Sejarah   2023/08/16 15:56 WIB

Kisah Tragis Perempuan Peranakan Tionghoa yang Berjuang 'Mati-matian' untuk Indonesia, 'Tapi Nasibnya Terpuruk Tergilas Zaman'

Kisah Tragis Perempuan Peranakan Tionghoa yang Berjuang 'Mati-matian' untuk Indonesia, 'Tapi Nasibnya Terpuruk Tergilas Zaman'
The Sin Nio Perempuan Peranakan Tionghoa, pejuang Kemerdekaan asal Wonosobo, Jawa Tengah.

SEJARAH - Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tak hanya berasal dari golongan laki-laki pribumi saja. Ketika Belanda yang menginginkan kembali menancapkan bendera triwarnanya di Bumi Pertiwi, semua rakyat Indonesia berjuang bersama—tanpa memandang gender, keturunan, dan agama.

Kebanyakan perempuan memberi dukungan dan bantuan kepada para pejuang dari logistik. Sebab, lingkungan perjuangan garis terdepan bernuansa patriarkis pada masanya.

Namun, ada segelintir perempuan Tionghoa, demi cintanya untuk negeri ini, bersedia tampil di garis depan perjuangan fisik dan bergerilya dengan para pejuang lainnya.

Demi dapat bergabung dengan gerilyawan, The Sin Nio merubah identitas administrasinya sebagai laki-laki dengan nama Mochamad Moeksin. Sehingga dia pun dapat bergabung dengan pejuang lainnya dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18, demikian berdasarkan laporan majalah Sarinah edisi 6 Agustus 1984. Majalah itu koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan.

Perempuan asal Wonosobo tersebut, menurut keterangan cucunya, Rosalia Sulistiawati seperti dirilis National Geographic Indonesia, ia turut berperan di bidang logistik dan persenjataan. Setelah menjadi bagian logistik, ia dipindahkan ke bagian perawat.

The Sin Nio (baca: Teh Sin Nyo) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang dijuluki 'Mulan Indonesia'.

Perempuan peranakan Tionghoa ini mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin demi bisa ikut bergerilya menggunakan parang [golok] melawan tentara Belanda. 

Entah berapa orang belanda yang mati ditangan goloknya, tapi pada peristiwa itu Teh Sin Nyo memang diketahui lihai bermain golok dan banyak memakan korban dipihak Belanda.  

Tak banyak gambaran secara detail mengenai sosok The Sin Nio pada masa perjuangan kemerdekaan.

Sejak 1973 ia meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai veteran. Ia baru mendapatkan pengakuan sebagai veteran pada 15 Agustus 1981, berdasarkan Surat Keputusan yang ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo. Akan tetapi, pengakuan tersebut tak beriringan dengan cairnya hak tunjangan veterannya.

“Oma terlunta-terlunta sampai menempati rumah di pinggir rel, saya pernah ke sana sama Papa. Seperti kontrakan gitu. Kalau kereta lewat rumahnya bergetar,” kenang Rosalia.

“Hanya papa saya yang sering berkunjung ke Jakarta, nengokin Oma. Kalau ada papa ada urusan di Jakarta sering menyempatkan ketemu Oma.”

Ia menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada 1985 di usia 70 tahun di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta.

“Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!” ucap The Sin Nio pada majalah Sarinah.

Ho Wan Moy (Tika Nurwati)

Begitupun Tika Nuwrwati sejak muda, telah terlibat perjuangan kemerdekaan di Jawa Tengah. Ia pun mendapat penganugerahan Bintang Gerilya dan Bintang Veteran pasca kemerdekaan.

Keberaniannya, diungkap oleh Lisa Suroso dalam Suara Baru edisi Maret-April 2008 berkat pejuang yang datang padanya, Herman Sarens Soediro dari Kompi Tentara Pelajar Siliwangi.

Tika Nurwati (Ho Wan Moy)

“Kamu jangan takut. Walaupun kamu perempuan dan Tionghoa, kamu harus berani,” ucap pejuang muda itu pada Ho Wan Moy.

Dorongan itulah yang membuatnya ikut berperan dalam gerilya. Ia sempat menjadi para pejuang ke tempat persembunyian senjata di Banjar.

Kemudian bergabung Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia untuk merawat pejuang yang terluka, mengurusi logistik tentara, dan merangkap sebagai mata-mata.

Kisahnya menjadi mata-mata bermula dari habisnya persediaan singkong dan beras milik keluarganya setelah disumbangkan kepada gerilyawan.

Ia terpaksa harus ke kota melewati pos-pos Belanda untuk belanja. Beruntung ia tak dicurigai.

Sesaat melewati pos-pos Belanda, ia juga mencatat jumlah tantara yang berjaga.

Ia mengungkapkan bila tentara yang berjaga adalah pasukan Belanda Hitam (sebutan untuk tentara KNIL pribumi saat itu), dan sedikit yang Belanda putih.

Setelah melewati perjalanan yang menegangkan, ia langsung memberikan data-datanya kepada Soediro Wirjo Soehardjo—ayah dari Herman—yang menangani masalah logistik Batalyon IV Resimen XI Divisi III Siliwangi.

Desember 1947, Ho Wan Moy dipercaya oleh Soediro untuk dititipkan rombongan perempuan ketika kampungnya hendak digempur.

Ia mendapat kabar bahwa orang Tionghoa di Banjar, Jawa Barat, menjadi sasaran pembantaian di tengah-tengah suasana kacau.

Ia juga menyampaikan kesaksiannya saat nekat ke kota untuk mencari Soediro yang bergerilya. Ia menemukan jasad bapak—panggilannya untuk Soediro—tak bernyawa tak jauh dari jenazah pamannya yang juga turut berjuang. Malam itu juga, keduanya dimakamkan Ho Wan Moy bersama ibu dan neneknya.

Namun kembali mengenang masa hidup Teh Sin Nyo yang di usia senja, Ia terlunta-lunta dalam memperoleh pengakuan atas masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.

Sin Nio sempat menjadi gelandangan di Jakarta tanpa tempat tinggal yang jelas, sebelum akhirnya menempati gubuk liar di bantaran rel kereta.

Belakangan ini, Komnas Perempuan mewacanakan Sin Nio menjadi seorang pahlawan nasional, sementara keturunannya mengatakan "nenek sangat mencintai negara ini" dan status pahlawan atau pejuang kemerdekaan Indonesia "sudah tidak penting lagi".

Akan tetapi, menurut pemerhati budaya Tionghoa, kisah-kisah seperti ini perlu terus diangkat kembali ke permukaan sebagai upaya "memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia". 

Pertengahan 1983, Rosalia Sulistiawati begitu riang bisa menginjakkan kaki di Jakarta untuk pertama kalinya. Bocah tujuh tahun itu akhirnya bisa menyaksikan hiruk pikuk orang dan kendaraan berlalu lalang menggilas aspal hitam yang mulus.

Rosalia saat itu datang berempat bersama kakaknya, Caecilia Rosy Susilowati, adiknya, dan ayahnya, Tjoa Bing Liang/Christophorus Suyono. Yang disebut terakhir adalah anak tertua The Sin Nio.

Langkah mereka berhenti di sebuah gubuk liar yang bangunannya didominasi papan kayu. Tempat tinggal yang Rosalia sebut "bedeng" itu berada pinggiran rel kereta, di kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat.

Dari balik pintu, perempuan tua yang rambutnya sudah keperakan, menyambut dengan senyum. Rosalia untuk pertama kalinya dalam hidupnya bertemu dengan neneknya, The Sin Nio.

Perasaan Rosalia saat itu campur aduk. Ada takut, heran dan aneh. Sampai ketika perempuan tua kurus yang ia panggil "Oma Sin Nio" mendekap erat - perasaan Rosalia menjadi lebih tenang.

"Ya, senang karena saya boleh dibilang tidak pernah bertemu," kenang Rosalia yang tahun ini berusia 49 tahun.

The Sin Nio

Sin Nio tinggal di bedeng berukuran 2x3 meter "seperti kontrakan, tapi tidak selayaknya rumah". Di ruangan itu terdapat tempat tidur sekaligus dapur. Bagian atas ruangan ini juga ditempati oleh orang lain yang ketika berbisik bisa terdengar sampai bawah.

Menginap beberapa malam di bedeng ini Rosalia tidak pernah bisa tidur nyenyak, karena setiap kali kereta api lewat seluruh bangunan bergetar seperti mau runtuh.

Jika ingin mandi cuci kakus, semua penghuni gubuk liar di sepanjang bantaran rel kereta ini harus keluar menuju kamar mandi umum.

Rosalia mengatakan masih punya ingatan samar tentang Sin Nio: Wajah penuh kerutan, rambut pendek, bertubuh kecil, dan berkulit hitam.

"Untuk ukuran orang Tionghoa, Oma [berkulit] hitam. Mungkin karena memperjuangkan pensiunan itu, Oma jadi lebih banyak di jalan, kepanasan," kata Rosalia.

Sementara itu, Rosy, kakak Rosalia, masih ingat betul dengan keseharian Sin Nio yang lebih sering menggunakan kain sarung.

"Tapi kalau lagi keluar dari rumah, baru pakai celana panjang," katanya, sambil menambahkan.

"Kita waktu kecil nggak terlalu banyak keinginan tahunya itu. Kalau kami dulu, boleh dibilang rasa penasaran, tapi nggak berani bertanya. Paling yang saya ingat, cuma tanya kok tinggalnya di tempat begini?" kata cucu tertua Sin Nio itu.

Sejak 1973 - tahun Rosalia lahir dan Rosy masih berusia satu tahun - Sin Nio memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah.

Bertahun-tahun, ia berjibaku dengan birokrasi untuk memperoleh status veteran perang sekaligus uang tunjangan.

'Mengubah nama jadi laki-laki, modal golok lawan Belanda'

Jauh sebelum itu, pada era revolusi, kampung halaman Sin Nio di Wonosobo tidak luput dari target serangan Belanda.

"Oma ini awalnya ikut membantu di bagian logistik, membantu menyediakan makan untuk prajurit-prajurit. Jadi coba berbaur dengan orang-orang pribumi untuk membantu perbekalannya," kata Rosalia.

Tapi, nampaknya Sin Nio tidak puas hanya mengambil peran di dapur, sementara pejuang lainnya menyabung nyawa melawan Belanda.

"Yang saya dengar, setelah ikut angkat senjata itu, Oma menjadi laki-laki. Penampilan selayaknya prajurit laki-laki."

"Rambutnya pendek. Namanya jadi sudah bukan jadi Oma Sin lagi, tapi jadi Mochamad Moeksin," kata Rosalia yang mendengar cerita dari ayahnya.

Disadur dari artikel Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Sin Nio menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18. 

Soal nyali, jangan ditanya. Sin Nio hanya bermodal golok, tombak atau bambu runcing untuk melancarkan serangan gerilya. Ia baru memiliki senjata api jenis Lee-Enfield (LE) setelah berhasil merampasnya dari pasukan Belanda.

Sin Nio juga pernah ditempatkan di bagian medis untuk merawat tentara-tentara yang terluka.

"Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik," kata Azmi yang mengumpulkan dokumen tentang Sin Nio termasuk dari Majalah Sarinah edisi Agustus 1984.

Pada 1976, Sin Nio akhirnya memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Surat pengakuan itu dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta.

Namun, SK sebagai veteran perang tidak diiringi dengan hak pensiun. Bertahun-tahun, Sin Nio hidup menggelandang karena perbekalan sudah habis.

Uang pensiun sebesar Rp28.000/bulan baru cair beberapa tahun kemudian. Sin Nio memilih untuk hidup di gubuk liar, dan sebagian uang pensiunannya dikirim ke keluarga, menurut Azmi.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

"Mak Sin sedang memperjuangkan hak-hak dia supaya dapat rumah. Paling kadang cerita, belum ada progres, masih diajukan, masih belum dapat info. Cuma itu saja," kata Rosy.

'Mulan Indonesia'

Rosy mengaku teringat tokoh Mulan dalam film ketika mengenang sosok mendiang neneknya.

"Jadi ingat nenek. Nenek dulu seperti itu," katanya.

Menurut Rosy, tindakan neneknya yang "terjun langsung ke kawasan laki-laki" untuk bertempur bukanlah hal umum bagi perempuan dalam tradisi Tionghoa.

"Hal sesuatu yang dibilang tabu kalau perempuan itu ya. Saya melihat [umumnya] perempuan [Tionghoa] lebih kayak Jawa lah, tradisinya. Mungkin nenek agak berbeda sedikit," kata Rosy.

Perubahan nama dari The Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin juga kerap dibahas dalam keluarga besar.

"Kadang kan kalau nama Tionghoa [yang diubah] ke nama Indonesia sedikit disamakan. Misalkan Liang jadi Liana. Karena namanya Sin Nio, dia ambil namanya Moeksin. Bayangan saya seperti itu. Agar bisa salah satunya, ikut perang," tambah Rosy.

Membayangkan sulitnya menjadi pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa

Baik Rosy dan Rosalia meyakini, Sin Nio kesulitan memperoleh pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia karena statusnya sebagai peranakan Tionghoa. Padahal, Sin Nio begitu juga pejuang kemerdekaan lainnya yang terlibat perang melawan Belanda, rela mati demi negara.

"Ada kebanggaan, tapi sedih saya punya Oma sampai harus seperti ini. Yang ternyata hanya ingin pengakuan dari negara yang kayaknya susah, karena keturunan Tionghoa. Jadi mungkin beda perlakuan," kata Rosalia.

Keyakinan beda perlakuan terhadap veteran perang keturunan Tionghoa ini berdasarkan pengalaman Rosa semasa sekolah di era Orde Baru, yang kerap mendapat perundungan verbal: "Elu China perusak bangsa." Kata-kata itu, diakui Rosa, terngiang sampai sekarang.

"Kalau lihat itu sedih. Di negara sendiri, di mana saya dilahirkan di Indonesia, saya mengakui Pancasila, saya menghormati Merah-Putih. Tapi oleh beberapa teman, saya diperlakukan seperti itu."

"Bagi saya yang di-bully di sekolah, diperlakukan berbeda saja sudah sedih. Apalagi Oma yang istilahnya memperjuangkan haknya bertahun-tahun. Itu nggak kebayang sedihnya," kata Rosalia.

Diskriminasi juga dialami Rosy. Ia bercerita tentang sulitnya mendapat pendidikan hingga harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

"Itu urusnya nggak gampang. Itu lebih dari lima tahun, baru dapat surat SBKRI-nya. Menjelang lulus kuliah baru dapat seperti buku paspor. Saya masih pegang," kata Rosy yang lahir di Indonesia.

"Sebagai cucu saja saya diperlakukan seperti itu, apalagi beliau. Zaman dulu kan nggak terlalu dipedulikan. Jadi, itu salah satu alasan mengubah nama dari Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin. Bisa jadi," kata Rosy.

Masuk dalam wacana pahlawan nasional

Pada November 2022 silam, Komnas Perempuan mendorong nama The Sin Nio sebagai pahlawan nasional. Komnas Perempuan ingin mengubah persepsi yang melekat selama ini, bahwa "sejarah tentang kepahlawanan hanya milik laki-laki".

Menurut catatan Komnas Perempuan, sampai 2022 lalu, tokoh yang memperoleh penghargaan pahlawan nasional berjumlah 200 orang. 185 laki-laki dan 15 perempuan.

"Keteladanan untuk diwariskan untuk bangsa ini bukan sekadar oleh laki-laki atau hanya sekadar pergerakan perjuangan, pergolakan fisik, tapi kami memaknai peran positif para perempuan sebagai pelopor perubahan," kata anggota Komnas Perempuan, Dewi Kanti pada media.

Salah satu sosok yang dipilih Komnas Perempuan sebagai pahlawan nasional adalah The Sin Nio karena semangat nasionalismenya sebagai perempuan, yang rela mengubah identitasnya sebagai laki-laki untuk turun gunung melawan penjajahan.

"Kita mengapresiasi apa yang beliau upayakan sebagai sebuah daya juang, mencintai negerinya," tambah Dewi.

Namun, Dewi juga tak bisa menutup mata keberadaan polemik klasik di publik ketika nama The Sin Nio dimunculkan: kelayakan pribumi atau nonpribumi mendapat gelar pahlawan nasional.

"Itu jadi isu sensitif, tapi bagi kami yang terpenting adalah pribumi atau nonpribumi yang diwacanakan publik, kami memaknai bahwa semua warga negara Indonesia yang hidup berpuluh tahun di Indonesia ini juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam bernegara sesuai konstitusi."

"Bukan berarti kita memprioritaskan yang nonpribumi, tapi siapa pun yang kita bisa dorong dan apresiasi apa yang sudah ditorehkan oleh bangsa ini ya kita dukung," kata Dewi.

Kisah lain yang tenggelam

Kisah The Sin Nio hanya salah satu dari banyak memori lama tentang bagaimana peran keturunan Tionghoa menjelang kemerdekaan Indonesia.

Menurut pengamat budaya Tionghoa, Agni Malagina, banyak warga keturunan Tionghoa yang mengambil peran-peran kecil tapi signifikan pada periode Agresi Militer Belanda pertama dan kedua.

"Menurutku, semua peran orang Tionghoa yang lalu-lalu banyak tidak tercatat. Nggak ada yang mengingat. Akhirnya habis saja ditelan waktu. Dikubur bersama mereka cerita itu," kata Agni.

Dalam beberapa wawancaranya dengan orang tua keturunan Tionghoa yang mengalami masa-masa perang, mereka mengambil peran di dapur umum untuk menyediakan ratusan nasi bungkus tentara Indonesia. Ada pula yang bertugas sebagai perawat dan dokter, serta menyelundupkan senjata dan perbekalan bagi tentara Indonesia.

"Bawa truk, bawa selundupan senjata untuk tentara, atau selundupan makanan atau logistik dll. Menyeberang dari kantong Republik masuk ke kantong Belanda. Kegiatan kamuflase perang, dia menyabung nyawa di garis depan," kata Agni.

Oleh karena itu, nasionalisme mereka tidak perlu dipertanyakan, kata Agni.

Namun, sejarah ini tak banyak diangkat dalam riset atau penelitian. Sumber-sumber sejarah dari warga keturunan Tionghoa "lebih nyaman menutup cerita masa lalunya karena diskriminasi yang pernah mereka alami. Trauma yang mereka alami."

Mengangkat kembali cerita-cerita pejuang kemerdekaan dari keturunan Tionghoa bukan sekadar menekan stigma warisan Orde Baru terhadap warga keturunan Tionghoa yang kerap dianggap bukan bagian dari Indonesia.

Tapi juga memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain, kata Agnia.

"Saya melihat, ya memang sudah waktunya memberi tempat layak, penghormatan, penghargaan kepada manusia-manusia Indonesia yang berjasa untuk negara," katanya.
Mendapat 'tempat terhormat' di gim MOBA Lokapala

Ketika The Sin Nio didorong menjadi pahlawan nasional, sosoknya sudah mendapat "tempat terhormat" di gim arena pertarungan daring multipemain (MOBA) Lokapala: Saga of The Six Realms.

Lokapala adalah gim e-sport pertama di Indonesia yang dikembangkan oleh Anantarupa Studios sekaligus sebagai publisher. Lokapala dibuat berdasarkan riset budaya Nusantara dengan karakter tokoh mitologi dan sejarah dengan menganut nilai-nilai yang disebut "Astabratha" - seni kepemimpinan yang merujuk pada delapan simbol alam bumi, laut, langit, bintang, matahari, bulan, angin, dan api.

Dua tahun lalu, pihak gim menciptakan karakter penembak jitu bernama Nio berjuluk 'Satu di Antara Seribu' yang terinspirasi dari The Sin Nio.

Lead IP Project Anantarupa Studios, Ninoi Kiling, mengatakan pihaknya ingin mengenalkan tokoh-tokoh penting sejarah yang selama ini tidak muncul ke permukaan.

"Sin Nio ini kan tragis kisahnya, ia berjuang bukan perempuan yang biasa-biasa saja. Datang ke medan perang bertaruh nyawa. Di masa tuanya menggelandang di Jakarta, tidak langsung mendapat pengakuan veterannya… Jadi ini sebagai bentuk penghormatan," kata Ninoi.

Selain itu, melalui pembuatan karakter Sin Nio dalam Lokapala ini, Ninoi mengatakan ingin mengenalkan kepada para pemain - umumnya anak-anak muda - untuk mengenali sendiri tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia.

"Mereka akan cari tahu sendiri, sejarah figur yang tidak ada di buku-buku sekolah," kata Ninoi.

The Sin Nio

"Orang bilang, tokoh-tokoh yang kita kenal itu kan karena narasi kekuasaan saat itu. Tapi ada banyak sekali tokoh-tokoh yang mungkin tidak dikenal, tapi berjasa. Jadi mau bilang, kalau suatu saat nama kita tidak ada di buku sejarah, nggak usah khawatir, kalian tetap bisa jadi hero dengan cara kalian sendiri," tambah CEO Anantarupa Studios, Ivan Chen.

Ivan Chen menambahkan gim Lokapala berisi 33 karakter yang berasal dari mitologi, tokoh sejarah seperti Sin Nio dan antropomorfik Nusantara akan menjadi medium pengenalan budaya asli Indonesia ke negara-negara lainnya.

Kembali pada cerita Rosalia dan Rosy tentang neneknya, The Sin Nio. Mereka sudah tidak menuntut apa-apa lagi dari negara atas kiprah Sin Nio di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Oma saya menjadi pahlawan nasional atau tidak, buat saya hal itu tidak penting… Apa yang diperjuangkan oleh Oma saya selama ini Oma tidak menikmati hasilnya. Sampai beliau meninggal, dia tidak mendapatkan apa yang dia perjuangkan.

Ya sudahlah. Saya butuh, kalau memang Oma ingin didoakan ya didoakan saja. Semoga Oma di alam sana bahagia," kata Rosa.

Rosy ikut menimpali. Semangat The Sin Nio yang berakhir dengan sepi dalam mencintai Tanah Air Indonesia akan selalu dikenang.

"Dengan melihat nenek berjuang seperti itu. Maka negara ini harus lebih dicintai lagi. Ternyata memang nenek sangat mencintai negara ini, jadi apa yang bisa nenek perjuangkan ya, harus kita cintai sebagai salah satu cucunya," kata Rosy. (*)

Tags : the sin nio, pejuang perempuan peranakan tionghoa, pejuang tionghoa hidup tragis, the sin nio berjuang mati-matian untuk indonesia, nasib the sin nio terpuruk tergilas zaman ,