JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil yang menamai diri mereka Kawal Pemilu Bersih menyiapkan gugatan terhadap pasal-pasal dalam Peraturan KPU yang mengatur syarat calon legislator dan calon senator - yang pernah dipenjara karena korupsi.
Menurut koalisi terdapat pasal-pasal yang melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai bekas narapidana korupsi menjadi peserta pemilu, meskipun belum melewati masa jeda lima tahun.
Lembaga antikorupsi ICW menyebut aturan ini sebagai langkah "kemunduran luar biasa dalam hal penjaminan nilai integritas pemilu 2024".
Di sisi lain, KPU mengatakan aturan tersebut sudah melewati mekanisme uji publik, dan mempersilakan warga untuk menggugatnya ke Mahkamah Agung.
"Sedang kita siapkan, mudah-mudahan dalam pekan ini bisa kita ajukan gugatan ke Mahmakah Agung," kata Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil seperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (05/06).
Gugatan yang dimaksud Fadli adalah uji materi Pasal 11 Ayat (6) Peraturan KPU No. 10/2023 yang mengatur syarat bakal calon anggota DPR hingga DPRD, dan Pasal 18 Ayat (2) Peraturan KPU No. 11/2023 tentang bakal calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kata Fadli, pasal-pasal peraturan KPU yang akan digugat ke MA ini pada prinsipnya "menabrak putusan MK" yang melarang eks-narapidana menjadi kontestan pemilu, kecuali sudah melewati apa yang disebut "masa jeda" selama lima tahun setelah bebas murni dari penjara.
Dalam ketentuan kedua PKPU tersebut, eks-koruptor bisa menjadi peserta pemilu selama yang bersangkutan mendapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak berpolitik. Persoalannya, hukuman tambahan berupa pencabutan hak berpolitik oleh pengadilan hanya berlaku kurang dari lima tahun.
"Jadinya, orang yang berstatus mantan narapidana yang mendapat sanksi pencabutan hak politik, berapa pun sanksi pencabutan hak politiknya, mau enam bulan atau setahun, dia nggak kena sanksi masa jeda itu," kata Fadli.
Berdasarkan hasil pantauan ICW pada 2021, rata-rata hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik koruptor berada pada rentang 1,5 tahun - 3,5 tahun.
Fadli selama ini menjadi advokat yang kerap bersidang di MK, menggugat pasal-pasal terkait dengan syarat caleg dari eks koruptor. Terakhir, ia memenangkan gugatan syarat eks koruptor untuk pencalonan DPD.
Bagaimana pun, ketentuan syarat bakal calon yang diatur dalam PKPU ini benar-benar bertentangan dengan putusan MK, kata Fadli. Ia juga menilai KPU tak bisa mengutak-atik hal ini karena sudah menjadi ketentuan syarat bagi calon peserta pemilu.
"Syarat jeda itu ada di bagian syarat calon, yang harus melekat pada individu calon. Sementara, sanksi pencabutan hak politik itu urusan pengadilan negeri. Yang nggak ada hubungannya dengan syarat calon," tambah Fadli.
Jika aturan ini dibiarkan, maka semakin banyak terdakwa korupsi yang meminta hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik yang masa berlakunya di bawah lima tahun. Permintaan ini sebagai modus agar eks-koruptor bisa cepat melenggang kembali ke dunia politik.
"Agar [mantan terpidana korupsi] tidak perlu menjalani masa jeda lima tahun," kata Fadli.
Menurut Fadli, gugatan ini tidak akan mempengaruhi proses pencalonan bakal caleg dan DPD, karena masih ada waktu verifikasi hingga Agustus mendatang.
"Sampai penetapan DCT [Daftar Calon Tetap]. Mereka [KPU] sudah punya ruang mekanisme itu. Jadi nggak ada masalah. Bisa revisi dan ganti nama, kalau belum terpenuhi," tambah Fadli.
MK mengeluarkan putusan dengan nomor 87/PUU-XX/2022 pada 30 November 2022 terkait syarat caleg eks-koruptor.
Dalam putusannya, MK melarang eks-narapidana mendaftarkan diri sebagai bakal calon legislator, kecuali ia telah melewati apa yang disebut "masa jeda" selama lima tahun setelah bebas murni dari hukuman penjara.
Syarat ini hanya berlaku bagi narapidana yang mendapat ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih, dan bukan tahanan politik. Kemudian, tidak melakukan kejahatan yang berulang-ulang serta harus jujur dan terbuka mengumumkan dirinya sebagai mantan terpidana.
Selain syarat untuk bakal caleg eks-koruptor, MK sebelumnya juga mengeluarkan aturan serupa untuk pencalonan kepala daerah dan terakhir pencalonan senator.
Apa kata KPU?
Di sisi lain, anggota KPU Idham Kholik mengatakan ketentuan yang termuat dalam PKPU No.10/2023 dan PKPU No 11/2023 sudah melalui tahapan uji publik, konsultasi dengan DPR dan Pemerintah, dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
"Pengujian peraturan [judicial review] merupakan hak hukum [legal rights] warga negara di negara hukum dan hal tersebut dijamin dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011. KPU harus menghormati penggunaan hak hukum tersebut," kata Idham kepada BBC News Indonesia dalam keterangan tertulis, Senin (05/06).
Selain itu, Idham juga menyinggung putusan Mahkamah Agung yang membolehkan eks koruptor untuk mengikuti kontestasi Pemilu 2019.
"Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota juga pernah diuji materil atau di-judicial review di Mahkamah Agung yang kemudian terbit Putusan MA No. 46P/HUM/2018," kata Idham.
Namun, peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, mempertanyakan klaim uji publik yang pernah dilakukan oleh KPU dalam merumuskan aturan-aturannya.
"Kalau memang benar ada uji publik, maka harusnya mereka bisa menyampaikan kepada masyarakat, atau mungkin mengunggah hasil rapat, notulensi rapat di website KPU, sehingga kita akan bisa mencermati, apakah benar ada pembahasan mengenai pengecualian, syarat masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana," kata Kurnia.
Apa jadinya jika gugatan gagal?
Berdasarkan catatan ICW pada Pemilu 2019 [sebelum putusan MK], terdapat 81 caleg berstatus eks-koruptor dari 14 partai politik. Sebanyak delapan caleg atau hampir 10% terpilih.
"Maka akan banyak kita temui di dalam kertas suara, mantan-mantan terpidana koruptor," kata Kurnia yang menambahkan, "akan terjadi kemunduran luar biasa dalam hal penjaminan nilai integritas dalam pemilu 2024 mendatang."
Semestinya, kata dia, KPU bertugas untuk menyaring rekam jejak para calon pejabat publik ini.
Kurnia mengamini pendapat Fadli kalau terdakwa korupsi nantinya akan semakin banyak yang meminta pidana tambahan pencabutan hak politik dalam pledoi mereka.
"Pidana tambahan pencabutan hak politik itu harusnya menjadi efek jera, tapi sekarang justru menjadi karpet merah bagi mereka terkait dengan potensi mereka masuk ke dalam proses demokrasi," kata Kurnia.
Syarat caleg dan senator eks-koruptor ini masuk dalam daftar panjang polemik Peraturan KPU yang mengatur teknis Pemilu 2024. Sebelumnya aturan keterwakilan perempuan di Pemilu 2024 dan lenyapnya syarat lapor harta kekayaan caleg juga ikut menjadi sorotan publik. (*)
Tags : Politik, Pilpres 2024, Hukum, Indonesia, Pemilu 2024, Korupsi,