JAKARTA - Pegiat anti-korupsi hingga peneliti pemilu mengkritik langkah Jaksa Agung yang menginstruksikan anak buahnya untuk menunda proses hukum para peserta Pemilu 2024 selama gelaran pesta demokrasi itu berlangsung, mulai dari calon anggota legislatif, kepala daerah, hingga calon presiden dan wakilnya.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut penundaan itu menunjukkan “proses politik menegasikan penegakan hukum“.
Senada, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan memorandum Jaksa Agung itu karena “seharusnya hukum dijadikan panglima, jangan di bawah ketiak politik“.
Transparency International Indonesia (TII) menilai, keputusan Jaksa Agung berpotensi melanggar UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan juga berimplikasi pada akselerasi kenaikan resiko korupsi.
Untuk itu, pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendorong Kejaksaan Agung melakukan penegakan hukum secara transparan, profesional, proporsional, dan berkeadilan untuk mencegah terjadinya politisasi kasus, alih-alih melakukan penundaan.
Terkait kritikan tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menegaskan bahwa instruksi Jaksa Agung bertujuan menjaga independensi dan netralitas penegakan hukum, “Jangan sampai kita dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu,“ katanya.
Sebelumnya, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, mengeluarkan memorandum yang meminta jajarannya, khususnya di bidang tindak pidana khusus dan intelijen, untuk menunda proses pemeriksaan hukum selama rangkaian proses pemilu 2024.
Berbeda dari Kejagung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan proses hukum yang melibatkan peserta pemilu tetap akan berlangsung.
‘Hukum di bawah ketiak politik‘
Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengaku sangat menyesalkan memorandum yang dikeluarkan Jaksa Agung.
Menurutnya, langkah itu menunjukkan bahwa, “hukum yang seharusnya dijadikan panglima, justru berada di bawah ketiak politik," kata Agus seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (22/08).
Jika langkah Jaksa Agung itu dibiarkan, tambahnya, para anggota legislatif ataupun kepala daerah yang ‘bermasalah‘ berpotensi mempengaruhi proses hukum dan bahkan menghilangkan barang bukti dengan kekuasaan yang mereka miliki usai terpilih.
“Justru saat ini harusnya dijadikan momentum agar hukum dijadikan saringan utama untuk mengantisipasi calon pejabat publik yang rekam jejaknya buruk khususnya terindikasi korupsi,“ kata Agus.
Peneliti TII, Sahel Muzzamil, menambahkan, langkah itu juga berpotensi besar menyebabkan akselerasi kenaikan risiko korupsi.
“Saya gunakan istilah akselerasi sebab tanpa memo tersebut pun, risiko korupsi jelang pemilu pasti akan meningkat. Karena mereka yang berkontestasi butuh banyak uang untuk terpilih, sementara mereka yang berencana pensiun dari jabatan publik terpilih butuh banyak uang untuk kehidupan usai menjabat,“ kata Sahel.
Ditambah lagi, katanya, memo itu juga berpotensi melanggar Pasal 25 UU Tipikor bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
“Jadi kalau commit terhadap agenda pemberantasan korupsi, memo Jaksa Agung harusnya memuat perintah sebaliknya. Efektivitas proses penegakan hukum harus dilipatgandakan terutama ketika terkait aktor dalam pemilu,“ tambah Sahel.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan, perintah Jaksa Agung menunda proses hukum selama pemilu merupakan keputusan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan konstitusi.
Menurutnya, konstitusi memandatkan demokrasi dan hukum harus selaras serta berjalan bersamaan.
“Proses penegakan hukum dan kontestasi pemilu adalah dua hal yang harus dijalankan sama baiknya, secara profesional, dan tidak saling menegasikan, agar pemilih juga mendapatkan informasi terkait kontestan pemilu yang akan dipilihnya,“ kata Fadli.
Senada, pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini menjelaskan, penundaan kasus hukum calon peserta pemilu membuka peluang ‘orang-orang bermasalah‘ terpilih.
“Lalu jika terpilih dan proses hukum baru berjalan, tentu akan lebih merugikan karena mereka harus menjalani proses hukum dan akibatnya tidak bisa melakukan kerja pelayanan publik secara optimal, dan lagi-lagi masyarakat yang akan dirugikan,“ kata Titi.
Kedua, jika kandidat itu menjabat, ujar Titi, mereka berpotensi besar menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi proses penegakan hukum, yang pada akhirnya justru terjadi politisasi.
“Justice delay is justice denied. Bisa saja kasus hukum dipetieskan ketika orang bermasalah secara hukum itu terpilih,” kata Titi.
Jadi pilihannya, tambahnya, adalah bukan dengan menunda kasus hukum, melainkan penegakan hukum secara transparan, profesional, proporsional dan berkeadilan.
Terkait dengan kritikan tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menegaskan bahwa instruksi Jaksa Agung itu bertujuan untuk menjaga independensi dan netralitas penegakan hukum.
“Kita punya pengalaman panjang terkait pemilu ini. Jangan sampai kita dijadikan alat. Meminjam tangan kita untuk memeriksa orang, atau menakut-nakuti orang, atau membuat black campaign ke orang tertentu, untuk memenangkan orang yang punya kepentingan politik tertentu,“ kata Ketut Sumedana.
Tujuan lainnya, Ketut menambahkan, adalah sebagai bentuk turut serta Kejaksaan dalam melaksanakan proses demokratisasi dengan tidak membuat kegaduan politik ketika melakukan proses penegakan hukum.
“Kan bisa saja karena pesanan tertentu, anak-anak buah kita di lapangan menerima laporan ditindaklanjuti dengan memanggil orang. Nah ini yang tidak dihendaki di lapangan sehingga betul-betul Kejaksaan independen dan netral dalam penegakan hukum,“ katanya.
Ketut menjelaskan, instruksi Jaksa Agung yang serupa juga pernah dikeluarkan pada tahun 2019 ketika pemilihan serentak kepala daerah tahun 2020.
Dan Ketut menegaskan, instruksi itu berlangsung dari Oktober 2023 hingga Februari 2024, "Ketika sudah ada penetapan pemenang, kita akan turun, proses tetap berjalan, baik dia sebagai pemenang atau kalah dalam prsoes itu.“
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan memorandum yang meminta kepada seluruh jajarannya, khususnya di bidang intelijen dan tipikor yang ada di seluruh Indonesia, agar penanganan laporan pengaduan dugaan korupsi yang melibatkan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, serta calon kepala daerah dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Tujuannya adalah untuk mengantisipasi adanya indikasi terselubung yang bersifat black campaign, yang dapat menjadi hambatan terciptanya pemilu yang sesuai dengan prinsip dan ketentuan UU.
"Guna menindaklanjuti penanganan laporan pengaduan tersebut di atas, agar bidang Tindak Pidana Khusus dan bidang Intelijen menunda proses pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud, baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan sejak ditetapkan dalam pencalonan sampai selesainya seluruh rangkaian proses dan tahapan pemilihan," ujar ST Burhanuddin..
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga meminta jajarannya di bidang intelijen untuk mengoptimalisasi perannya dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024.
"Segera melaksanakan pemetaan potensi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan dalam proses pemilihan umum sebagai bentuk deteksi dan pencegahan dini," jelasnya.
KPK: Pemberantasan korupsi tetap berjalan
Berbeda dari Kejagung, KPK menegaskan bahwa proses penegakan hukum yang melibatkan peserta pemilu 2024 tetap dilakukan.
"Pemberantasan korupsi tetap berjalan. Kami pastikan semua upaya kerja pemberantasan korupsi yang KPK lakukan tetap junjung profesionalisme, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, Senin (21/08), dikutip dari Detikcom.
Menanggapi hal tersebut, Ketut Sumedana menjelaskan bahwa KPK tidak memiliki jajaran sampai tingkat bawah sehingga tidak mungkin membuat interuksi seperti yang dilakukan Jaksa Agung.
“Kedua, KPK itu kan melakukan kasus-kasus OTT. Kalau kasus OTT tidak mungkin dihentikan, kapan saja bisa dilakukan. Kita pun kalau tangkap tangan juga sama, tidak mungkin kita hentikan."
"Tapi kalau laporan sampai menimbulkan case building, dengan proses pemeriksaan panjang, ini yang kita hentikan sementara. Itu yang membedakan dengan KPK,” kata Ketut.
Hingga kini, terdapat tiga bakal calon presiden (bacapres) yang akan bersaing dalam Pemilu 2024 dan lebih dari 9.000 bakal calon legislatif (bacaleg) DPR,
Para bacapres ini kerap dikaitkan dengan dugaan kasus pelanggaran hukum, seperti Ganjar Pranowo dengan dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik, lalu Anies Baswedan dengan dugaan kasus korupsi Formula E, dan juga Prabowo Subianto yang selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pada pemilu 2019 lalu, KPU menyebut terdapat setidaknya 49 caleg mantan narapidana kasus korupsi. Sementara pada pemilu 2024 mendatang, belum diketahui berapa caleg mantan napi korupsi yang menjadi kandidat pemilu. (*)
Tags : Politik, Kejahatan, Masyarakat, Hukum, Indonesia, Pemilu 2024, Korupsi,