BISNIS - Beberapa pengusaha kopi mengatakan kopi arabika berkualitas tinggi kini semakin sulit didapat di Indonesia.
"Perubahan iklim membuat kondisi optimal untuk menanam kopi sulit terpenuhi."
Jika meminta rekomendasi kopi berkualitas tinggi kepada Rakhmad S. Saputra, pemilik kedai Tador Coffee di Pasar Minggu, dia akan merekomendasikan kopi arabika dari Kerinci, Sumatera Barat.
Kopi tersebut, disajikan dengan metode V60, memiliki karakter rasa tidak begitu pahit dan beraroma buah-buahan beri, dengan wangi yang tersisa di lidah setelah ditelan. Itu salah satu kopi single origin paling berkualitas yang pernah saya coba.
Tapi jika dua-tiga tahun lalu Anda menanyakan hal yang sama, Putra – begitu dia biasa dipanggil – bisa jadi akan merekomendasikan kopi yang berbeda.
“Sebelum Covid, sekitar tahun 2016-2018, kopi dengan rasa-rasa yang unik itu murah dan mudah didapat. Nah, kalau sekarang kecenderungannya itu rasa asli kopi dari suatu daerah yang konsisten saja kita harus cari, butuh lebih banyak effort. Enggak segampang itu lagi kita mendapatkannya,” kata Putra.
Sebagai barista berpengalaman, Putra tidak biasa menjabarkan kopi berdasarkan asal daerah – misalnya kopi Sumatra, kopi Aceh, dan sebagainya – tetapi berdasarkan ketinggian. Sampai lima tahun yang lalu, dia kerap mencari suplai kopi pada ketinggian 1.300-1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Namun dia mengatakan para petani yang menanam kopi pada ketinggian tersebut mulai mengalami masalah-masalah yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Diduga, penyebabnya adalah perubahan iklim.
“Laporan dari petani bahwa memang gagal panen atau jumlah produksi turun itu karena cenderung tanaman itu rusak. Jadi hama lebih kuat sama perubahan suhu di malam hari yang bikin tanaman ini jadi punya penyakit,” kata Putra.
Keadaan itu memaksa Putra untuk mencari kopi ke tempat yang lebih tinggi, 1800-2000 mdpl. Pria berusia 40 tahun itu merasa bahwa kopi dengan kualitas baik dan cita rasa yang baik sekarang semakin langka dan harganya semakin mahal, kata Putra.
“Kalau sekarang kecenderungannya adalah beli luar biasa mahal dengan kualitas yang kita harapkan atau beli kebanyakan dan kita enggak betul-betul bisa jamin bahwa kopi ini ... seperti yang kita harapkan,” ujarnya.
Indonesia adalah produsen kopi terbanyak keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, menurut International Coffee Organisation (ICO). Sedangkan dalam konsumsi, Indonesia ada di peringkat ketujuh.
Kopi pertama kali dibawa ke Indonesia pada abad ke-17 oleh penjajah Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan perkebunan kopi pertama di Pulau Jawa, dan begitu sukses sehingga secangkir kopi pernah dikenal sebagai “a cup of Java”. Belakangan, perkebunan kopi menyebar ke pulau-pulau lain seperti Sumatra dan Celebes (Sulawesi).
Dewasa ini, kopi Indonesia digemari oleh banyak pecinta kopi di dunia. Kopi Indonesia - terutama yang berasal dari Sumatra, Jawa, dan Sulawesi – terkenal dengan cita rasa kuat serta aroma tanah dan buah-buahan yang nikmat.
Ada dua jenis kopi yang banyak ditanam di Indonesia, robusta dan arabika. Kopi robusta memiliki kandungan kafein yang relatif tinggi, 2,2-2,7%, dan terkenal dengan rasanya yang pahit — atau, kalau kata orang kebanyakan, lebih nendang.
Kopi robusta lebih banyak digunakan dalam kopi komersial, dikonsumsi dalam bentuk kopi instan atau minuman campuran seperti kopi susu yang populer di kalangan konsumen Indonesia.
Kebanyakan kopi yang diproduksi di Indonesia, sekitar 80%, adalah kopi robusta dan sisanya kopi arabika, menurut Gabungan Ekspor Kopi Indonesia (GAEKI).
Sedangkan arabika memiliki kandungan kafein yang lebih rendah dari robusta yaitu 1,2-1,5%. Namun demikian, kopi jenis ini memiliki cita rasa yang beragam – lebih asam, lembut, atau beraroma seperti buah-buahan.
Kopi arabika kerap dipasarkan sebagai kopi unggulan dari daerah tertentu — misalnya Kopi Gayo, Kopi Bali Kintamani, Kopi Mandailing, dan Kopi Toraja. Beberapa jenis kopi arabika memiliki cita rasa yang begitu tinggi, sehingga dinobatkan sebagai specialty.
Tanaman kopi arabika tumbuh dengan baik di tempat yang tinggi, di atas 1000 mdpl. Karena itu, jenis kopi ini lebih rentan dengan perubahan iklim.
Bahkan saintis memprediksi bahwa, dalam skenario terburuk, kopi arabika liar dapat punah pada tahun 2080. Studi lainnya menunjukkan setidaknya 60% spesies kopi di dunia (tidak hanya robusta dan arabika) terancam punah.
Para saintis memperkirakan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan kopi arabika akan semakin sulit dipenuhi akibat perubahan iklim, berujung pada pengurangan produktivitas hingga gagal panen. Dampaknya, volume kopi berkualitas yang bisa didapatkan oleh para pengusaha kopi juga berkurang.
Hal ini tampaknya telah mulai dirasakan oleh beberapa pengusaha kopi di Indonesia. Salah satunya Stefan Setiadi Tanuwijaya, pemilik kafe dan roastery Two Hands Full, yang berspesialisasi di kopi-kopi Grade 1 dan specialty.
“Jadi kalau kita bicara top of the top gitu ya, main kualitas paling atas, kualitas specialty untuk single varietas terutama - jadi yang tidak di-blend (campur) – masing-masing varietas sendiri itu turun secara volume ya,” kata Stefan ketika saya temui di Bandung, Juli lalu.
Menurut Stefan, suhu yang semakin panas dan lonjakan hama yang diakibatkannya telah membuat produktivitas maupun kualitas cupping beberapa varietas kopi menurun.
Suhu yang terlalu panas juga membuat biji kopi kering lebih cepat, menyebabkan perubahan pada profil rasanya.
“Saya ngerasa banget, terutama proses natural. Proses natural tuh kalau terlalu agresif [pengeringannya] dia bisa jadi keluar quality [rasa] kacang yang sebenarnya saya sih tidak terlalu suka ya,” ungkapnya.
Stefan tidak khawatir bisnis kopinya akan terganggu oleh dampak dari perubahan iklim karena varietas-varietas baru akan terus diciptakan.
Namun, dia menyayangkan bahwa rasa-rasa kopi yang sekarang kita nikmati mungkin tidak akan ada lagi di masa depan.
Dampak perubahan iklim amat dirasakan oleh Wildan Mustofa, pemilik perkebunan kopi Java Frinsa Estate di Pangalengan, Jawa Barat.
Wildan ingat ketika dia tumbuh dewasa di kota dataran tinggi itu pada tahun 1990-an, dia jarang melihat hewan seperti cicak, nyamuk, atau semut – karena iklim yang sangat dingin. Sekarang, dia mulai sering menemukan mereka.
Pria paruh baya itu menjelaskan, dewasa ini fluktuasi cuaca telah menjadi semakin ekstrem — kalau kemarau kering, kering sekali; kalau hujan, lebat sekali. Kondisi ini berimbas ke tanaman kopi.
“Dahulu di 1.200 (mdpl) itu masih aman, tidak ada serangan hama pengerek buah kopi (PBKo). Sekarang di bulan-bulan tertentu, mungkin sekali setiap 2-3 tahun itu saya temukan ada PBKo (penggerek buah kopi) di ketinggian 1600 (mdpl).
“Jadi kayaknya karena (suhu) udaranya naik, akhirnya serangga itu menjadi semakin ke atas,” kata Wildan ketika dikunjungi BBC News Indonesia pada penghujung musim panen, Juli lalu.
Petani dapat merespons perubahan ini dengan menanam kopi semakin ke atas, imbuh Wildan, namun itu akan merambah kawasan hutan lindung, yang berisiko mengganggu fungsi lingkungannya — selain merupakan tindakan yang ilegal.
Akibat fluktuasi cuaca ekstrem serta berbagai dampak turunannya, produktivitas per hektare di kebun Wildan cenderung menurun. Dia berkata dalam tiga tahun terakhir ini ada penurunan signifikan karena hujan terus-menerus sepanjang tahun.
Di samping itu, buah-buah kopi juga jadi lebih tersebar sehingga butuh lebih banyak waktu dan biaya untuk memanennya.
“Panennya udah dikit, kemudian waktunya jadi lebih lama sehingga biaya panennya menjadi lebih mahal. Biaya ngolahnya, jemur seperti ini menjadi lebih mahal. Kita perlu pakai greenhouse (rumah kaca) seperti ini supaya tidak kehujanan,” Wildan menjelaskan.
Produksi yang lebih rendah serta panen yang lebih lama berakibat biaya panen yang lebih tinggi, dan ujung-ujungnya harga jual biji kopi jadi semakin mahal. Menurut Wildan, hal itu membuat kopi Indonesia jadi kurang kompetitif di pasar global.
“Ketika [harga kopi] dunia turun, malah [harga kopi] kita naik terus sehingga sekarang harga lokal menjadi jauh lebih tinggi daripada harga internasional,” kata Wildan.
“Jadi sekarang ini harga kopi, baik Arabika maupun Robusta, itu menjadi lebih mahal daripada harga dulu. Dan ini tidak balik lagi gitu.
“Sempat turun karena pandemi aja setelah itu naik lagi, stabil terus dari tahun 2010 saya lihat tren harganya naik terus,” dia menambahkan.
Selain harga, menurut Wildan, kualitas kopi juga terdampak. Banyak penelitian menemukan bahwa perubahan dalam paparan cahaya, ketinggian, tekanan air, temperatur, karbon dioksida, dan manajemen nutrisi dapat memengaruhi kualitas kopi.
Dampak perubahan itu adalah peningkatan atau penurunan metabolit sekunder dan atribut-atribut sensorik yang menentukan cita rasa kopi.
“Nah sekarang ini dengan semakin tingginya suhu, semakin naik, artinya kopi di ketinggian 1.500 [mdpl] sekarang itu enggak sebagus kopi ketinggian 1.500 [mdpl] di 10, 20, atau 30 tahun yang lalu. Berkurang, menurun kualitasnya,” kata Wildan.
Menurut International Coffee Organisation (ICO), Indonesia termasuk empat besar produsen kopi dunia namun produksinya masih kalah jauh dari para pesaingnya – Vietnam, Brasil, Kolombia.
Teknik kultivasi yang sebagian besar masih tradisional disebut menjadi faktor-faktor yang menyebabkan produktivitas kopi Indonesia rendah. Itu memperparah, atau setidaknya tidak membantu, persoalan yang diakibatkan oleh perubahan iklim, menurut Wildan.
“Sebetulnya ada perbaikan, tapi kecepatan kita memperbaiki kalah sama kecepatan perubahan iklim. Orang lain mungkin bisa merangkak naik produktivitasnya. Kita malah merangkak turun begitu,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) Ichwan Nursidik mengatakan dampak perubahan iklim sudah dirasakan di negara-negara penghasil kopi lainnya seperti Brazil dan Colombia.
Namun, kendati produksi turun, permintaan kopi dunia terus naik secara konstan sehingga harga kopi tetap tinggi. Kopi sekarang telah menjadi bagian dari gaya hidup tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara Asia.
Dengan banyaknya permintaan, menurut Ichwan, penurunan kualitas tidak menjadi masalah.
"Jadi kalau harga tinggi, itu biasanya kualitas secara rata-rata itu akan cenderung turun karena banyak permintaan dengan kopi sedikit agak rendah [kualitasnya] pun itu laku dijual. Otomatis petani 'ngapain susah-susah bikin kopi yang bagus'," ujarnya.
Bagaimanapun, Ichwan percaya bahwa kopi-kopi premium atau Grade 1 dapat tetap mempertahankan kualitasnya.
"Mereka [petani dan pengusaha kopi] akan tetap mengolah kopi karena mereka sudah punya brand," ujarnya.
Fitrio Ashardiono, peneliti perubahan iklim dari Ritsumeikan University di Jepang, telah meneliti kopi di Indonesia sejak tahun 2016. Dia memulai penelitiannya di Solok, Sumatera Barat, lalu di Ijen, Jawa Timur, dan sekarang sedang berlangsung di Bondowoso, Jawa Timur.
Menurut Fitrio, variasi iklim yang ekstrem berdampak pada berkurangnya produksi kopi. Supaya volume produksi tetap, kata Fitrio, petani melakukan cara-cara seperti “petik pelangi” - tidak hanya memetik ceri kopi yang sudah merah tapi juga yang masih berwarna kuning dan hijau, yang belum begitu matang.
"Walau produksi akan tetap sama, tetapi kalau [petikan] merah, kuning dan hijau itu [dihitung] jumlahnya mungkin pelan-pelan yang kuning dan hijau makin banyak, jadi otomatis kualitas akan turun pelan-pelan," dia menjelaskan.
Fitrio juga menjelaskan bahwa variasi iklim yang tidak bisa diprediksi dapat berdampak pada pemrosesan biji kopi. Setelah dipetik, kopi biasanya dijemur di bawah sinar matahari sebelum dibawa ke roastery (pemanggangan) untuk menjadi biji kopi yang siap untuk digiling dan diseduh.
“Sebenarnya dari seluruh proses kopi, yang paling susah itu adalah proses natural dengan proses washed. Itu memerlukan penjemuran dengan matahari alami,” Fitrio menjelaskan.
Proses natural, juga dikenal sebagai dry process, adalah proses pengeringan ceri kopi dalam bentuk utuh di bawah sinar matahari. Sementara dalam proses washed, kulit-kulit daging yang melekat pada biji kopi dihilangkan terlebih dahulu sebelum dikeringkan, dengan cara merendamnya dalam air dan menggunakan mesin depulper (pengupas).
"Dengan adanya perubahan iklim, otomatis iklim pun tidak bisa diprediksi; kadang-kadang tiba-tiba hujan... jadinya keringnya tidak sesuai yang ditargetkan — otomatis ini rasa akan berubah,” kata Fitrio.
Ada indikasi bahwa penurunan cita rasa ini juga dirasakan di negara tempat Fitrio belajar, di Jepang, dia menambahkan.
“Beberapa roaster di Jepang yang saya interview – mereka ngomongin [kopi] Afrika – misalnya mereka beli satu kopi tertulis 1.700 [mdpl], tetapi pas mereka tasting rasanya sudah seperti 1.500 [mdpl].
“Ini anekdotal ya. Buat mereka, mereka merasa bahwa semakin lama kopi itu rasanya semakin drop. Karena semakin hangat, menurut saya,” ungkapnya.
Biji kopi arabika Gayo sedang disortir sebelum diekspor ke AS dan Eropa di gudang kopi Ketiara di dataran tinggi Takengon, Aceh
Dodo Gunawan, pakar iklim di Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (sekolah kedinasan di bawah BMKG) menjelaskan bahwa pemanasan global telah menyebabkan perubahan kesesuaian agroklimat. Wilayah yang beberapa tahun lalu cocok untuk menanam komoditas pertanian tertentu, sekarang sudah tidak cocok lagi.
Dan ini berlaku untuk hampir semua komoditas, imbuhnya, tidak hanya kopi. Contohnya, Apel Malang dahulu pernah terkenal; namun suhu udara yang semakin menghangat di kota di Jawa Timur itu sekarang sudah tidak cocok lagi untuk menanam apel.
“Kalau hewan, ia akan berpindah untuk mencari kesesuaian yang baru buatnya. Tapi karena tanaman itu tidak bisa berpindah sendiri, maka ia akan merespons dengan produknya.
“Respons atas tidak sesuainya lokasi karena iklimnya sudah berubah, maka dia akan menjadi berkurang produksinya,” tutur Dodo.
Dia menambahkan, indikasi lainnya perubahan iklim adalah fluktuasi cuaca ekstrem sekarang semakin sering terjadi dan intensitasnya semakin tinggi.
Data dari 91 stasiun pengamatan BMKG menunjukkan tren peningkatan rata-rata suhu udara dari tahun 1981, serta anomali yang positif (lebih panas) sejak 2011. (Suhu udara periode 1991-2020 di Indonesia adalah sebesar 26.8 °C dan suhu udara rata-rata tahun 2022 adalah sebesar 27.0 °C.)
Pemodelan oleh Schroth dkk yang diterbitkan di jurnal ilmiah Regional Environmental Change pada 2015 memperkirakan bahwa pada 2050, setelah dampak perubahan iklim benar-benar terasa, luas area yang secara iklim dan topografi cocok untuk menanam kopi Arabika akan berkurang sepertiganya dari area yang cocok untuk produksi saat ini (sekitar 360.000 ha).
Namun, mereka juga mengamati bahwa tidak semua area yang cocok untuk menanam kopi saat ini benar-benar digunakan untuk menanam kopi. Oleh karena itu, perkiraan area yang cocok untuk kopi Arabika di tahun 2050 (240.000 ha) akan masih 30% lebih besar dari area yang digunakan saat ini.
Para ilmuwan berpandangan bahwa berkurangnya produksi akibat perubahan iklim dapat dikompensasi dengan menanam kopi di area yang masih cocok secara iklim di luar zona produksi saat ini.
Untuk menjaga cita rasa, para pengolah kopi menggunakan cara-cara seperti honey process dan bereksperimen dengan berbagai teknik fermentasi.
Fitrio memandang, cara-cara ini adalah taktik untuk beradaptasi, ketika rasa yang “seharusnya” sudah mulai susah untuk didapatkan.
Cara lainnya, yang disarankan Putra, adalah mengembangkan kopi robusta yang lebih tahan perubahan iklim.
Beberapa penggiat kopi sudah mulai menjajal potensi kopi robusta untuk dikembangkan ke level specialty, dengan menyebutnya fine robusta.
Bagaimanapun, bagi beberapa penikmat kopi yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan cita rasa kopi arabika, prospek kehilangan kopi ini tidak menyenangkan.
“Memang kalau kita ngomong kopi sih, jatuh cinta kopi karena flavor ya, rasa. Memang so far sih flavor-nya Arabika itu masih belum bisa di-replace (digantikan) sama robusta ya karena beda profil sekali lah gitu,” kata Stefan.
“Jadi kalau memang kita strict (ketat), misal saya gitu strict dengan nyari profil Arabika, ya mungkin suatu saat akan ada limitasinya. Kayak ya... Enggak bisa lagi gitu,” ujarnya. (*)
Tags : Pangan, Pertanian, Sejarah, Indonesia, Perubahan iklim, Lingkungan, Alam, Sains,