Sorotan   2023/01/17 22:1 WIB

LaporCovid-19 Masih Menerima Pengaduan dari Ratusan Nakes, 'yang Belum Mendapat Bayaran'

LaporCovid-19 Masih Menerima Pengaduan dari Ratusan Nakes, 'yang Belum Mendapat Bayaran'
Insentif nakes di fasilitas kesehatan daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

"LaporCovid-19 masih menerima pengaduan dari ratusan tenaga kesehatan (Nakes) yang belum mendapat bayaran"

emasuki tahun ketiga pandemi Covid-19 di Indonesia, LaporCovid-19 masih menerima pengaduan soal kendala insentif tenaga kesehatan (nakes), termasuk di dalamnya yang diduga mengalami “intimidasi”. Lalu apa kendala yang terjadi dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

LaporCovid-19 menyebut ada 241 laporan warga terkait kendala insentif nakes sejak Januari hingga Desember 2022.

Salah satu nakes dari Semarang mengaku “diberhentikan“ setelah mencari tahu tentang insentif yang seharusnya dia terima pada 2022 lalu.

Namun, Pemerintah Kota Semarang mengatakan “tidak ada insentif” untuk 2022 dan pihak rumah sakit mengatakan pemberhentian nakes itu dilakukan karena kontraknya habis.

Pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatakan beberapa daerah tidak lagi menjadikan anggaran penanganan Covid-19 menjadi prioritas, karena situasi sudah “landai” sehingga dimasukkan menjadi “anggaran rutin”.

Di sisi lain, untuk masalah insentif nakes yang bekerja di fasilitas kesehatan milik pemerintah pusat, Kementerian Kesehatan mengatakan ada beberapa kasus insentif yang masih bermasalah karena harus “diaudit” terlebih dahulu.

Sementara itu untuk para nakes di rumah sakit swasta sudah tidak lagi mendapatkan insentif Covid-19.

"Masih banyak masalah yang belum ditangani"

Koordinator Advokasi LaporCovid-19, Siswo Mulyartono, mengatakan setidaknya ada “di atas 10 laporan terkait kendala insentif nakes” per bulannya.

Laporan terbanyak yang masuk ke kanal pengaduan LaporCovid-19 terjadi pada Juni, dengan 33 laporan, dan Desember, sebanyak 29 laporan.

“Misalkan pemerintah mau mencabut statusnya menjadi endemi, ini masih banyak masalah yang belum ditangani. Dari Januari saja sudah 30 laporan dan kita klarifikasi juga sampai sekarang insentifnya belum cair,” kata Siswo dalam konferensi pers yang diadakan pada Minggu (15/01).

Ratusan laporan itu datang dari 18 provinsi dengan laporan terbanyak datang dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Sementara untuk kendala yang dilaporkan, paling banyak tentang insentif yang terhenti atau belum diterima, ujar Siswo menjelaskan.

“Ini penting karena pemerintah sendiri punya berbagai regulasi terkait kewajiban untuk memberikan insientif nakes bagi tenaga kesehatan yang sudah menangani pandemi Covid-19. Sayangnya, ketika mereka menuntut haknya, masih terjadi intimidasi nakes,” kata dia.

Pertanyakan insentif, lalu di-PHK?

NN, seorang mantan perawat di RSUD KMRT Wongsonegoro, Semarang, mengaku diberhentikan pada 30 Desember 2022.

LBH Semarang mengatakan hal itu “tidak bisa dipandang sebagai proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) biasa”.

Alasannya, hal itu terjadi diduga setelah NN mempertanyakan insentifnya.

Terlebih lagi, kontrak NN seharusnya selesai pada 31 Agustus 2022 lalu.

Semua bermula saat NN menanyakan soal insentifnya untuk Februari-Maret 2022 ke pengaduan LaporCovid-19.

Dia mempertanyakan insentif pada bulan itu karena pada periode tersebut dia “diminta kembali memperkuat tim di ruang ICU isolasi karena saat itu varian Omicron sudah mulai masuk”.

“Sayangnya di tahun 2022 permasalahan insentif nakes tidak kunjung kami terima, padahal saya ingat betul pada saat itu ada pengajuan dari ruangan untuk dua bulan yaitu Februari sampai Maret itu ada pengajuan untuk kirim data-data melalui kepala ruang, tapi sampai detik ini juga tidak kunjung keluar (insentifnya),” kata NN dalam rekaman suara yang ditayangkan LaporCovid-19 dalam konferensi persnya.

LaporCovid-19 lantas membantu NN dengan meneruskan laporannya ke Kementerian Kesehatan dan mengirimkan data terkait pengusulan insentif untuk diverifikasi.

Data itu kemudian “didisposisikan ke Dinkes Kota Semarang dan diteruskan ke rumah sakit tempat saya bekerja,” tutur NN, yang kemudian dinyatakan melakukan pelanggaran karena sudah melakukan laporan terkait insentif itu.

Rizky Putra Edry dari LBH Semarang menduga pihak rumah sakit “membatasi akses informasi dan mendapatkan hak-haknya”.

“Terlebih sebenarnya insentif ini sudah diatur dalam permenkes, sudah jelas bahwa Pemkot Semarang seharusnya bertanggung jawab untuk menyediakan anggaran insentif kepada nakes, tapi kemudian saat nakes yang bersangkutan mencari kejelasan-kejelasan, direspons dengan tindakan-tindakan intimidatif,” kata Rizky.

Sementara Direktur RSUD KMRT Wongsonegoro Susi Herawati mengatakan pada 2022 “tidak ada insentif lagi” dan menyebut informasi yang disebarkan NN “bohong”.

“[Insentif] tergantung kemampuan pemerintah daerah dan kasus Covid. Kalau kasusnya enggak ada kan enggak diberi. Itu kan ada hitung-hitungannya dan itu memang tidak ada yang dapat,” kata Susi seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (15/01).

Susi juga menjelaskan pada periode Februari hingga Maret 2022, kasus Covid-19 di rumah sakitnya "tidak banyak dan tidak signifikan".

Terkait PHK NN, Susi menjawab, “kami tidak PHK, tapi kontrak selesai”.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam juga mengatakan kepada BBC News Indonesia, “tahun 2022 tidak ada insentif nakes”.

Bukan yang pertama

Pada 2020 lalu, sebanyak 109 tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan, juga dipecat oleh bupati karena menuntut transparansi insentif dan kelengkapan alat pelindung diri (APD).

"Kami tidak berharap untuk dibeginikan, rasanya terzolimi. Kami mau menanyakan keselamatan kami, kami mau menanyakan hak-hak kami, cuman kok akhirnya kami begini, dirumahkan. Miris sekali rasanya,” ujar salah satu tenaga medis yang enggan disebut namanya.

Namun, Bupati Ogan Ilir, Ilyas Panji Alam, beralasan pemecatan 109 tenaga medis itu dilandasi tuntutan mereka yang dia sebut "mengada-ada".

"Insentif ada, malah saya minta kasus per kasus, yang benar-benar menangani pasien ada lagi insentif, tambah lagi. Ini mereka kerja menangani pasien corona aja belum," ujarnya kepada Kompas.com.

Insentif nakes tanggung jawab siapa?

Insentif nakes di rumah sakit milik provinsi dan kota/kabupaten, puskesmas, serta laboratorium milik pemerintah daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah karena dana insentif berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022 pasal 5 menyebutkan:

“Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan” – termasuk di dalamnya insentif untuk nakes.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, mengatakan ketika penanganan Covid menjadi prioritas, Kemendagri bertugas menegur para pemerintah daerah ketika mereka tidak memprioritaskannya.

Namun, Agus mengatakan “karena situasinya sudah landai ini [penanganan Covid] menjadi kegiatan yang melekat di bidang kesehatan”.

“Ada beberapa daerah yang sudah tidak menganggarkan, jadi semacam anggaran rutin di bidang kesehatan. Kalau dulu kan fokus banget semuanya mengarah ke sana, seperti sekarang, inflasi, mengarah ke inflasi,” kata Agus.

Dia menambahkan pihaknya tetap melakukan “pembinaan dan pengawasan bersama kementerian lain” ketika ada anggaran macet.

Secara nasional, kata Agus, “realisasi APBD tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu”, termasuk di bidang kesehatan.

Di sisi lain, untuk rumah sakit milik pemerintah pusat—termasuk milik Kementerian Kesehatan, TNI/Polri, kementerian/lembaga lainnya, BUMN— dan laboratorium yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat karena dana insentif berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, insentif yang ditangani pemerintah pusat mayoritas “sudah selesai”, kecuali beberapa kasus yang harus diaudit.

Dia tidak menyebutkan jumlahnya, tapi Nadia menyebut “tidak signifikan”.

Siti Nadia mengakui ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pencairan insentif.

Pertama, pengunggahan data insentif nakes oleh fasilitas kesehatan tidak sesuai aturan, “misalnya baru klaim 2- 3 bulan kemudian”.

Kedua, data dukung yang diunggah oleh fasilitas kesehatan “tidak lengkap”.

Dan, ketiga, ada beberapa data yang harus diverifikasi melalui audit karena “ada anomali dalam proses klaim”.

“Jadi, dalam hal ini penting pihak manajemen terbuka juga dengan nakes tentang proses yang dilakukan, karena yang mengunggah data ke [pemerintah] pusat adalah pihak manajemen rumah sakit, dan kita [pemerintah pusat] mengkomunikasikan ke pihak manajemen kalau ada yang kurang,” kata Nadia.

Dia menegaskan “selagi sesuai aturan dan jumlahnya tidak anomali”, pemerintah bakal langsung mentransfer insentif ke rekening nakes, sesuai dengan aturan yang ada.

Lalu bagaimana dengan nakes di rumah sakit swasta?

Berdasarkan laporan yang masuk ke kanal pengaduan LaporCovid-19, dilihat dari jenis fasilitas kesehatannya, laporan terkait insentif nakes terbanyak datang dari rumah sakit swasta.

Siti Nadia mengatakan saat ini para nakes di rumah sakit swasta tidak lagi mendapatkan insentif dari pemerintah.

“Kasus 2022 kan sudah sedikit yang perlu dirawat di rumah sakit, jadi untuk lebih efisien bisa dirawat di rumah sakit fasilitas pemerintah,” ujarnya.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1879/2022 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Bagi Tenaga Kesehatan serta Pengangkatan dan Penempatan Tenaga Relawan Bidang Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) disebutkan penurunan kasus Covid-19 menyebabkan usulan insentif bagi nakes menurun.

'Perlu regulasi baru'

Banyaknya laporan terkait insentif nakes Covid-19 dinilai Siswo, Koordinator Advokasi LaporCovid-19, membuktikan bahwa regulasi yang ada 'tidak membantu' para nakes yang berada di daerah, meskipun dia mengakui regulasi-regulasi yang ada membantu para nakes di bawah pemerintahan pusat.

Dia mengatakan Kemenkes semestinya "menggandeng Kemendagri" supaya bupati atau wali kota "wajib mempercepat pembayaran insentif nakes yang bekerja di fasilitas kesehatan di bawah kabupaten/kota".

"Selama ini kan Kementerian Kesehatan jalan sendiri saja, lewat edaran, segala macam, padahal kewenangannya juga terbatas," ujar Siswo.

Dia kemudian mengusulkan:

"Perlu ada regulasi baru atau Kementerian Kesehatan duduk bareng Kementerian Dalam Negeri supaya bisa memaksa bupati/wali kota segera melunasi tunggakan insentif nakes yang belum dibayar," tegas Siswo. (*)

Tags : Tenaga Kesehatan, Nakes Mengadu LaporCovid-19, Pengaduan Ratusan Nakes Belum Mendapat Bayaran, Virus Corona,