektare.
Kembali diganggu asap setelah menikmati udara segar
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di perbatasan Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis, Riau, sejak 19 April lalu, menimbulkan kabut asap yang “mengganggu” warga.
Kabut asap dirasakan sampai ke pusat Kota Dumai, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kelurahan Pelintung—tempat terjadinya kebakaran.
Tetapi Ir Ganda Mora M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) melihat, warga terpaksa merayakan Idulfitri di tengah kabut asap. Namun, kabut asap di pusat kota tidak separah di sekitar lokasi kejadian yang berada di Kecamatan Medang Kampai.
“Karena ini titiknya [kebakaran] cuma satu, jadi asapnya masih di sekitar situ saja. Walaupun sampai ke kota, tapi enggak terlalu pekat di kotanya,” kata Ganda Mora, yang dihubungi lewat Whats App nya, Kamis (27/4) yang turut prihatin dan dirinya mengaku sedang melakukan pemantauan di hutan kerumutan.
Dia menduga angin yang mengarah ke laut, bukan ke kota, menjadi salah satu penyebab kondisi kabut asap di Kota Dumai “lebih ringan”.
Meski demikian, Ganda tetap menyebut kabut asap kali ini sebagai yang “terparah” di pusat Kota Dumai setelah pandemi Covid-19 melanda.
“Sejak 2020 itu kita benar-benar menikmati udara yang segar tanpa asap. Kemungkinan titik api ada, tapi yang sampai asap menutupi dan menggangu aktivitas itu tidak pernah,” ujar dia.
Dalam video yang diunggah akun Twitter @sepdum (Seputar Dumai), selain Kelurahan Pelintung, Kelurahan Mundam, Selinsing, dan beberapa kawasan lainnya di Kecamatan Medang Kampai diselimuti asap yang sampai mengurangi jarak pandang.
Bahkan beberapa hari sebelumnya, asap pekat berwarna kuning menyelimuti langit Pelitung, membuat kualitas udara memburuk.
Api membakar hutan dan semak belukar di Pelitung sejak 19 April.
Per 26 April, upaya pemadaman masih terus dilakukan dan kondisi kebakaran dikatakan sudah jauh berkurang.
Di hari kedelapan, sumber air untuk mempercepat proses pemadaman mulai terbatas dan lokasinya jauh.
Kebakaran yang berlangsung lebih dari sepekan ini menghanguskan 60 hektare lahan.
Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar ikut padamkan Karhutla di Dumai dan Bengaklis.
Mengingat musim kemarau baru dimulai di sebagian besar wilayah Indonesia dan akan segera dimulai di wilayah lainnya.
Salah seorang warga Dumai Wandi mengaku “khawatir” bencana kabut asap akan semakin parah di wilayahnya.
Namun Ganda Mora menilai, yang terjadi kebakaran masih di sebelah timur kota, "tetapi teman-teman yang di sebelah barat, di kecamatan Sungai Sembilan, ternyata mereka juga tertutup kabut asap," kata dia.
"Infonya di sana sudah ada kabut asap dan itu tidak mungkin asap dari kebakaran yang ini [di Medang Kampai],” kata Ganda lagi.
Bagaimana kesiapan pemerintah menghadapi situasi ini?
Gubernur Syamsuar langsung menurunkan Tim Gabungan Pemadam Karhutla. Tim gabungan yang melakukan pemadam kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Dumai dan Bengkalis harus tetap menjaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dilapangan.
"Saya sudah sampaikan kepada mereka agar tetap menjaga kesehatan dan kekompakan," pesan Syamsuar saat diwawancarai.
"Kalau ada anggota yang kurang sehat atau capek sebaiknya istirahat dulu," tambahnya.
Gubernur Riau Syamsuar juga melakukan peninjuan sekaligus ikut melakukan pemadaman karhutla di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Rabu 26 April 2023 kemarin.
Ia juga mengingatkan tim pemadam karhutla yang terjadi di Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai Dumai dan Daerah Kabupaten Bengkalis agar selalu menggunakan masker.
"Asap ini sama kayak Covid-19 karena bisa menyebabkan sesak, jadi harapan saya mereka (Tim Gabungan Pemadam Karhutla) tetap menggunakan masker," imbuhnya.
Mantan Bupati Siak dua periode ini menjelaskan bahwa tim kesehatan juga selalu standby didaerah-daerah yang terjadi kebakaran hutan dan lahan supaya petugas pemadam tetap terjaga kesehatannya.
"Tenaga kesehatan juga standby diwilayah-wilayah yang terjadi kebakaran dan pak Walikota juga akan memonitor," pungkasnya.
Seorang warga Dumai berupaya menghentikan penyebaran api di sebuah lahan perkebunan pada 2014 lalu.
Berdasarkan informasi yang diterima kebakaran hutan dan lahan di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Dumai mencapai kurang lebih enam puluh hektar sedangkan di Kabupaten Bengkalis lebih kurang seratus hektar.
Atas Kebakaran hutan dan lahan tersebut, penegak hukum akan mengusut siapa dalang dibalik kebakaran sehingga menyebabkan udara tercemar oleh kabut asap.
"Jelas ini akan diusut Polda Riau, siapa yang membakar tentunya pihak kepolisian lebih tau mengenai ini," kata syamsuar.
Sementara pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengimbau para pihak terkait untuk meningkatkan kesiapsiagaan demi mengantisipasi karhutla di tengah curah hujan yang menipis dan cuaca panas yang berpotensi meningkatkan kerawanan karhutla.
“Para petugas di lapangan terus melakukan pemantauan dan segera melakukan pemadaman jika ditemukan karhutla. Monitoring dan deteksi dini juga terus dilakukan di Posko Dalkarhutla [pengendalian kebakaran hutan dan lahan] KLHK di Jakarta… Selanjutnya, sangat penting kiranya agar masyarakat terus meningkatkan kepedulian dan aktif dalam mencegah karhutla di lapangan,” kata Plt Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Basar Manullang, dalam keterangan tertulis yang diterbitkan di laman Sipongi+, pada 26 April.
Basar Manulang mengatakan sampai saat ini provinsi rawan karhutla yang sudah menetapkan status siaga darurat adalah Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Pada akhir 2022 lalu, Menteri KLHK Siti Nurbaya telah mencetuskan instrumen pengendalian karhutla, antara lain dengan mengembangkan sistem pemantauan dan monitoring karhutla, melaksanakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)—khususnya untuk pembasahan gambut dan mengurangi hotspot pada provinsi rawan karhutla, melaksanakan patroli pengendalian karhutla, dan melaksanakan manajemen gambut.
Musim kemarau lebih kering, apakah karhutla akan bertambah parah?
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyebut karhutla sebagai satu kejadian ikutan dari “perubahan iklim yang semakin parah”.
Dia mengatakan cuaca panas yang terjadi belakangan ini adalah “konsekuensi paling logis” dari situasi iklim yang semakin buruk, yang juga “akan membuat kebakaran hutan dan lahan semakin masif”.
WALHI menilai langkah mitigasi yang diklaim pemerintah “sudah tidak cukup lagi” kalau akar permasalahannya tidak diselesaikan, yaitu evaluasi perizinan.
Langkah itu dinilai penting karena data WALHI menyebutkan “titik-titik api karhutla masif terjadi di wilayah-wilayah konsesi perusahaan”, baik di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun di konsesi perkebunan sawit.
Apalagi saat ini perubahan iklim membuat situasi semakin buruk.
“Kalau kemudian kita tidak kembali ke akar permasalahannya, maka kemudian pembakaran hutan dan lahan akan terus terjadi sepanjang tahun dan ketika gelombang panas datang, maka intensitas titik apinya akan semakin banyak dan mungkin bisa jadi akan lebih buruk ketimbang tahun 2015 atau 2019 yang lalu,” kata Uli Arta Siagian kepada media, Rabu (26/04).
Senada dengan WALHI, organisasi non-pemerintah Pantau Gambut juga mengatakan “cuaca memang sebagai faktor risiko”, tetapi tidak berdiri sendiri sebagai faktor yang meningkatkan atau memperpatah karhutla, kata Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana.
“Faktor kerentanan kami ukur dari burned area atau lokasi eks terbakar, beberapa lokasi bahkan terbakar berulang lebih dari 1 kali. Faktor lahan gambut yang kemudian dibuka oleh perkebunan ataupun beralih fungsi juga meningkatkan kerentanan, kata Wahyu, Rabu (26/04)
Dalam rilisnya soal ancaman karhutla, Wahyu bahkan menyebut “pemerintah gagal memahami akar permasalahan karhutla”, akibatnya penanganan karhutla hanya berfokus pada pemadaman api tanpa menyentuh masalah substantif, yaitu kerusakan ekosistem gambut yang memperparah dampak kebakaran.
Tidak ada efek jera
Di samping ekspansi pemberian izin yang masif—tanpa dibarengi evaluasi— dan masalah kerusakan ekosistem, WALHI dan Pantau Gambut sama-sama menyebutkan penegakan hukum yang “tidak membuat efek jera” menjadi salah satu hal yang bisa memperburuk karhutla di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, bahkan di lokasi yang sama.
Pada 2017 lalu, warga mengajukan gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit (CLS) terhadap pemerintah atas karhutla di Kalimantan Tengah.
Warga memberikan oksigen saat kabut asap akibat karhutla menyelimuti Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada September 2019.
Penggugat meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang memitigasi karhutla, sampai membuat fasilitas kesehatan seperti rumah sakit paru dan sebagainya.
“Itu menang sampai kasasi, kemudian beberapa bulan yang lalu [November 2022] presiden bukannya melaksanakan perintah pengadilan untuk membuat kebijakan turunan mitigasi karhutla, membuat rumah sakit paru, mereka kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) dan kemudian [pemerintah] dimenangkan oleh MA,” kata Uli.
Wahyu, pada Maret lalu, menyebut putusan MA itu adalah “cerminan melemahnya kekuatan hukum dalam menangani karhutla”.
Itu yang dilakukan pemerintah ketika menghadapi gugatan warga.
Lantas bagaimana ketika pemerintah menjadi penggugat? Uli mengatakan “banyak” putusan yang memenangkan pemerintah ketika berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi, tapi hasil putusan itu “tidak diimplementasikan”.
“Itu hal-hal yang masih membuat karhutla bisa dipastikan tiap tahun akan terus-menerus terjadi dan tidak ada efek jera terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya karena monitoringnya tidak dilakukan, putusan pengadilannya tidak dilakukan dan tidak dieksekusi,” papar Uli. (*)
Tags : kebakaran hutan dan lahan, karhutla di dumai dan bengaklis, karhutla timbulkan kabut asap, kabut asap mengerikan, dikhawatirkan kabut asap lebih buruk seperti 2015 dan 2019, kabut asap mengancam keselamatan lingkungan dan alam,