Artikel   2020/09/03 01:09:00 PM WIB

Kisah Pasien Idap Covid-19: 'Saya Tak Tahu Cara Untuk Sembuh'

Kisah Pasien Idap Covid-19: 'Saya Tak Tahu Cara Untuk Sembuh'

MONIQUE JACKSON terpapar Covid-19 pada awal pandemi. Namun enam bulan setelahnya, dia masih belum pulih. Selama masa itu Monique rutin menggambar ilustrasi tentang gejala yang dia alami serta upayanya yang sia-sia untuk mendapat perawatan.

Sekitar satu tahun lalu, Monique Jackson terpesona saat menonton sesi perbincangan Ted mengenai jamur. Jamur, kata pembicara dalam acara itu, adalah 'world wide web' yang sesungguhnya. Dia merujuk pada jaringan yang memungkinkan manusia menjelajah internet. Pembicara dalam sesi Ted itu menyebut jamur memiliki akar di seluruh lapisan bawah hutan. Jaringan akar tersebut dia yakini memungkinkan pepohonan untuk saling menopang.

Saat ini, pada minggu ke-24 bergelut menghadapi Covid-19, Monique terus-menerus memikirkan tentang jamur. Monique diduga menderita penyakit yang disebut "long-tail Covid", sebuah reaksi virus corona yang baru-baru ini mulai diteliti oleh para dokter. Dia jatuh sakit pada Maret lalu dengan menunjukan gejala ringan Covid-19. Namun, gejala itu tidak pernah hilang, bahkan hingga lima bulan kemudian.

Monique mengaku memiliki kepribadian extrovert atau mudah bergaul, dan bisa disebut hiperaktif. Pada saat normal, ia suka olah raga tinju, jiu-jitsu Thailand dan bersepeda 12 mil dari rumah ke kantornya yang berlokasi di sebuah galeri seni di pusat kota London. Namun, semuanya menjadi berbeda ketika virus corona mewabah, dan menginfeksi tubuhnya. Ia menjadi sangat lemah, bahkan untuk menyikat gigi pun membutuhkan energi ekstra. "Saya bukan orang yang malas," katanya. 

Di saat tubuhnya menolak untuk bekerja sama, Monique mengekspresikan sakitnya dan kehidupannya ke dalam buku harian bergambar yang diunggah ke Instagram-nya. Melalui buku harian itu, Monique juga terhubung dengan orang lain yang mengalami nasib yang sama, yang disebut "long-haulers" atau pasien yang mengalami gejala Covid dalam jangka waktu lama.

Banyak hal tentang virus corona yang masih membingungkan para dokter, dan Covid "Long Tail" adalah salah satu ciri pandemi yang paling membingungkan. Mengapa di beberapa kasus, gejala virus berlangsung dalam waktu lama bahkan tidak hilang, padahal gejawal awalnya ringan?

Monique kembali bercerita, ia dan seorang temannya jatuh sakit setelah mereka melakukan perjalanan menggunakan kereta api. Dua minggu pertama ia merasa sangat lemas - sangat lelah bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Saat itu cuaca di London masih dingin, namun ia hampir tidak berpakaian dan menaruh sekantong es di kepalanya agar tetap dingin. Pada minggu kedua dia berjuang untuk bernapas. Ambulans datang tetapi mengatakan kadar oksigennya baik-baik saja. "Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya mengalami serangan panik, karena menunjukan gejala Covid."

Monique tidak diuji tes Covid-19 saat itu karena, pada Maret, Inggris hanya memiliki sejumlah kecil alat tes yang digunakan untuk kasus mengancam nyawa. Monique kemudian mencoba merawat dirinya sendiri dengan pengobatan alami. Ketika memakan bawang putih dan cabai mentah, semua begitu aneh karena tidak ada rasanya. Dan, dia lelah. "Saya tidak punya tenaga untuk mengirim pesan kepada lebih dari dua orang setiap hari," katanya.

Setelah dua minggu, beberapa gejala hilang tetapi muncul kembali gejala baru. "Saya merasakan cubitan di dada saya yang berubah menjadi seperti terbakar api," katanya. "Rasanya seperti sakit gigi di sisi kiri. Saya pikir saya mengalami serangan jantung". Monique segera menelepon layanan darurat Inggris dan disarankan untuk meminum parasetamol. Mereka mengatakan obat itu akan membuat rasa sakit hilang meskipun mereka tidak sepenuhnya mengerti mengapa bisa.

Parasetamol itu bekerja di tubuhnya. Setelah rasa sakit di dada mereda, ternyata perut dan tenggorokannya mulai terasa "terbakar api" ketika dia makan. Dokter mengira dia menderita maag. Saat itu belum diketahui bahwa masalah lambung merupakan salah satu gejala dari infeksi virus corona. 

Sekitar enam minggu kemudian, Monique mulai mengalami sensasi terbakar saat buang air kecil dan nyeri di punggung bawah. Dokter memberinya tiga kali obat antibiotik yang berbeda sebelum memutuskan bahwa penyakitnya bukan disebabkan infeksi bakteri. "Itu hanya sebuah rasa sakit," katanya. "Yang kemudian akan hilang begitu saja."

Di sisi lain, Monique memutuskan berhenti menggunakan media sosial karena takut dengan pemberitaan dan informasi yang membuatnya menjadi cemas dan mempengaruhi pernapasannya. Monique yang mengaku pecandu berita terpaksa menahan diri. Dia takut jika membuka media sosial akan melihat unggahan foto mayat dan bahaya virus corona.

Kemudian, dia menemukan penghiburan dengan belanja online, tapi lagi lagi, saat memasukkan ukuran gaun ke laman pencarian, yang muncul malahan cerita horor virus corona. "Saya sebenarnya takut membuka Google," katanya. Setelah beberapa saat, dia meminta seorang teman untuk memberi tahu dia tentang apa yang telah terjadi di dunia.

Hal pertama yang dia pelajari adalah bahwa lebih banyak orang dari latar belakang etnis kulit hitam dan minoritas yang meninggal. Dan, Monique adalah ras campuran, akhirnya dia merasa semakin takut. "Rasanya seperti film horor di mana semua orang kulit hitam mati," katanya.

Suatu hari ketika Monique berbaring di kamar mandi mendengarkan podcast, dua pembawa acara kulit putih dengan santai menyebutkan bahwa banyak orang Afrika-Amerika sekarat karena Covid-19. Dia langsung duduk tegak mengambil teleponnya untuk mengirim email ke kerabat kulit hitam di AS. Dan dia terkenang fakta bahwa mayoritas orang yang dia andalkan akhir-akhir ini berasal dari kelompok minoritas - seperti para pengemudi Uber yang membawanya ke tempat pertemuan, pekerja rumah sakit, orang-orang di toko makanan. "Setiap orang yang saya lihat dalam perjalanan Covid saya," katanya.

Gambar kunjungan rumah sakit

Minggu demi minggu berlalu, beberapa gejala berubah menjadi gejala lain, dan menjadi semakin aneh. Seperti rasa sakit di leher disertai dengan suara aneh di telinga seperti keripik diremukkan. Lalu, tangannya tiba-tiba membiru dan harus segera direndam air hangat agar darah kembali mengalir. "Saya terus menelepon [dokter] tentang gejala baru, namun saya selalu ditanya, 'Bagaimana kesehatan mental Anda?'" katanya.

"Implikasinya adalah bahwa gejala-gejala ini tidak dapat diobati karena bukan rasa sakit yang nyata."

Lalu, dia mengalami ruam aneh di sekujur tubuhnya atau jari kakinya menjadi merah cerah, dan terkadang dia terbangun dengan rasa sakit menusuk di berbagai bagian tubuhnya. Monique bercerita, pada suatu malam, ketika dia berbicara dengan temannya di telepon, dia merasakan sisi kanan wajahnya jatuh. Dia langsung pergi ke cermin tapi wajahnya terlihat normal.

Dia juga merasakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Terkadang terasa seperti seseorang memegang kakinya dengan tangan atau rambut diseret di wajahnya - bahkan di dalam mulutnya. Monique telah mencoba berkali-kali menjelaskan apa yang terjadi pada dokter. Namun ia hanya diberikan waktu lima hingga 10 menit dan itu tidak cukup. "Jika mereka berkata kepada saya, 'Lihat, Anda terkena Covid, dan kami tidak tahu bagaimana menangani ini,' maka itu akan baik-baik saja," katanya.

Tubuhnya gemetar saat mencoba merangkum bagaimana dia diperlakukan. Dia enggan mengkritik staf kesehatan yang telah memberikan perawatan terbaik, tetapi dia mengatakan bahwa sistem tidak berfungsi untuk orang-orang di posisinya. Hal itu terjadi sembilan minggu sebelum Monique bisa mendapatkan tes untuk virus corona. Selama waktu itu, dia takut menularkan virus ke orang lain.

Nasihat pemerintah mengatakan untuk mengisolasi selama tujuh hari atau sampai gejala hilang - tetapi bagaimana jika mereka tidak pernah hilang? pikirnya. Teman-teman sekamarnya telah merancang sistem untuk menghindari kontak di dalam rumah - mereka masing-masing memiliki tempat di lemari es. Kemudian mereka akan pergi ke kamar untuk makan sendiri.

Suatu hari dia pergi mencari udara segar di taman dekat rumahnya dan seorang anak kecil berlari di dekatnya. Monique melompat untuk menjauh dari balita itu. Sang ibu sangat marah. "Anak itu tidak ada di dekatmu!" dia berkata. Monique mencoba menjelaskan, dia tidak takut tertular melainkan takut menularkan virus. Lalu, ibu itu menjawab "orang yang sakit harus tinggal di rumah".

Monique berharap buku hariannya akan membantu orang untuk memahami bahwa tidak semua hal selalu sesederhana itu. Ketika beberapa teman berusaha keras untuk membantu, Monique menyadari bahwa terdapat orang lain yang merasa muak dan berpikir tidak masuk akal. "Seseorang mengatakan saya menjadi terobsesi dengan Covid," katanya.

Akhirnya, pemerintah Inggris membuka pengujian kepada siapa pun yang menunjukkan gejala. Dia sangat senang, tetapi ada kendala karena harus menggunakan mobil dan ia tidak memilikinya. Lalu, seorang teman memberinya tumpangan. Monique tidak akan melupakan kebaikan temannya itu yang mempertaruhkan diri untuk menemaninya. Di tempat tes, ia mengaku ternyata tidak dilayani oleh perawat dan dokter malah oleh tentara. Hasilnya adalah negatif.

Ia lega dengan hasil itu karena tidak akan menulari teman dan keluarganya, namun di sisi lain ia tidak merasa lega dan membaik. "Perasaan menular secara psikologis sangat sulit untuk dihilangkan," tulisnya dalam buku hariannya. Setelah empat bulan pertama kali merasa sakit, Monique memutuskan untuk pindah dari tempat tinggalnya di London Timur dan berada di sekitar keluarga yang dapat membantunya. Pada bulan Juli, napasnya membaik, bisa menaiki tangga dan mengatur nafas," ungkapnya.

Tetapi saat ia bersih-bersih kamar dengan alat pengisap debu, Monique jatuh pingsan karena sesak napas. Akibatnya, ia terbaring selama tiga minggu.

Monique tidak tahu bagaimana kondisinya akan membaik

"Banyak orang mengatakan kepada saya, 'Monique, Anda akan bersepeda lagi dan akan dapat bertinju dan dapat datang ke rumah saya ketika merasa lebih baik.' Tapi bagi saya, itu semua tidak terlalu membantu. "

Dokter masih belum tahu bagaimana menangani orang dengan gejala yang tidak kunjung hilang ini. "Ini tentang penerimaan terhadap apa yang saya bisa dan tidak bisa lakukan dan hanya bersikap fleksibel karena terkadang Anda memiliki rencana tapi tubuh tidak bisa," kata Monique.

Dia telah mendapatkan terapi kesehatan mental yang memberinya pedoman dalam mengelola kondisi kesehatannya saat ini dan dia berkampanye agar dukungan ini juga tersedia untuk semua orang oleh layanan kesehatan Inggris. Satu hal yang tidak pernah Monique duga adalah penyakit itu telah membuatnya berkomunikasi dengan para penggemar jamur lainnya.

Jamur memiliki khasiat antivirus, jelasnya di salah satu postingannya. Tapi mereka juga bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih indah. Jamur itu adalah buah miselium - sebuah jaringan benang bawah tanah, yang bersentuhan dengan akar pohon di dekatnya. Miselium menukar nutrisi dengan akar ini.

Banyak ahli jamur percaya bahwa miselium membantu pohon untuk berkomunikasi satu sama lain, mengambil nutrisi dari satu pohon sehat ke pohon lain yang sakit. Miselium itu mengingatkan Monique pada upaya teman-teman yang membawa makanan ke pintu kamarnya bulan demi bulan. Orang-orang yang sangat dia andalkan sejak dia sakit. "Terisolasi di kamar saya," dia memposting di buku harian Instagram-nya, "Saya merasa lebih terhubung dari sebelumnya."

Sumber: BBC News Indonesia

Tags : Virus Corona, Kisah Pasien Idap Covid-19,