"Tim hisab rukyat Kemenag berkesimpulan hilal tak bisa diamati, sementara Jemaah An-Nadzir memiliki cara unik dalam menentukan awal Ramadan dengan menggunakan kain tipis untuk memantau bayangan bulan"
im hisab rukyat Kementerian Agama (Kemenag) melaporkan pemantauan posisi hilal pada petang ini di Indonesia. Kesimpulannya, hilal tak bisa diamati sehingga secara hisab 1 Ramadan 1445 H jatuh pada Selasa 12 Maret 2024.
"Berdasar kriteria MABIMS (3-6,4) tanggal 29 Sya'ban 1445 H/10 Maret 2024 M posisi hilal di seluruh wilayah NKRI belum masuk kriteria minimum tinggi hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Sehingga tanggal 1 Ramadan 1445 H secara hisab jatuh bertepatan dengan hari Selasa Pon, tanggal 12 Maret 2024 M," kata anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag, Cecep Nurwendaya, di kantor Kemenag, Minggu (10/3/2024).
Cecep mengatakan hasil kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura), kriteria visibilitas hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Berdasarkan kriteria tersebut, hilal di Indonesia sore ini tidak bisa diamati.
"Hilal tidak bisa diamati," kata Cecep.
Pernyataan Cecep itu disampaikan dalam acara pemaparan posisi hilal di Indonesia sebagai salah satu tahapan dari sidang isbat awal Ramadan 2024. Selanjutnya, pemerintah akan melakukan penetapan awal Ramadan 1445 H yang dilanjutkan dengan konferensi pers oleh Menteri Agama.
Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menegaskan, penghapusan sidang isbat atau penentuan awal bulan hijriah tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba.
Sebab, sidang isbat yang biasanya digelar untuk menentukan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, maupun awal bulan Dzulhijjah ini sudah menjadi ketentuan yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
“Penghapusan sidang isbat itu tidak bisa tiba-tiba. Misalnya Menteri Agama tiba-tiba bilang tahun ini nggak ada sidang isbat, tentu kami akan protes juga karena ini sudah jadi aturan," kata Gus Yahya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/3/2024).
Pernyataan tersebut menanggapi wacana penghapusan sidang isbat yang disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Menurut Mu'ti, penghapusan sidang isbat akan menghemat anggaran negara.
"Sidang isbat itu telah menjadi aturan, maka jika ada usul peniadaan, proses penghapusannya perlu proses panjang," ucap Gus Yahya, seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, sidang isbat ini diselenggarakan untuk menjaga harmoni masyarakat selama Ramadhan dan Idul Fitri.
Ia pun menegaskan bahwa PBNU akan tetap mengikuti prosedur dan hasil sidang isbat yang ditetapkan oleh pemerintah. “Kami tetap berpegang pada pandangan bahwa awal Ramadhan dan Idul Fitri itu ditentukan berdasarkan hasil rukyat hilal," kata Gus Yahya.
Untuk itu, NU tetap menghormati dan akan mengikuti ketetapan hasil sidang isbat yang diselenggarakan pemerintah.
Ilustrasi hilal.
"Para kiai NU bahkan mengatakan tidak boleh mengumumkan pandangan yang berbeda dari pemerintah kalau sudah ada penetapan isbat dari pemerintah," katanya.
Dalam kesempatan menuju Ramadhan, Gus Yahya juga meminta agar masyarakat meningkatkan spiritualitas dan menghindari ceramah yang memuat provokasi selama bulan puasa.
"Mari kita manfaatkan bulan Ramadhan ini untuk meningkatkan ikhtiar rohani kita," ucap dia.
Sebelumnya, Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah sudah mengumumkan awal puasa Ramadhan pada 11 Maret 2024. Sedangkan pemerintah baru akan menggelar sidang isbat awal Ramadhan 1445 H pada 10 Maret 2024.
"Sidang akan memutuskan apakah puasa Ramadhan tahun ini akan dimulai pada 11 atau 12 Maret," kata Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie.
Menentukan awal Ramadan dengan cara unik
Jemaah An-Nadzir, salah satu aliran Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan, memiliki cara unik dalam menentukan awal Ramadan. Selain pengamatan bulan, kain tipis dan aplikasi perangkat lunak digunakan untuk memantau bayangan bulan.
Berdasarkan tiga metode yang dipakai itu, pemimpin An Nadzir, Samiruddin Pademmui, mengungkapkan perpisahan bulan Syakban menuju Ramadan terjadi pada hari Minggu (10/03) pukul 17.00 WITA.
Merujuk pada ajaran An-Nadzir, jika awal Ramadan terjadi pada siang atau sore hari, maka pada hari itu juga boleh berpuasa dengan niat menyambut Ramadan.
“Tapi untuk sempurnanya, mulai 1 Ramadan penuh adalah tanggal 11 Maret, hari Senin," ujar Samiruddin seperti dirilis BBC News Indonesia, Jumat (08/03).
Pada tahun-tahun sebelumnya, An-Nadzir biasa mengawali Ramadan – dan merayakan Hari Raya Idulfitri – lebih dulu dari umat Islam pada umumnya. Namun tahun ini mereka akan mengawali bulan puasa pada Senin (11/03).
Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia, juga mengawali puasa di hari sama. Sementara pemerintah Indonesia akan melakukan pemantauan bulan atau rukyatul hilal untuk menentukan awal Ramadan 1445 H pada Minggu (10/03).
Pemantauan bulan ini dilakukan di 134 titik di seluruh Indonesia.
Bagaimana metode penentuan awal puasa dilakukan?
Samiruddin Pademmui, pemimpin An-Nadzir di Gowa, mengatakan penetapan awal Ramadan diputuskan setelah melakukan pengamatan bulan sejak 14, 15, dan 16 Syakban. Pengamatan bulan kembali dilakukan pada 27, 28, dan 29 Syakban.
Syakban adalah bulan ke-8 tahun Hijriah (29 hari).
Dia menambahkan metode lain yang mereka gunakan adalah dengan melihat bayangan bulan menggunakan kain tipis berwarna hitam. Metode melihat bulan bayangan bulan ini dilakukan pada saat subuh.
"Kita ada istilah dengan melihat bayangan bulan menggunakan kain tipis, kemarin itu kita lihat masih empat bayangan berarti masih terbit tiga kali lagi, tadi subuh ada tiga bayangan berarti terbit lagi dua kali, ini masih terbit di timur besok dan Ahad," ujar Samiruddin.
Metode ini dikombinasikan dengan sebuah teknologi aplikasi perangkat lunak untuk memastikan akurasi menentukan waktu terjadinya pergantian bulan baru dari bulan Syakban ke Ramadan 1445 Hijriah.
“Kami ada bantuan aplikasi yang sudah kita amati beberapa tahun ini sangat membantu akurasi dari perpisahan bulan.
Kementerian Agama melakukan pemantauan hilal di 101 lokasi di sejumlah wilayah di Indonesia untuk menentukan 1 Ramadhan.
“Jadi hari Ahad itu perjalanan bulan Syakban ke barat sudah tidak sampai lagi di barat, jadi pergantian bulan atau konjungsi sekitar jam lima sore waktu kita di sini (WITA)," jelas Samiruddin.
Dia mengaku ada perbedaan metode penentuan pergantian bulan yang dilakukan komunitasnya dengan metode yang dilakukan pemerintah.
Itu karena, menurut Samiruddin, perbedaan pandangan soal hilal – istilah yang digunakan untuk menentukan awal bulan baru dalam Kalender Islam.
Secara keilmuan, hilal adalah bulan baru atau sabit pertama setelah konjungsi saat posisi bumi dan bulan berada di bujur.
Pengamatan dilakukan dari titik tertentu sesaat setelah matahari terbenam.
“Perlu diketahui bahwa hilal ini tidak selamanya terbit di atas ufuk, kadang-kadang di bawah ufuk. Jadi di situ lah saya lihat ada terjadi perbedaan,” kata Samiruddin.
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan mempertanyakan dasar An-Nadzir dalam menentukan awal puasa memakai kain.
Ketua Bidang Fatwa MUI Sulawesi Selatan, Prof. Ruslan Muin juga mempertanyakan hitung-hitungan kelompok An-Nadzir dalam menetapkan pergantian bulan, karena itu menjadi hal penting dalam penentuan awal puasa.
"Yang terpenting kita berangkat dari suatu prinsip, bahwa melihat bulan dengan benar serta sah, itu petunjuk dalam agama kita,” tegas Ruslan.
“Jelas bahwa berpuasa kalau melihat bulan, berbukalah saat lihat bulan, dan Lebaran-lah saat melihat bulan, itu kata kuncinya sebenarnya," ujarnya kemudian.
Siapa itu Jemaah An-Nadzir dan bagaimana sejarah mereka di Indonesia?
Pemimpin An-Nadzir di Gowa, Samiruddin Pademmui, menjelaskan ajaran An-Nadzir dibawa oleh ulama KH. Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syekh Imam Muhammad Almahdi Abdullah.
Awalnya, komunitas ini bernama Majelis Jundullah. Akan tetapi, ketika ajaran ini dibawa ke Sulawesi Selatan, di sana ada gerakan keagamaan bernama Laskar Jundullah. Demi menghindari konflik, nama Majelis Jundullah berubah menjadi An-Nadzir pada 2002.
Samirrudin mengaku ada perbedaan metode penentuan pergantian bulan yang dilakukan komunitasnya dengan metode yang dilakukan pemerintah.
Sebelum menetap di Gowa, jemaah An-Nadzir tersebar di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti Palopo, Bone dan beberapa kabupaten lain.
Ketika pemimpinnya meninggal, komunitas tersebut mengalami stagnasi dan puncaknya ketika keluar surat putusan dari pemerintah setempat agar segala aktivitas mereka di Palopo dihentikan.
Pada 2006, An-Nadzir sempat mendapat sorotan dari publik ketika sebanyak 60 kepala keluarga jemaah An-Nadzir dari Palopo “hijrah” ke perkampungan Mukmin An-Nadzir di Bontomarannu, Gowa.
Di lokasi itu, mereka membuat tempat tinggal sederhana yang dibuat dari bambu. Semula, hanya ada lima keluarga yang tinggal di sana.
Salah satu jemaah An-Nadzir yang hijrah dari Palopo 24 tahun lalu adalah Ukasyah.
Pria berusia 52 tahun itu mengaku sempat ditentang keluarga besarnya ketika memutuskan bergabung dengan An-Nadzir. Penolakan itu tak hanya dari kerabat, tapi juga masyarakat luas.
“Pengalaman pribadi kami ditengok miring masyarakat terutama masyarakat awam yang terkadang tak terlalu paham, mereka cepat menghakimi,” ujar Ukasyah.
Di perkampungan itu kini ada 100 keluarga dengan jumlah keseluruhan sekitar 500 orang.
Kebanyakan Jemaah An-Nadzir yang bermukim di sana berprofesi sebagai petani dan pedagang, ada juga yang berprofesi sebagai pegawai, bahkan aparat militer dan kepolisian.
Perkampungan yang berdiri sejak awal tahun 2002 ini berjarak sekitar 100 meter dari pemukiman penduduk Lette.
Apa ciri khas ajaran An-Nadzir?
Selain penentuan awal Ramadan yang berbeda, Jemaah An-Nadzir memiliki cara pandang yang unik seperti dalam berpakaian dan penentuan salat.
“Waktu itu, ini dianggap aneh, panjang rambutnya [berwarna] pirang, kemudian [pakaian] hitam-hitam," ujar Samiruddin.
Dia menjelaskan filosofi di balik pakaian serba hitam – warna yang identik dengan kematian – yang mereka gunakan adalah agar jemaah An-Nadzir selalu mengingat kematian.
“Bagaimana kita senantiasa mengingat tentang kematian karena yang namanya kematian sewaktu-waktu bisa menjemput kita,” kata dia.
Seorang jemaah An-Nadzir bersama cucu-cucunya melintasi kebun kelapa sawit di Gowa.
Selain pakaian serba hitam, Jemaah An-Nadzir juga selalu menggunakan sorban di kepala mereka. Ini, menurut Samiruddin, merujuk pada atribut yang dikenakan oleh Nabi Muhammad SAW.
“Seperti inilah topinya Rasulullah, agak runcing ke atas, kemudian pakai jubah, panjang rambutnya sebahu. Jadi ini semua yang kita tampilkan di An Nadzir ini bagian daripada menegakkan sunnah Rasulullah SAW,” aku Samiruddin.
Demikian juga dengan rambut jemaah pria An-Nadzir yang dicat dengan warna pirang.
Saat bulan puasa, Jemaah An-Nadzir terlebih dulu melakukan salat Magrib sebelum berbuka puasa. Selain itu, mereka tidak menunaikan ibadah salat Tarawih seperti umat Muslim pada umumnya.
“An-Nadzir memang tidak melakukan tarawih, jadi kita melakukan salat isya sepertiga [malam] terakhir sebelum sahur sekaligus kita salat lainnya di situ, tahajudnya, nanti setelah salat tahajud baru kita sahur,” jelas Samiruddin.
Mengapa An-Nadzir dianggap 'sesat'?
Jemaah An-Nadzir menyebut dirinya sebagai “ahlul bait”, atau kelompok keagamaan yang secara konsisten mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Jemaah An-Nadzir memiliki pokok ajaran yang berbeda dengan penganut Islam mayoritas di Indonesia.
Seperti halnya dengan komunitas minoritas lain, Jamaah An-Nadzir distigma dan dicurigai oleh masyarakat umum.
Tidak sedikit masyarakat menilai keberadaan An-Nadzir sebagai kelompok ajaran “sesat” bahkan dianggap sebagai kelompok atau komunitas keagamaan yang membahayakan umat Islam.
"Memang awal-awalnya seperti itu, sesuatu yang dianggap aneh, dan kita pahami itu,” kata Samiruddin.
Dia kemudian menjelaskan bahwa masyarakat cenderung melihat dari cara beribadah Jemaah An-Nadzir yang berbeda, tanpa memahami bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
“Kenapa kemudian dianggap aneh, setelah kita kaji lebih jauh ternyata dari waktu ke waktu nilai-nilai Islam yang pernah ditampilkan oleh Rasul sedikit demi sedikit mengalami pergeseran nilai.
"Jangankan 1.400 tahun lalu, 100 tahun saja sudah ada perubahan apalagi sudah 1.400 tahun," imbuhnya.
An-Nadzir mengeklaim kelompok mereka sebagai komunitas pilihan yang akan mengembalikan kehidupan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Bagaimana warga sekitar merespons jemaah An-Nadzir?
Di tengah arus perubahan sosial, Jemaah An-Naris terlihat telah menjalin hubungan harmonis dengan warga sekitar perkampungan mereka.
Lokasi perkampungan Mukmin An-Nadzir berada di Lette. Di sana, mereka hidup berdampingan dengan warga setempat.
Salah satu warga, Kartini, mengaku tak keberatan dengan keberadaan perkampungan An-Nadzir di kampungnya.
“Kita tidak merasa terganggu sejak mulai dari pertama mereka datang tahun 2000,” kata ibu rumah tangga berusia 29 tahun itu.
“Tidak ada yang sampai mengganggu juga, karena warga An-Nadzir sama seperti kita,” ujarnya kemudian, seraya menambahkan bahwa warga setempat telah “akrab” dengan jemaah An-Nadzir.
Senada dengan Kartini, Baso Sewang mengaku selama ini dapat hidup berdampingan dengan jemaah An-Nadzir, meski ada perbedaan cara pandang dan keyakinan.
"Masalah keyakinan, agama itu biasa, jadi tidak ada saling menjelekkan,” kata Baso, kepala desa setempat.
Dia pun tak mempermasalahkan perbedaan waktu ketika menjalani awal puasa Ramadan dan merayakan Hari Raya Idulfitri.
Pada tahun-tahun sebelumnya, jemaah An-Nadzir biasa mengawali Ramadan – dan Hari Raya Idulfitri – lebih dulu dari umat Islam pada umumnya.
“Kita secara umum tidak ada masalah, karena yang terpenting saling menghargai, itu saja," tegas Baso.
"Apalagi kita sama-sama orang Islam,” ujarnya kemudian.
Mengapa sidang isbat ditiadakan dan apakah masih relevan?
Sekali lagi, umat Islam Indonesia kemungkinan akan memulai ibadah puasanya pada tanggal yang berbeda.
Tetapi pihak Muhammadiyah, yang telah lebih dulu menetapkan awal bulan Ramadan, mengusulkan agar sidang isbat ditiadakan, meski itu jadi acuan bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah dalam menentukan tanggal.
Mengapa penolakan muncul, dan bagaimana seharusnya peran negara dalam hal ini?
Muhammadiyah – organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia – telah menetapkan 11 Maret 2024 sebagai awal Ramadan dan 10 April sebagai awal Syawal di tahun 1445 kalender Hijriah. Tanggal ini didapat dengan menggunakan metode hisab atau penghitungan.
Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan hasil hisab itu sudah cukup untuk menjadi landasan penentuan tanggal, sehingga sidang isbat tak lagi diperlukan.
"Dengan tidak diadakan isbat, lebih menghemat anggaran negara yang secara keuangan sedang tidak baik-baik saja," kata Abdul.
Sidang isbat, yang rencananya akan berlangsung pada 10 Maret, bakal menentukan hari pertama Ramadan versi pemerintah dan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Ini dilakukan dengan mempertimbangkan hisab dan hasil pemantauan hilal di 134 lokasi di seluruh Indonesia.
Kementerian Agama menegaskan sidang isbat penting dilaksanakan sebagai bentuk kehadiran negara untuk menengahi perbedaan metode berbagai organisasi dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.
Sementara itu, NU mengatakan "mustahil" untuk menghapus sidang isbat, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah Islam.
Alasan di balik usulan Muhammadiyah
Sejak Januari, Muhammadiyah telah mengumumkan awal bulan Ramadan dan Syawal, yang masing-masing menandai dimulainya ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri.
Merujuk Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1/MLM/I.0/E/2024, awal Ramadan disebut akan jatuh pada 11 Maret dalam kalender Masehi, sementara awal Syawal bakal jatuh pada 10 April.
Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau penghitungan dalam menentukan tanggal-tanggal tersebut.
Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, Ketum Muhammadiyah
Secara lebih spesifik, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki yang berpatokan pada peredaran bulan dan matahari secara hakiki atau sebenarnya, dengan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal – bulan sabit tipis yang menandai awal bulan baru.
Ini berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyatul hilal (rukyat) atau pemantauan hilal sebagai penentu keputusan akhir. Mudahnya, untuk menentukan awal bulan baru, hilal harus benar-benar terlihat mata.
"Nahdlatul Ulama sejak dulu menetapkan bahwa awal bulan Hijriah, termasuk Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal," tulis NU di situsnya.
"NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir. Karena menurut K.H. Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif."
Di sisi lain, pemerintah Indonesia memakai metode hisab imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Metode ini menggunakan penghitungan hari kalender Hijriah seperti dalam metode hisab, tapi tetap mengandalkan penampakan hilal secara langsung oleh mata untuk penetapan awal bulan.
Lebih lanjut, hilal harus berada di posisi minimal 3 derajat di atas ufuk dengan elongasi – jarak sudut bulan-matahari – minimal 6,4 derajat.
Ini sesuai dengan kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang pertama diterapkan di Indonesia pada 2022.
Kriteria MABIMS itu juga telah dijadikan pedoman oleh NU.
Kementerian Agama rencananya akan menggelar sidang isbat pada 10 Maret, yang bakal dihadiri duta besar negara sahabat, perwakilan organisasi Islam, dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Komisi VIII DPR.
Sidang ini akan membahas posisi hilal berdasarkan hisab dan hasil pemantauan hilal di 134 lokasi di seluruh Indonesia, sebelum menentukan tanggal 1 Ramadan.
Sebagai catatan, meski belum menetapkan secara resmi, Kementerian Agama dan NU sebelumnya telah memprediksi awal Ramadan akan jatuh pada 12 Maret. Ini tercantum dalam kalender Hijriah keluaran Kementerian Agama dan almanak terbitan NU.
Sementara itu, sidang isbat akan kembali digelar pada tanggal 29 Ramadan untuk menentukan awal Syawal atau tanggal hari raya Idul Fitri.
Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menilai bahwa hasil hisab sebenarnya sudah cukup untuk memprediksi awal Ramadan dan Syawal sesuai kriteria MABIMS.
Karena itu, menurutnya, sidang isbat tidak lagi diperlukan, baik untuk menentukan awal Ramadan ataupun Syawal.
"Dengan tidak diadakan isbat, lebih menghemat anggaran negara yang secara keuangan sedang tidak baik-baik saja," kata Abdul.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pun menilai metode hisab sesungguhnya dapat memberi kepastian soal tanggal, bulan, dan tahun baru yang menjadi rujukan seluruh umat Islam.
"Agar pasti dan bisa menjadi rujukan seluruh dunia Islam, sebaiknya untuk mengatasi perbedaan, umat Islam sedunia menyetujui adanya satu kalender Islam global tunggal," kata Haedar, Jumat (8/3).
"Peradaban makin maju, maka umat Islam pun harus maju dalam menentukan awal tanggal, bulan, dan tahun baru Hijriah. Ini utang peradaban dunia Islam."
Respons pemerintah dan NU
Pemerintah menegaskan sidang isbat penting dilaksanakan sebagai bentuk kehadiran negara untuk menengahi perbedaan metode berbagai organisasi Islam di Indonesia dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah di Kementerian Agama, Adib, mengatakan Indonesia bukanlah negara agama ataupun sekuler.
Karena itu, pemerintah tidak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan agama ke individu atau kelompok tertentu, yang kerap memiliki metode dan standar berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriah.
"Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan," kata Adib.
"Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan ber-Lebaran."
Tak hanya di Indonesia, sidang isbat juga dijalankan di negara-negara Arab setelah mendapat laporan hasil pemantauan hilal dari lembaga resmi pemerintah atau individu yang telah mendapat verifikasi.
Bedanya, kata Adib, Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah yang melibatkan seluruh peserta sidang isbat.
"Inilah yang menjadi nilai lebih, bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat," ujar Adib.
Meski begitu, hasil sidang isbat pun tidak wajib diikuti seluruh umat Islam di Indonesia.
Setiap orang berhak memulai ibadah puasa dan merayakan Lebaran sesuai dengan tanggal yang ditetapkan berdasarkan metode yang diyakininya, kata Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
"Untuk menyamakan kriteria ini kan memang belum ketemu. Oleh karena itu, maka sikap yang kita harus bangun adalah sikap saling pengertian, legawa untuk bisa berbeda," kata Ma'ruf pada Kamis (07/03).
"Dan, itu sudah lama kita biasa berbeda. Jadi masing-masing saja."
Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla, sidang isbat adalah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad dan tak terpisahkan dari sejarah Islam. Karena itu, "mustahil" untuk meniadakannya.
Dengan menggelar sidang isbat, kata Ulil, pemerintah Indonesia telah mengambil jalan tengah yang cukup baik.
"Jadi, penetapan tetap di tangan pemerintah, tetapi ada ruang bagi organisasi masyarakat yang mempunyai metode penetapan berbeda untuk tetap diberikan opsi itu," ujarnya.
"Kalau kita tengok di dalam sejarah Islam, ndak ada itu ruang bagi organisasi seperti Muhammadiyah, misalnya, untuk menetapkan tanggal. Itu ndak ada. Ini kreasi Indonesia."
"Jadi, Indonesia sebagai negara membuka peluang untuk adanya perbedaan pendapat dalam penetapan bulan ini oleh organisasi dan tidak masalah," ujarnya kemudian.
Sejarah sidang isbat, sejarah panjang perbedaan
Pada masa penjajahan Belanda, penentuan awal Ramadan diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada pada saat itu, merujuk hasil studi Siti Tatmainul Qulub, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Setelah Indonesia merdeka, barulah penetapan awal Ramadan dan Syawal diserahkan pada Departemen Agama – kini Kementerian Agama – yang terbentuk pada Januari 1946.
Namun, ini tak serta-merta membuat praktik di lapangan seragam, utamanya karena perbedaan pemahaman terkait metode hisab dan rukyat.
Jemaah An-Nadzir perempuan sedang melakukan ibadah salat Iduladha pada 2015.
Departemen Agama lantas membentuk Badan Hisab dan Rukyat (BHR) pada Agustus 1972, dengan maksud menjaga persatuan dan persaudaraan sesama Muslim dalam beribadah dan mempersatukan paham para ahli hisab dan rukyat.
Meski BHR baru terbentuk pada 1972, arsip Departemen Agama menunjukkan sidang isbat telah dilaksanakan sejak setidaknya 1962.
Sejak itu, perbedaan berulang kali muncul antara tanggal yang ditetapkan pemerintah dan Muhammadiyah.
"Perbedaan sering kali terjadi pada saat posisi-posisi hilal awal bulan sedikit berada di atas ufuk, yaitu antara 0-2 derajat," tulis Siti.
Setelah lebih dari setengah abad berdiri, BHR pun hingga kini belum berhasil menyeragamkan sistem hisab dan kriteria penetapan awal bulan.
Menurut Siti, salah satu alasannya adalah karena setiap kelompok aliran Islam "masih mengedepankan ego masing-masing dan tidak mau mengalah untuk kemaslahatan bersama".
"Banyak dari mereka yang masih mengandalkan ego masing-masing dan ingin lebih menonjol daripada yang lain walaupun tidak berbasis objektif ilmiah," tambah Siti.
Ahmad Nurcholish, aktivis dari Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP), mengatakan pengikut militan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memang cenderung menjalankan keputusan organisasi tanpa peduli dengan hasil sidang isbat.
Namun, itu bukan berarti sidang isbat sama sekali tak berguna. Selain menunjukkan kehadiran negara, hasil sidang juga tetap menjadi acuan bagi sejumlah umat Islam, utamanya yang tak tergabung ke dua organisasi besar tersebut, kata Ahmad.
"Kita kan juga tidak bisa mengabaikan, ada masyarakat di luar dua ormas itu kan," kata Ahmad.
Jadi di antara mereka, pasti ada juga yang menunggu penetapan dari pemerintah. (*)
Tags : Islam, Muslim, Masyarakat, Puasa, Indonesia, Ramadan, Agama, Islam, Muslim, Hak minoritas, Masyarakat, Puasa, Indonesia, Ramadan, Agama,